BUNGKUSNYA AKHIRAT, ISINYA DUNIA

Ketika televisi beberapa minggu lalu mengabarkan meninggalnya ustadz Jefry al-Bukhori, reaksi saya biasa saja. Bukan berarti saya ngga tahu almarhum ustadz Uje, namun beliau bukan termasuk figur yang saya idolakan dan mungkin juga dipengaruhi ketidakrespekan saya terhadap dai2 selebritis yang biasa berceramah di TV. Namanya suka dan tidak suka kan subjektif tiap org, boleh2 aja.

Kalau sama ustadz Uje, sebetulnya respek saya masih agak mendingan, berhubung ada beberapa lagu2 islami yang dilatunkannya saya sukai. Ustadz yg saya kurang sreg misalnya ustadz Solmed, yg termasuk senang mengisi acara infotainment. Pengennya saya, ya klo tampil di TV mbok yao ceramah aja, atau klo terpaksa diliput awak media, ngga perlu deh hobi2 atau aset2 pribadinya dipublikasikan yg akhirnya memberi kesan ia termasuk artis yg kebetulan aja profesinya sebagai penceramah. Saya khawatir beliau2 itu akan terjebak pd situasi yg saya sebutkan melalui istilah “perkara berbungkus akhirat, tp isinya sebetulnya perkara dunia dan kelak diakhirat akan dinilai sebagai perilakuduniawi”.

Maka saya tak heran, bila menjelang akhir kehidupannya, ustadz Uje tengah dilanda kejenuhan, bahkan berencana menghentikan aktivitas dakwah di televisi. Saya tentu tak hendak mencoba-coba menebak apa persis yg dirasakan almarhum Ustadz Uje, kecuali saya memandang bahwa Ustadz Uje justru tengah mengalami penyadaran dan pencerahan. Mungkin saja situasinya mirip apa yg dulu dialami oleh Aa’ Gym ketika mengambil langkah kontroversial dgn berpoligami da nakhirnya berujung pd keputusan menjauh dr godaan berceramah di televisi.

Berceramah adalah pekerjaan yg bermodal ngomong, dan pada dasarnya ngomong itu tidak sulit. Bercerita hal2 yg baik atau hal yg buruk itu relatif gampang. Menghafalkan teks al-Qur'an dan hadits juga tidaklah terlalu sangat sukar. Para penulis juga begitu, para penulis bekerja dgn modal utama pikirannya. Pada dasarnya menulis klo memang berbakat sungguh aktivitas yg mudah, saya sendiri yg bakatnya biasa2 aja bisa menulis catatan sampai ke 226 ini. Persoalannya yg tidak mudah itu, mempraktekkan pemikiran atau pembicaraan melalui tindakan nyata. Makanya saya menyarankan bagi adik2 generasi muda, anda harus mampu menulis, tp jangan pernah bercita2 menjadi penulis, karena menulis itu aktivitasnya para pengangguran. Lihat saja para pejabat yg baru menyempatkan diri menulis sesudah jd pensiunan, alias mengisi waktu luang. Itu baru saya sadari dgn intensitas saya menulis catatan di FB, klo lama sekali dlm satu bulan ngga menulis tandanya sedang sibuk sampai ngga sempat menulis catatan. Klo lg sering menulis, berarti sedang punya banyak waktu luang alias pengangguran. Selain jangan punya cita2 jd penulis, saya sarankan jngn pula punya cita2 menjd komentator atau pengamat, karena bisanya cuma omong doang.

Menjadi penda’i rutin sebetulnya punya banyak keuntungan, terutama dr sisi jumlah jamaah, honor dan materi, serta popularitas. Namun, semua itu punya efek samping. Sebagai tokoh populer, para penceramah biasanya akan didekati oleh berbagai pihak dengan beragam motif, termasuk pula oleh para politisi yg ingin si penceramah memasukkan pesan2 politik tertentu. Efek samping lainnya, adalah jebakan tarif sebagai ‘uang lelah’ atau sekedar dilabeli ‘uang transport’. Kita tahu untuk mengundang penceramah kondang, biasanya jauh2 hari kita sudah harus mengontak dan membuat deal. Biayanya juga sama sekali tidak murah, saya tidak tahu persisnya berapa, yg jelas bisa mencapai puluhan juta walau kita ngga ngerti juga apakah seluruhnya sampai pada ustadz bersangkutan. Dengan jadwal acara yg begitu padat, para penceramah sering harus menghabiskan waktu di luar rumah, dan sulit juga menolaknya.

Hal2 seperti inilah yg pada titik tertentu menimbulkan rasa jenuh, terlebih jika sang ustadz penceramah kemudian seolah terbangun dan merasa tidak enak hati telah ‘mengkomersialkan’ aktivitas dakwah. Ketika ustadz Uje dimakamkan, kita bisa menyaksikan betapa banyak orang yg melayat dan mengiringi pemakamannya. Kita tak tahu, berapa banyak malaikat yang turut menghadiri proses pengurusan jenazah ustad Uje. Artinya, jangan terlalu silau dgn apa yg terlihat pandangan mata, lalu cepat mengambil interpretasi tertentu yg didasarkan pd faktor popularitas seorang figur.

Ketika Gus Dur meninggal dunia, kita banyak dibuai oleh cerita2 yg lantas berkembang sedemikian rupa sehingga muncul semacam keyakinan bahwa Gus Dur adalah wali. Saya pribadi mencoba tidak ikut2an larut, karena saya ngga ngerti apa manfaatnya jika Gus Dur benar seorang wali atau bukan. Wali itu wilayah privacy dan tersembunyi, bukan untuk diklaim dan diperbincangkan. Bagi saya cukuplah saya percaya, Gus Dur adalah org baik, org yg taat beragama, dan semoga akhir hidupnya khusnul khotimah.

Demikian pula ustadz Uje, sekalipun ngga banyak tau kehidupannya, saya memilih berprasangka bahwa beliau juga termasuk org baik, hidupnya berkah karena dapat memberikan pencerahan dan inspirasi bagi banyak org, dan semoga juga khusnul khotimah. Makanya, saya bosan juga oleh gegap gempita pemberitaan tentang ustadz Uje yg berhari2, sampai kemudian beberapa acara infotainment menempatkan keluarga beliau pd posisi sulit dgn menanyakan mau diapakan barang2 peninggalan ustadz Uje. Pertanyaan2 seperti itu tidaklah etis dan patut untuk dibahas. Klo soal obsesi ustadz Uje yg ingin membangun pesantren, bolehlah diekspose karena siapa tahu ada donatur yg terketuk hatinya mewujudkan rencana mulia itu. Namun, setiap pertanyaan ada batas2 tertentu, sebaiknya jangan mempertanyakan sesuatu yg hanya menimbulkan perasaan tidak nyaman pd orang yg kita tanyai (kecuali anda polisi yg sedang menginterogasi penjahat).

