BUNGKUSNYA AKHIRAT, ISINYA DUNIA

Ketika televisi beberapa minggu lalu mengabarkan meninggalnya ustadz Jefry al-Bukhori, reaksi saya biasa saja. Bukan berarti saya ngga tahu almarhum ustadz Uje, namun beliau bukan termasuk figur yang saya idolakan dan mungkin juga dipengaruhi ketidakrespekan saya terhadap dai2 selebritis yang biasa berceramah di TV. Namanya suka dan tidak suka kan subjektif tiap org, boleh2 aja.

Kalau sama ustadz Uje, sebetulnya respek saya masih agak mendingan, berhubung ada beberapa lagu2 islami yang dilatunkannya saya sukai. Ustadz yg saya kurang sreg misalnya ustadz Solmed, yg termasuk senang mengisi acara infotainment. Pengennya saya, ya klo tampil di TV mbok yao ceramah aja, atau klo terpaksa diliput awak media, ngga perlu deh hobi2 atau aset2 pribadinya dipublikasikan yg akhirnya memberi kesan ia termasuk artis yg kebetulan aja profesinya sebagai penceramah. Saya khawatir beliau2 itu akan terjebak pd situasi yg saya sebutkan melalui istilah “perkara berbungkus akhirat, tp isinya sebetulnya perkara dunia dan kelak diakhirat akan dinilai sebagai perilakuduniawi”.

Maka saya tak heran, bila menjelang akhir kehidupannya, ustadz Uje tengah dilanda kejenuhan, bahkan berencana menghentikan aktivitas dakwah di televisi. Saya tentu tak hendak mencoba-coba menebak apa persis yg dirasakan almarhum Ustadz Uje, kecuali saya memandang bahwa Ustadz Uje justru tengah mengalami penyadaran dan pencerahan. Mungkin saja situasinya mirip apa yg dulu dialami oleh Aa’ Gym ketika mengambil langkah kontroversial dgn berpoligami da nakhirnya berujung pd keputusan menjauh dr godaan berceramah di televisi.

Berceramah adalah pekerjaan yg bermodal ngomong, dan pada dasarnya ngomong itu tidak sulit. Bercerita hal2 yg baik atau hal yg buruk itu relatif gampang. Menghafalkan teks al-Qur'an dan hadits juga tidaklah terlalu sangat sukar. Para penulis juga begitu, para penulis bekerja dgn modal utama pikirannya. Pada dasarnya menulis klo memang berbakat sungguh aktivitas yg mudah, saya sendiri yg bakatnya biasa2 aja bisa menulis catatan sampai ke 226 ini. Persoalannya yg tidak mudah itu, mempraktekkan pemikiran atau pembicaraan melalui tindakan nyata. Makanya saya menyarankan bagi adik2 generasi muda, anda harus mampu menulis, tp jangan pernah bercita2 menjadi penulis, karena menulis itu aktivitasnya para pengangguran. Lihat saja para pejabat yg baru menyempatkan diri menulis sesudah jd pensiunan, alias mengisi waktu luang. Itu baru saya sadari dgn intensitas saya menulis catatan di FB, klo lama sekali dlm satu bulan ngga menulis tandanya sedang sibuk sampai ngga sempat menulis catatan. Klo lg sering menulis, berarti sedang punya banyak waktu luang alias pengangguran. Selain jangan punya cita2 jd penulis, saya sarankan jngn pula punya cita2 menjd komentator atau pengamat, karena bisanya cuma omong doang.

Menjadi penda’i rutin sebetulnya punya banyak keuntungan, terutama dr sisi jumlah jamaah, honor dan materi, serta popularitas. Namun, semua itu punya efek samping. Sebagai tokoh populer, para penceramah biasanya akan didekati oleh berbagai pihak dengan beragam motif, termasuk pula oleh para politisi yg ingin si penceramah memasukkan pesan2 politik tertentu. Efek samping lainnya, adalah jebakan tarif sebagai ‘uang lelah’ atau sekedar dilabeli ‘uang transport’. Kita tahu untuk mengundang penceramah kondang, biasanya jauh2 hari kita sudah harus mengontak dan membuat deal. Biayanya juga sama sekali tidak murah, saya tidak tahu persisnya berapa, yg jelas bisa mencapai puluhan juta walau kita ngga ngerti juga apakah seluruhnya sampai pada ustadz bersangkutan. Dengan jadwal acara yg begitu padat, para penceramah sering harus menghabiskan waktu di luar rumah, dan sulit juga menolaknya.