Esensi dr catatan ini adalah, banyak perkara atau aktivitas yg bersifat ukhrowi akhirnya berubah menjadi aktivitas bernilai duniawi semata yg tidaklah bermanfaat bagi kepentingan akhirat kita. Sebaliknya, tidak sedikit profesi dan aktivitas duniawi yg bernilai akhirat jika kita mampu mengelola niat, motif,dan mengarahkannya pada tujuan Lillahi ta’ala. Contoh, menjadi guru ngaji atau mengelola pesantren sebetulnya termasuk ‘barang akhirat’ karena wujudnya adlah aktivitas keagamaan, namun di akhirat bisa saja dinilai sebagai aktivitas keduniaan belaka jika motif kita mengajar lebih disebabkan motif pencitraan, biar dianggap tokoh agama, menikmati setiap ciuman tangan, dan hal2 lain ygmerusak esensi. Banyak contoh lainnya, saya kira setiap kita punya contoh riil masing2.

Itu saja yg ingin saya sampaikan melalui catatan malam ini, waktu sudah menunjukkan dini hari, saatnya istirahat dan terlelap. Semoga esok hari lebih baik dari pada hari tadi.

UJIAN NASIONAL SALAH KAPRAH

Bagi anda yang tidak beretnis suku jawa mungkin agak asing dengan istilah ‘pekok’ yang saya gunakan sebagai judul catatan ini. Pekok adalah ungkapan sarkastik yang bersinonim dengan kata bodoh, mungkin level hinaannya setara dgn ‘goblok’. Orang jawa mungkin salah satu suku bangsa di dunia yg paling kreatif dan rumit dalam hal kebahasaan, karena banyaknya strata kebahasaan yg disesuaikan dengan konteks keadaan/perasaan maupun lawan bicara.

Istilah peka dan pekok dlm catatan ini saya tujukan pada penanggungjawab utama pendidikan di negeri yang sebenarnya terdiri dari para intelektual, jenius, lengkap dengan deretan titel mentereng yang menandakan mereka adlah kelompok ‘wong pinter’. Salah satu bukti ‘kepekokan’ dan ‘ketidakpekaan’ para penanggungjawab pendidikan ditingkat nasional adlah persoalan ujian nasional.Tahun ini kabarnya merupakan tahun terakhir pelaksanaan ujian nasional, dan belum tau juga seperti apa format evaluasi belajar siswa di akhir setiap jenjang sekolah pada tahun depan. Bila benar UN jadi dihapuskan, maka itu jelas kabar gembira buat para guru dan siswa.

UN tahun ini ibarat bom waktu yang siap meledak kelak pada saat pengumuman hasil ujian nasional, justru karena sistem operasionalnya sekarang ini benar-benar bagus, dan sulit terjadi kebocoran. Masalahnya, berapa persen siswa kita tahun ini yg kemungkinan mampu lulus ujian, sementara ujian ulangan ditiadakan. Sebagai akibat jika tidak lulus, maka siswa disarankan mengikuti ujian paket B. Percuma kan 3 tahun menempuh pendidikan di sekolah tertentu, jika ijazah kelulusannya hanya berupa paket B yg tidak mencantumkan identitas sekolahnya.

Sebagai seseorang yg berprofesi juga sebagai pendidik, saya mendapatkan informasi jika banyak sekolah tengah merasa kebingungan, pasrah, dan berusaha kasak kusuk mencari kunci jawaban. Tahun2 sebelumnya, sekolah2 terutama di daerah saya masih anteng2 aja. Bahkan bila sesuai database di pusat, terbilang daerah berprestasi dari segi prosentase kelulusan siswanya di setiap tahun. Kini, sejak kemendiknas memberlakukan 20-30 paket soal berbeda, ini jelas menimbulkan situasi pelik. Klopun nantinya ada drop kunci jawaban seperti tahun sebelumnya dari oknum2 dinas terkait, rasanya susah juga teknis penyebarannya ke siswa.

Inti permasalahan ujian nasional adalah ketidakselarasan antara idealisme dengan kenyataan di lapangan. Idealnya menurut kemendiknas, misalnya standar minimal nilai enam, sementara kenyataannya batas kemampuan siswa menjawab soal rata2 dibawah standar minimal tersebut. Sebenarnya tidak mengapa jg mau dibikin standar  nilai 6 atau bahkan 8, yg penting adlah apakah materi pertanyaan yg diberikan memang telah disesuaikan dengan batas kemampuan siswa. Artinya, solusinya sebenarnya tidak sulit2 amat terkait permasalahan UN jika kita memahami teori daya serap dan daya ingat seseorang terhadap pengetahuan yang pernah diajarkan.

Dalam kurun waktu tiga tahun, siswa telah dicekoki tanpa henti dgn beragam pengetahuan yg beberapa di antaranya kurang mereka sukai. Semakin seorang siswa tidak menyukai suatu pelajaran, maka ada dua kemungkinan. Pertama, ia bisa memahami, tapi daya ingatnya terhadap apa yg telah dipahaminya tersebut cepat luntur. Singkatnya, “dulu sih paham, sekarang dah lupa”. Kedua, dia memang tidak pernah paham. Sementara, kalau kita melihat melihat silabus dan RPP yang digunakan guru dari seluruh mata pelajaran, maka komentar kita singkat aja, mengerikan! Mengapa? Karena kalau bundelan kertas perangkat pembelajaran tersebut ditumpuk, tingginya bisa dua meter. Itu baru secara garis besar, kalau dijabarkan melalui materi pelajaran mulai kelas VII sampai kelas IX atau kelas X  sampai kelas XI, klo siswanya serius pengen belajar puyeng mereka (klo yg malesan, sih ra urus), padahal semua materi pelajaran tersebutlah yang harus mereka persiapkan (untungnya cuma 4 pelajaran aja yg di UN-kan). Sehingga pokok permasalahan sebenarnya bukan pada standar penilaian, tapi standar materi soal/kompetensi yg ditanyakan pada saat UN. Belum lagi klo melihat data nilai raport yang dikirim sekolah2 ke pusat, tak pelak lagi isinya sungguh manipulasi sebesar2nya dan berbeda dg isi raport yg dikirim ke org tua siswa. Bayangkan saja, jika siswa paling pekok saja nilai rata2nya raportnya delapan dan sembilan. Udah kayak apa namanya sekolah itu..

Untuk itu solusinya memang menyederhanakan soal UN. Mungkin benar sebelum diujikan soal2 tersebut telah melalui tahap try out, tapi sekolah mana yg dijadikan sampel uji coba. Klo try outnya di sekolah2 unggulan, yah..wajar dong klo hasilnya valid dan realibel. Harusnya try out diadakan di sekolah yg letaknya di pedalaman atau setidaknya di sekolah dgn kondisi rata2.

Polemik dan kegaduhan publik terkait penyelenggaraan UN di setiap tahun semestinya cukup menjadi bahan refleksi bagi pejabat terkait, khususnya Menteri Pendidikan. Persoalannya tinggal kepekaan. Apakah yg bersangkutan peka terhadap persoalan yg dihadapi guru dan siswa, atau lebih mementingkan prestasi pribadinya sendiri. Dalam situasi seperti sekolah, guru memang rentan berada pada pihak yg selalu tertekan dan mudah disudutkan. Kalau mayoritas siswa ngga lulus, para orang tua jelas menyalahkan guru, misalnya “ah, ngga becus tuh gurunya, ngga mutu pendidikannya, dan lain2”. Padahal yg terjadi tidaklah sesederhana yg dibayangkan orang.

Misalnya, sekarang ini banyak siswa melaporkan gurunya ke polisi dengan sangkaan melakukan penganiayaan. Sementara klo bapak-ibunya sendiri yg menempeleng sejak kecil ngga dilaporkan juga ke polisi. Repotnya, biasanya polisi cepat merespon pengaduan seperti ini tanpa melihat esensi permasalahan. Padahal kita bisa nanya juga sama polisinya, mungkin ngga sih dia selama menempuh pendidikan di Secaba atau Akpol nihil pemukulan oleh seniornya. Dan,apakah setiap pukulan itu selalu bisa disamakan dengan penganiayaan?

Saya kira pasal2 penganiayaan itu sendiri sebagai bagian dr konstruksi hukum perlu diperjelas lagi supaya penerapannya tidak menjadi salah kaprah. Menurut saya, penganiayaan itu dapat dihukumi pidana jika memenuhi dua unsur, pertama adanya aksi dan kedua dilakukan tanpa dasar yang bisa ditoleransi hukum. Aksi penganiayaan ada dua bentuk, pertama suatu tindakan menyakiti secara fisik orang lain yang berulang-ulang dalam satu waktu atau pukulan bertubi2. Logikanya, orang yg memukul secara bertubi2 atau beruntun itu umumnya sedang kalap, tak mampu mengontrol emosi dan membahayakan, karena pukulan kedua, ketiga dan seterusnya cenderung akan lebih keras dari pukulan pertama. Kedua,melakukan pemukulan satu kali namun menimbulkan impact dan bekas/cacat yang sulit hilang atau berpotensi membahayakan jiwa.

Guru memukul murid umumnya didasari atas konteks kegiatan pendidikan,dan sebab yg paling umum adalah si murid lazimnya melakukan kenakalan yg melebihi batas kesabaran guru. Tujuan pemukulan jelas membuat efek jera dan sebenarnya juga demi kepentingan siswa sendiri. Hal seperti ini semestinya tak perlu disalahkan sepanjang impactnya tidak membahayakan atau menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan kebugaran anak. Dokter ketika menyuntik itu rasanya sakit, tapi tindakan itu diperlukan demi kepentingan pasien.

Pengalaman pribadi saya sebagai guru, saya memang tak pernah memukul,bahkan walau sekedar berupa jeweran menyakitkan sekalipun. Biasanya, paling banter saya menerapkan punishment yg sifatnya melelahkan, ngasih tugas, push up, lari dlm hitungan kilometer, tapi sanksi2 semacam ini tidak selalu efektif bagi sejumlah siswa. Apalagi klo sekedar nasehat2 aja. Dah kebal bin bebal. Anak umumnya takut dipukul, dan harus diakui pukulan secara umum adlah shock theraphy yang efektif untuk membuat siswa secara keseluruhan taat aturan. Sehingga, pihak otoritas pendidikan semestinya dapat menjalin komunikasi dan kesepahaman dengan penegak hukum tentang hal2 apa saja yg patut dipidanakan dalam konteks pendidikan.

Sekarang ini para guru harus berfikir ulang jika memilih tindakan yg bersifat keras pd siswa, berbeda jauh dibandingkan zaman pd saat kita yg dah lama lulus sekolah. Dulu org tua ‘pasrah bongkokan’, sama guru. Bahkan wali siswa terkadang bilang sama gurunya, “pukul aja pak klo si anu nakal”. Zaman sekarang situasinya sudah lain, klo sekarang, “enak aja mukul2, lha wong saya bapaknya aja ngga pernah mukul..”. Padahal, tantangan mendidik siswa pada saat ini sungguh berat. Banyak situasi yg menguji motivasi para guru. Seperti yg pernah saya ceritakan pada catatan terdahulu, ketika seorang guru agama nangis2 ketika mengetahui kejadian ada sekelompok siswa melakukan pelecehan seksual pd sejumlah siswi. Secara emosional guru tersebut memang sensitif, selain itu yg paling memukul psikologisnya adalah kenyataan bahwa hampir tiga tahun ia mengajari siswa tentang halal-haram, tentang etika, lha kok kayak ngga ada hasilnya.

Si ibu guru itu selama bertahun2 memahami, bahwa pengetahuan keagamaan adlah solusi membentuk diri seseorang, padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Manusia memang memiliki naluri untuk memperoleh ilmu pengetahuan, namun penerapan ilmu pengetahuan lazimnya lebih banyak didasarkan atas kebiasaan dan tuntutan keadaan. Agama tidak serta merta punya kemampuan menghapus adanya praktek perjudian,perzinahan, tawuran, dan segala macam masalah moral. Jadi, secara praktis manusia umumnya tidak bergerak karena pengetahuannya, namun karena kebutuhan, kebiasaa ndan tuntutan keadaan. Sebagai contoh sederhana, saya mengibaratkan agama itu seperti kompas atau gps. Kompas itu akan menunjukkan arah tertentu, tapi kompas tidak akan berpindah tempat dgn sendirinya. Bergantung siapa yg memegangnya. Umumnya sikap dan tindakan si pemegang kompas akan dipengaruhi faktor2 di sekitarnya, faktor cuaca, bekal, kendaraan, teman, dan sebangsanya.