Hal2 seperti inilah yg pada titik tertentu menimbulkan rasa jenuh, terlebih jika sang ustadz penceramah kemudian seolah terbangun dan merasa tidak enak hati telah ‘mengkomersialkan’ aktivitas dakwah. Ketika ustadz Uje dimakamkan, kita bisa menyaksikan betapa banyak orang yg melayat dan mengiringi pemakamannya. Kita tak tahu, berapa banyak malaikat yang turut menghadiri proses pengurusan jenazah ustad Uje. Artinya, jangan terlalu silau dgn apa yg terlihat pandangan mata, lalu cepat mengambil interpretasi tertentu yg didasarkan pd faktor popularitas seorang figur.

Ketika Gus Dur meninggal dunia, kita banyak dibuai oleh cerita2 yg lantas berkembang sedemikian rupa sehingga muncul semacam keyakinan bahwa Gus Dur adalah wali. Saya pribadi mencoba tidak ikut2an larut, karena saya ngga ngerti apa manfaatnya jika Gus Dur benar seorang wali atau bukan. Wali itu wilayah privacy dan tersembunyi, bukan untuk diklaim dan diperbincangkan. Bagi saya cukuplah saya percaya, Gus Dur adalah org baik, org yg taat beragama, dan semoga akhir hidupnya khusnul khotimah.

Demikian pula ustadz Uje, sekalipun ngga banyak tau kehidupannya, saya memilih berprasangka bahwa beliau juga termasuk org baik, hidupnya berkah karena dapat memberikan pencerahan dan inspirasi bagi banyak org, dan semoga juga khusnul khotimah. Makanya, saya bosan juga oleh gegap gempita pemberitaan tentang ustadz Uje yg berhari2, sampai kemudian beberapa acara infotainment menempatkan keluarga beliau pd posisi sulit dgn menanyakan mau diapakan barang2 peninggalan ustadz Uje. Pertanyaan2 seperti itu tidaklah etis dan patut untuk dibahas. Klo soal obsesi ustadz Uje yg ingin membangun pesantren, bolehlah diekspose karena siapa tahu ada donatur yg terketuk hatinya mewujudkan rencana mulia itu. Namun, setiap pertanyaan ada batas2 tertentu, sebaiknya jangan mempertanyakan sesuatu yg hanya menimbulkan perasaan tidak nyaman pd orang yg kita tanyai (kecuali anda polisi yg sedang menginterogasi penjahat).

Esensi dr catatan ini adalah, banyak perkara atau aktivitas yg bersifat ukhrowi akhirnya berubah menjadi aktivitas bernilai duniawi semata yg tidaklah bermanfaat bagi kepentingan akhirat kita. Sebaliknya, tidak sedikit profesi dan aktivitas duniawi yg bernilai akhirat jika kita mampu mengelola niat, motif,dan mengarahkannya pada tujuan Lillahi ta’ala. Contoh, menjadi guru ngaji atau mengelola pesantren sebetulnya termasuk ‘barang akhirat’ karena wujudnya adlah aktivitas keagamaan, namun di akhirat bisa saja dinilai sebagai aktivitas keduniaan belaka jika motif kita mengajar lebih disebabkan motif pencitraan, biar dianggap tokoh agama, menikmati setiap ciuman tangan, dan hal2 lain ygmerusak esensi. Banyak contoh lainnya, saya kira setiap kita punya contoh riil masing2.

Itu saja yg ingin saya sampaikan melalui catatan malam ini, waktu sudah menunjukkan dini hari, saatnya istirahat dan terlelap. Semoga esok hari lebih baik dari pada hari tadi.