Begitu juga dengan siswa. Kesuksesan transformasi keilmuan keagamaan tidak menjamin siswa menjalani hidup secara benar. Semua bergantung pada seberapa besar daya tarik pengetahuan agama di antara pengetahuan2 baru yg dimiliki siswa. Pengetahuan baru itu bisa berupa hal2 positif, bisa pula negatif. Begitupula dengan faktor pergaulan, orang tua, kebiasaan yg berlaku di masyarakat, termasuk faktor internal siswa sendiri.

Itulah mengapa saya sulit juga bersikap secara tepat ketika menyikapi fenomena penyebaran content porno di kalangan anak didik saya. Dulu hal ini pernah saya ceritakan melalui catatan, bahwa secara berkala kami para guru mengadakan pemeriksaan HP untuk mendeteksi adakah siswa yg menyimpan conten2 porno, sebab berbagai kasus pelecehan atau perilaku seks di luar nikah umumnya punya korelasi kuat dgn pengalaman menonton pornoaksi. Di sekolah2 lain biasanyajuga ada pemeriksaan HP, cuma pikir saya ngga efektif klo kita memeriksa HP siswa. Akan lebih efektif jika cukup dikumpulkan saja memory cardnya, karena data yg berukuran besar seperti video biasanya masuk ke memory. Setelah direcovery (karena ada siswa yg sebelum diperiksa, menghapus lebih dulu simpanannya), akan terlihat perubahan data di memory, apa saja yg masuk ke situ, lengkap dgn kapan waktunya. Dari hasil pemeriksaan, memang mencengangkan dan setelah dicross check dgn pengakuan siswa memang nyatanya banyak siswa menyimpan content2porno.

Tidak mudah memperbaiki masalah2 faktual seperti ini, baik pendekatan keagamaan, nasehat, dan membuat surat perjanjian, ternyata tidak selalu efektif. Beberapa bulan berikutnya ketika diperiksa lagi, masih ada juga siswa2 ndableg yg mengulangi perbuatannya lagi. Akhirnya kesimpulan saya, ini masalah nasional yg harus ditanggulangi secara nasional pula. Siswa itu jamaknya menjalin pergaulan dgn sesama siswa, baik satu sekolah maupun sekolah lain. Kita akan sulit menghentikan peredaran conten porno jika sekolah lain tidak melakukan hal yg sama. Pada posisi ini, peran Kemendikbud dan Kemenag menjadi urgen, dan sepatutnya juga menaruh perhatian yg lebih pada masalah2 substansial ketimbang masalah2 normatif kayak ujian nasional.

Akhir dari catatan ini, pendidikan nasional kita tidak akan benar2berkualitas jika terus-menerus dikelola oleh orang pinter yg pekok. Orang pinter yg pekok adalah orang yg suka mengamati semut dari kejauhan, dan memperhatikan gajah di depan pelupuk matanya. 

RAHASIA OPERASI MILITER

Dalam catatan terdahulu (“Tentara caper”), saya sbetulnya sudah mengomentari aksi kekerasan yang disinyalir melibatkan personel militer akhir-akhir ini. Catatan ini adlah kelanjutan dr catatan tersebut.

Hingga hari ini, berita yg kita baca tentang penyerbuan Lapas Sleman belum banyak kemajuan selain polisi berusaha menyelesaikan sketsa wajah dua pelaku yg pada saat kejadian menurut para saksi diketahui tidak menggunakan penutup muka. Metode pembuatan sketsa yg dilakukan polisi sejauh ini cenderung prosedural walau dlm banyak kasus memang cukup membantu mengungkap kasus2 sulit. Namun metode pengungkapan kasus seperti ini sangat mengandalkan informasi dr masyarakat, selalu butuh waktu. Sketsa adlah bagian dr jejak pelaku yg menjadi rekonstruksi kejadian, toh setiap aksi kejahatan umumnya meninggalkan jejak betapapun sempurna rancangan kejahatan yg dilakukan.

Polisi tentunya sudah mengumpulkan segala bukti fisik yg ditemukan, misalnya tentang peluru yg melukai korban di TKP untuk mengungkap berapakah kaliber peluru dan jenis senjata apa saja yg menggunakan peluru tersebut. Selain itu, hasil olah TKP juga mencoba menemukan sidik jari yg mungkin saja ditinggalkan pelaku. Selain itu, kesaksian menjadi unsur terpenting dlm pengungkapan kasus berdarah ini. Polisi jelas sudah melakukan pemeriksaan verbal pd kepala keamanan lapas dan sipir yg bertugas, dari sana akan coba dirangkai mulai dari proses kedatangan pelaku hingga ketika pelaku meninggalkan Lapas. Pintu pagar lapas awalnya kemungkinan dlm posisi terkunci, sehingga pelaku terpaksa masuk dgn melompati pagar, dan hal inilah yg memancing kecurigaan petugas lapas sekalipun pelaku menunjukkan surat peminjaman tahanan. Perawakan dan tinggi badan rata2 pelaku akan menunjukkan apakah pelaku merupakan warga sipil atau non sipil, sebab ada standar fisik tertentu bagi setiap anggota polri dan TNI. Kemudian dari dialek percakapan, kalimat2 perintah dan sandi2 yg digunakan akan menjadi petunjuk untuk mengidentifikasi pelaku.

Ketika kepala keamanan Lapas (Pak Margo) oleh pelaku dijemput dr rumahnya yg tak jauh dr Lapas, mestinya turut memberikan tambahan informasi, karena sebelum memasuki area Lapas, Pak Margo tentu sempat pula mengamati situasi, berapa org yg berjaga di depan, lalu di dalam, termasuk pula jumlah dan jenis kendaraan yg di pakai. Jam 1 malam, suasana Jogja setau saya masih relatif ramai kendaraan, cukup banyak tempat2 nongkrong di pinggir jalan, dan polisi saya kira sudah mencari informasi sampai kesana. Pelaku diketahui juga sempat menunjukkan surat yg katanya surat peminjaman tahanan, klo misalnya benar dalam surat itu tercantum stempel, polisi dapat pula mencari informasi dari tukang2 stempel yg ada di sekitar jogja, mungkin saja ada yg pernah minta dibuatkan stempel.

Seandainya TNI bersedia lebih terbuka dan menjalin koordinasi dgn didasari keinginan mengungkap kasus ini, maka jalan pengungkapan akan lebih mudah, terutama terkait kepastian adakah keterlibatan oknum TNI. Bila senjata yg diduga adalah merk AK-47 dan SS-1, tentu TNI dapat memastikan kesatuan mana saja di tubuh TNI yg menggunakan jenis senjata tersebut, kemudian memeriksa gudang amunisi, apakah persediaan peluru masih utuh atau telah berkurang. TNI juga bisa diam-diam mengundang sipir untuk memeriksa data pas photo ribuan personel TNI di Jogja-Jateng, siapa tau bisa mengenali adakah di antara sekian banyak photo itu yg dicurigai sebagai pelaku yg tidak menggunakan penutup wajah. Saya yakin pengungkapan kasus yg melibatkan aparat itu justru relatif lebih mudah dibandingkan kasus penyerangan bersenjata yg dilakukan warga sipil.

Pasca kejadian, setidaknya ada 5 pejabat yang saya bayangkan apa yg dilakukannya setelah mendapatkan informasi terjadi penyerangan Lapas Cebongan yg menewaskan tersangka pembunuhan anggota TNI, dan seandainya saya berada pada posisi kelimanya, tindakan apa kira2 yg akan saya lakukan. Pertama, Pangdam Diponegoro, Kapolda DIY, Kapolda Jateng, Direskrimum Polda DIY dan Kasi Intel Kodam Diponegoro. Saya tidak tahu seberapa cepat kelimanya mendapatkan informasi. Bila saya berada pada posisi beliau2 itu, maka kita sebetulnya dapat melakukan deteksi awal tentang siapa kemungkinan pelakunya, dan membuat prediksi cepat kemana arah pelarian pelaku. Seandainya saya Kapolda DIY, Saya akan segera menelepon seluruh polsek di kecamatan2 perbatasan di seluruh DIY, menginstruksikan supaya melakukan pantauan (bukan penghadangan) di jalan keluar Jogja, khususnya kearah yg di curigai dr mana asal pelaku (ini bila yg dicurigai adlah satuan2 militer tertentu). Selanjutnya, saya akan berkoordinasi dgn Kapolda Jateng agar bersedia mengintruksikan petugas reserse di lapangan untuk mengadakan pantauan di sekitar satuan militer yg dicurigai, adakah pergerakan mencurigakan masuk ke area tersebut. Logikanya, bila pelaku merupakan personel militer, setelah melakukan aksi mereka umumnya akan kembali ke pos secepatnya, mengapa? untuk kasus2 yg diduga melibatkan personel militer, atasan yg bersangkutan biasanya akan segera melakukan apel. Untuk kembali ke pos, terlebih perjalanan darat butuh waktu, apalagi jarak Jogja ke markas satuan yg dicurigai letaknya cukup jauh, setidaknya memerlukan waktu 1,5-2 jam perjalanan.

Artinya, saya percaya sebenarnya polisi sejak dini sudah banyak menerima informasi nyaris akurat, setidaknya sekedar memastikan apakah pelakunya berasal dari kalangan aparat atau sipil. Bila mereka yakin sipil, sudah pasti Polda DIY akan segera menggelar operasi penghadangan dan pengejaran. Mengapa itu tidak dilakukan? begitulah menurut pengamatan pengacara korban. Kalau kita mau khusnudzon, karena kemungkinan pelakunya sudah diketahui oknum militer dan mereka tidak mau terlibat konflik jangka panjang antar instansi yg diawali dgn bentrok berdarah bila dilakukan penghadangan. Bahkan sulit dimengerti pula mengapa tahanan Polda bisa dititipkan di Lapas tingkat kabupaten, padahal tidak jauh dr Polda ada Lapas kelas I Wirogunan yg terletak di tengah kota Jogja. Saya melihat, peristiwa di OKU benar2 memberikan pukulan psikologis yg begitu kuat bagi Polri, mereka gentar, trauma dan bingung dlm menentukan sikap, terutama bila terkait dgn pergerakan satuan2 militer.

Apakah kasus penyerangan Lapas Sleman sempurna dr sisi aksi bersenjata? Secara sepintas, tujuan aksi bersenjata itu jelas sukses, baik dr segi target, waktu, maupun cara membersihkan jejak. Namun mungkin akan lebih sulit diungkap jika mereka lebih meminimalkan komunikasi dan interaksi (adalah suatu kecerobohan jika sampai memaksa tahanan menonton adegan eksekusi), menggunakan kode dan bahasa sandi yg benar2 asing dan bukan ciri kelompok tertentu, serta jikapun benar mereka oknum militer maka org yg memperlihatkan wajahnya akan ‘lebih baik’ jika merupakan warga sipil. Artinya, pelaku harus berfikir berkali2 tentang kemungkinan terburuk, termasuk keharusan membersihkan jejak (sekecil apapun). Untungnya mereka masih cukup terkendali untuk tidak ‘menghabisi’ para saksi. Semakin mereka berhasil mengaburkan jati dirinya, semakin sulit pula aparat yg berwenang mengungkap aksinya. Bagaimanapun tentu mereka sepenuhnya sadar, pembunuhan berencana sanksi hukuman maksimalnya adalah hukuman mati.

Sejauh ini, kasus Sleman menurut saya bukan termasuk kasus yg kompleks, ini aksi luar biasa yg sederhana. Luar biasa karena yg diserang adalah salah satu simbol supremasi hukum negara, namun sederhana dari segi motifnya (bila benar motifnya balas dendam). Kasus yg lebih rumit dalam sejarah perjalanan bangsa kita pernah terjadi di tahun 1965-an yg lebih dikenal dgn G30S/PKI. Saya sudah berkali2 membuat catatan tentang peristiwa ini, dan hingga kini ngga bosan juga untuk mengulasnya kembali. Aksi bersenjata G30S PKI rumit untuk dimengerti karena aksi militer ini sbenarnya tidak jelas konsep dan tujuannya. Saya menyebutnya gerakan ‘bunuh diri’, amatiran atau nafsu besar tenaga kurang, karena penuh gagasan operasional yg bersifat spekulatif. Mereka berspekulasi mampu mempengaruhi Bung Karno untuk mendukung tindakan pembunuhan jenderal yg dianggap antek negara asing. Nyatanya tidak. Bung Karno justru meminta gerakan dihentikan. Pelaku G30S berspekulasi Mayjend Soeharto sebagai Pangkostrad mendukung Untung Cs., atas dasar eratnya hubungan pertemanan di masa lalu, nyatanya Soeharto lebih setia dgn negaranya. Mereka menggerakkan dua batalyon pasukan dari Jateng dan Jatim dengan melakukan penipuan dan penyesatan informasi, mereka juga memanfaatkan pasukan Cakrabirawa (Paspampres) dengan mengatasnamakan presiden untuk terlibat penculikan dan pembunuhan 7 jenderal AD.

Ketika gerakan dgn resiko tinggi disusun atas dasar spekulasi dan tanpa memperhitungkan kemungkinan terburuk yg mungkin saja terjadi, maka yg terjadi adalah kegagalan. Para pelaku G30S meninggalkan banyak jejak dlm menjalankan aksinya, jejak yg paling jelas terlihat adalah penggunaan uniform dan simbol2 militer. Saya membayangkan, jika mereka lebih selektif, lebih misterius dalam menjalankan aksi, maka hasil akhir mungkin saja akan berbeda. Bayangkan saja jika pelaku G3OS memilih menggunakan penembak jitu atau pasukan tak dikenal untuk menghilangkan nyawa lawan2 politik mereka, maka situasi jangka panjang rasanya akan berpihak pd mereka, karena Mayjen. Soeharto jelas akan kesulitan mengidentifikasi siapa pelaku. Untungnya, rencana yg dipilih dan terlaksana justru salah satu rencana kudeta terbodoh dlm sejarah peradaban manusia.

Akhir dari catatan ini, kita sebenarnya ingin menaruh kepercayaan pada Polri, pada TNI, sayangnya mereka belum sepenuh hati memberi bukti memang pantas dipercayai. Mereka masih sering berlaku setengah hati, mereka malas keluar dr zona nyaman yg telah sekian lama mereka nikmati. Jadi, ketika rakyat sering memunculkan anarkhi, itulah realitas yg paling mudah untuk dimengerti.

HUKUM PERDUKUNAN

Salah satu topik perbincangan yang relatif menarik untuk dikomentari saat ini adalah rancangan revisi KUHP yang diantaranya memuat pasal2 pemidanaan kejahatan santet. Pencantuman istilah santet/sihir sebetulnya merupakan wujud pengakuan negara terhadap adanya dunia lain alias alam gaib. Menurut saya wajar, karena negara idealnya memang harus mengakomodasi nilai-nilai agama dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat yang secara dominan cenderung mempercayai adanya alam gaib. Semangatnya sih bagus, hanya saja formula dari regulasi yang dirancang pemerintah itu yg memunculkan kompleksitas dari aspek penerapan hukum.

Yg utama terkait beban pembuktian, sejauhmana negara punya kuasa dan kemampuan untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana santet, tentang siapa pelaku yang terlibat, bagaimana modusnya, kapan terjadinya, dimana TKPnya, siapa korbannya, apa saja buktinya. Belum lagi ketika kita membuat peta proses penegakan hukumnya, siapapun jelas bisa saja melapor, tapi siapa penegak hukum yg berkompeten, siapa jaksa yg berkompeten dan siapa hakim yang berkompeten dlm hal santet-menyantet. Dalam konstruksi hukum, rasanya berat sekali implementasinya. Boleh jd, bila rancangan KUHP itu disahkan, pelajaran santet diajarkan pula di sekolah kepolisian maupun fakultas hukum di perguruan tinggi. Akibatnya dapat serius, bisa2 calon polisi, jaksa dan hakim itu klo sudah diajari seluk-beluk menyantet, saling santet2an.

Saya kira, di dunia ini ada kejahatan2 tertentu yg putusan dan sanksinya ditunda hingga persidangan sejati di akhirat mengingat ketidakmampuan manusia normal melakukan penindakan hukum, salah satunya berupa kejahatan sihir/santet.

Saya khawatir jika pidana ini jadi diterapkan, rentan terjadi persidangan sesat, bahkan saya juga tidak yakin hakim akan berani menjatuhkan vonis bersalah. Pikir dia “jangan-jangan klo saya hukum, bisa2 saya yg nanti disantetnya”. Ketika mendengarkan beberapa professor yg diserahi tanggungjawab menyusun pasal2 tentang santet, saya mencoba menyimak dasar argumennya. Profesor Muzakir menjelaskan, bahwa penerapan pasal tentang santet efektivitasnya ditujukan pada praktek penawaran bantuan ilmu gaib dengan maksud menyakiti org lain. Dalam bahasa hukum, dikenal istilah percobaan. Berarti seseorang yg sedang berusaha melakukan suatu tindakan pelanggaran hukum, namun gagal atau digagalkan oleh aparat penegak hukum. Tapi apakah bisa kita mengvonis perkataan/pernyataan yg belum berimplikasi secara hukum. Tawaran itu sifatnya masih opsi (bisa jadi, bisa pula tidak jadi) dan belum membawa dampak hukum apapun.

Misalnya saya menawarkan pada anda untuk membunuh seseorang, saya kira tawaran yg saya berikan tidak dapat dikenai sanksi hukum kecuali bila ada kalimat persetujuan dari org yg ditawari serta dapat dibuktikan adanya langkah2 konkret yg mengarah pada suatu tindakan pidana. Profesor Muzakir juga menerangkan, prakteknya nanti untuk membuktikan kesalahan penyantet melalui alat perekam. Saya pikir penjelasan seperti ini sedikit asal2an, sebab pertanyaannya kemudian siapa yg akan merekam. “Masa sih calon korban, kok tau akan disantet oleh si anu lewat si fulan”. Kata Pak Muzakir, polisinya nanti bisa merekam, lah klo itu namanya melanggar privasi seseorang, mencari2 kesalahan dgn cara memata2i para dukun. Dasar argumentasi formulasi pasal tentang santet ini sama sekali tidak meyakinkan kita.

Namun supaya kita tidak terlalu dini bersikap apriori, sebaiknya kita melihat beberapa sisi positif dari rencana pemidanaan kasus santet ini. Pertama, percayakah kita adanya santet. Saya cenderung percaya kejahatan secara gaib memang ada. Secara spesifik ritual ‘perdukunan’ buat saya pribadi bukanlah fenomena yg asing (namun bukan yg jahat, ya). Kebetulan ayah saya boleh disebut praktisi dalam urusan ini selain aktivitas utama beliau sebagai guru agama. Dulu semasa saya masih kecil hingga tumbuh menjadi remaja, beliau memiliki ruang khusus dalam rumah tempat beliau menyimpan berbagai kitab2, alat tulis dan minyak2 tertentu untuk keperluan yg bersifat supranatural. Ruang khusus ini konon sebaiknya tidak dimasuki sembarang orang, terkecuali keluarga beliau. Mengapa? Ada kitab2 tertentu yg bisa mengakibatkan efek negatif bila dibaca orang lain secara sembunyi2 (sengaja mencuri informasi dr kitab), misalnya efek kegilaan. Ayah saya memang tak pernah secara khusus mewanti2 soal ini, tapi itulah yang bisa saya pahami. Apakah sekarang masih ada? (harap maklum, ayah saya sudah tiada sejak sebelum era reformasi dimulai, hal yg selama masa kuliah rasanya tak pernah saya ceritakan pd sahabat terdekat sekalipun, tp kini tak apalah saya ceritakan sebagai bagian argumentasi catatan ini terkait topik persantetan).

Apakah ayah saya bisa menyantet orang? Bila pertanyaannya pernah, sering atau sejenisnya saya tentu tak tahu, Wallahu A’lam. Tapi jika pertanyaannya apakah Ayah saya tau seluk beluk ilmu persantetan, saya kira iya. Logikanya, siapapun yg mampu (dgn seizin Allah) menolak serangan santet, menyembuhkan korban santet atau mengirim balik suatu santet pd pengirimnya, mestinya paham tata cara persantetan. Persoalannya tinggal soal kemauan penyalahgunaan. Dukun2 yg mengambil ilmu dr selain dr ulama akan mudah menjerumuskan dirinya pd praktik ilmu gaib yg menyimpang, sesat dan sarat kejahatan. Kuncinya adlah pondasi dan sinergi sisi spiritual keagamaan. Supranatural dengan basic keagamaan sebenarnya memberikan keuntungan dlm perspektif hubungan seorang makhluk kepada Khaliq-nya. Orang2 yg diidentifikasi sbagai wali atau para ulama khos memanfaatkan benar keunggulan penguasaan tentang hal2 spiritual seperti ini yg bagi org awam disebut sbagai ilmu supranatural.

Karena ayah saya lahir dr leluhur yg baik, memperoleh ilmu yg baik, maka penyalurannya juga baik. Hal2 saya ingat di masa kecil saya, ayah saya sekalipun tidak rutin namun sering juga datang org2 yg mengharap bantuannya, mulai masalah kemalingan, pengobatan org gila, rajah, pagar, berbagai macam masalah yg diharapkan diatasi melalui jalur supranatural, namun seluruhnya bermakna baik. Berbeda dgn dukun2 profesional (yg kerjaannya murni dukun) dan menjadi kaya raya dr hasil perdukunannya, ayah saya tak mematok tarif, lebih banyak bermotif bantuan yg bersifat sosial, paling banter mereka biasanya datang membawa gula, teh, kopi, dan sebangsanya.

Ketika saya menceritakan hal di atas sbagai contoh nyata, intinya bukan soal pengalaman orang tua, namun untuk memberikan gambaran bahwa ada dua jenis paranormal. Secara sederhana kita bisa menyebutnya aliran hitam dan aliran putih, karena sumber atau asal muasal ilmunya kedua jenis aliran tersebut memang berlainan dan saling bertolakbelakang. Dengan realitas seperti ini, maka rancangan pidana tentang santet harus memahami benar keberadaan org2 yg memiliki ilmu gaib, jangan sampai para kiyai (yg di Indonesia masih cukup banyak jumlahnya) yg menguasai ilmu gaib dan menjalankan pula praktek bantuan yg bersifat supranatural terjebak atau dijebak oleh pasal2 pemidanaan.

Intinya, saya kira sepatutnya pasal2 tentang santet itu tak perlu diatur dalam konstruksi hukum formal. Rasanya aneh saja jika hukum kemanusiaan diarahkan untuk mengatur hal2 diluar nalar dan kewajaran yg melibatkan jenis makhluk berbeda (baca=jin). Pelanggaran nilai2 kemanusiaan secara gaib sebaiknya diatasi secara gaib pula. Dalam konteks ini, negara sah2 saja bila mau berbaik hati menyediakan layanan sosial untuk membantu warganya yg diduga menjadi korban kejahatan secara gaib, misalnya membentuk organisasi yg bersifat sosial (jangan diformalkan), terdiri dari org2 yg diakui oleh anggota kelompok tersebut memang memiliki ilmu gaib (tdk asal mengaku2). Jika ada kasus2 tertentu, biarlah organisasi ini yg memutuskan tindak lanjutnya, baik kepada korban, kepada pelaku maupun makhluk lain yg terlibat dlm satu kejahatan secara gaib. Saya menganjurkan sebaiknya negara memberikan biaya operasional, sekedar biaya pengganti peralatan yg diperlukan, supaya dlm prakteknya tidak terjadi komersialisasi. Saya kira kita mafhum, perputaran uang dlm bisnis gaib itu tidak sedikit, mahar yg harus diberikan klien umumnya besar, dan menjadi amat besar jika org yg punya kepentingan diketahui seorang pejabat, pengusaha atau artis.

Walaupun dunia ini semakin rasional, namun tak dapat dipungkiri hal2 yg bernuansa supranatural tetap saja eksis. Peminatnya tidak sedikit, apalagi jika dikomersialisasi dan disalahgunakan. Satu hal yg harus kita ketahui, ilmu2 yg bersifat supranatural mengandung beban, tanggungjawab, resiko, pantangan dan efek samping. Hal2 ini terkadang tak terpikirkan oleh mereka (generasi muda) yg berminat tentang hal2 yg berbau gaib. Mereka seringkali hanya melihat sisi kekuatan dan kehebatan semata, tanpa memikirkan bahwa ilmu semacam ini merupakan ilmu sarat resiko dan cara memperolehnya juga tidaklah gampang. Hanya pribadi2 yg tangguh dan memiliki kedalaman spiritual keagamaanlah yg mampu menikmati ilmu ini sebagai anugerah dr Allah dan dimanfaatkan sesuai jalur halal yg disediakan Allah.

Saya pribadi lebih suka menjadi manusia yg normal dan wajar2 aja, karena lebih dekat dengan kebahagiaan yg sewajarnya. Contoh sederhana, kebanyakan anda sejak kecil umumnya ditakut2i dengan idiom setan, dan mungkin benar2 takut jika suatu saat anda menyaksikan apa yg kini populer dgn istilah penampakan. Kira2 enak ngga, klo hari2 anda diwarnai dgn menyaksikan pemandangan2 ganjil yg umumnya ngga sedap dipandang mata. Padahal tingkatan dasar belajar ilmu gaib ya mulai membiasakan diri menyaksikan sesuatu yg tak terlihat pandangan biasa, namanya juga memasuki alam halus. Lalu melangkah lebih jauh, anda harus pula terbiasa dgn citra dan gambaran2 aneh, yg lantas ditafsirkan sebagai ramalan. Sepintas, mungkin terkesan hebat tapi sebetulnya akan lebih baik jika kita membiarkan kehidupan kita berjalan normal, rasional, hidup dgn masalah2 yg logis dan sederhana. Semakin sederhana hidup kita, maka sederhana pula masalah2 yg kita hadapi, sebaliknya semakin sering kita menempatkan diri pada posisi sulit dan beresiko, maka rumit pula cara kita menghadapinya. Jadi, semua terserah kita, hidup ini punya sederet pilihan, setiap pilihan memiliki dampak berbeda.

TENTARA CARI PERHATIAN

Apa dampak bagi masyarakat atas terjadinya konflik TNI Vs Polri? Ternyata dampaknya serius. Sejak peristiwa penembakan anggota Armed oleh oknum polisi, banyak pos2 penjagaan di daerah yg rawan aksi kriminal (perampasan sepeda motor) mulai jarang dijaga anggota polisi (mungkin khawatir jd sasaran balas dendam). Terlebih pasca penyerangan mapolres OKU, buktinya pagi harinya Mapolres diserang, malam harinya serombongan warga pulang dr pengajian digerandong (istilah tenar aksi curanmor). Tak tanggung2 10 motor sekaligus digasak. Bisa dibayangkan klo setiap motor ditumpangi 2 orang, maka setidaknya 20 orang dibuat tak berdaya dihadapan kawanan kriminal.

Secara psikologis dan moril, peristiwa penyerbuan Mapolres OKU menaikkan kepercayaan diri anggota TNI. Mereka kini jelas merasa lebih kuat dan lebih disegani, terutama oleh anggota polisi, setelah sejak era reformasi TNI seolah dikucilkan dan kehilangan banyak kewenangan. Sabtu kemarin, dlm peristiwa berdarah di Lapas Cebongan Sleman adlah peristiwa misterius yg sulit ditepiskan adanya keterlibatan oknum TNI. Para pejabat militer boleh2 saja membantah, tp aksi itu memiliki ciri yg sangat khas militer. Cepat, senyap dan terorganisir dgn baik. Mulai dr pemilihan waktu, pemakaian kendaraan, senjata dan kemampuan menghilangkan jejak lazimnya dilakukan oleh org2 terlatih dan terdidik. Hal ini berbeda misalnya dgn perampokan di Bank CINB cabang medan oleh gerombolan teroris yg terlatih menggunakan senjata, namun minim kecakapan intelijen. Buktinya, mereka alpa untuk mengamankan adanya perangkat CCTV, termasuk pula lalai  mendeteksi adanya org yg mampu memotret aksi mereka. Satu2nya kecerobohan pelaku penyerangan Lapas adlah jumlah muntahan peluru yg mencapai lebih dr 30 peluru. Klo cuma ingin membunuh, mestinya tdk sebanyak itu. Apalagi dlm jarak dekat, saya kira berondongan peluru itu lebih disebabkan luapan kemarahan dan emosi balas dendam yg membuncah. Artinya, pelaku bukanlah pembunuh bayaran atau sekedar org suruhan. Jika mereka tdk punya hubungan emosional secara pribadi, mereka juga tdk perlu sampai menganiaya petugas lapas. Jadi, saya tentu tidak bisa memastikan siapa pelakunya, namun dugaan saya tdk jauh2 dr dugaan kebanyakan org.

Penyerangan Mapolres OKU dan Mapolsek Martapura adlah perilaku salah kaprah dr sekelompok oknum, demikian pula pembunuhan keji di Lapas Sleman. Dua insiden ini melanggar hukum, dan jika kita menjunjung tinggi nilai2 hukum, semestinya penyelesaiannya lewat jalan hukum, disamping solusi lain.

Mengapa ada sekelompok tentara menjadi kalap dan cenderung membabi buta? Kita harus mengembalikan pada cara negara kita selama ini dlm memperlakukan tentara, terutama dr sisi peran dan kewenangan. Sebelum era reformasi, negara kita praktis banyak dikuasai tentara, terlebih di era pemerintahan Pak Harto. Sampai2 cita2 utama saya semasa kecil sebetulnya pengen jadi perwira militer. Kesannya, terlihat gagah dan berkuasa. Sayangnya, kecakapan fisik saya tdk menunjang kearah sana, sedari SMA cita2 itu memudar karena saya harus banyak menghitung peluang lolos masuk akademi militer, dan hitung2an akhir saya ternyata menyimpulkan peluang saya berat. Saya bukanlah tipe org yg gemar mencoba2 sesuatu, jd saya tak pernah menguji peruntungan dgn mencoba seleksi masuk militer. Tapi minat sy dgn dunia kemiliteran tetap awet hingga sekarang, saya senang membaca literatur tentang kemiliteran, setidaknya saya masih hafal jenjang kepangkatan di tiga angkatan TNI, mulai dari Prajurit dua (Prada) hingga jenjang kepangkatan jenderal.

Harus disadari bahwa negara sudah berlaku tdk fair dlm menempatkan posisi militer ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara pasca reformasi 1998. Memang kita trauma dgn dominasi militer dimasa lalu, tapi mengucilkan peran militer justru rentan menimbulkan situasi yg membahayakan. Secara teori, org yg terlatih dan terdidik selalu butuh penyaluran untuk mengaplikasikan kecakapannya. Org yg terlatih tdk pernah mempersiapkan dirinya untuk jd pengangguran atau sekedar menjadi alat pelengkap semata. Contoh di negara lain, Amerika Serikat misalnya. Sebagian besar personel militer negara adadaya itu boleh dibilang pernah merasakan terlibat di medan konflik, terutama di luar negeri. Padahal jarang2 ada negara lain yg menantang dan mengajak Amerika untuk berkelahi. Kita tahu sejak perang dunia, Amerika hobi melibatkan diri dlm berbagai medan pertempuran, melawan Jepang, Jerman, Italia, Vietnam, Philiphina, Irak, Afganistan dan terakhir di Libya. Motif utamanya, menunjukkan hegemoni, sumber daya alam, menguji coba teknologi militer, penjualan senjata, sampai menyalurkan kecakapan bertempur anggota militernya. Semakin elit suatu pasukan, semakin ahli seseorang secara kemiliteran, berpotensi membuat kekacauan di negara sendiri jika tidak disediakan ajang pelampiasan. Maka tak heran, jika Amerika suka menciptakan medan pertempuran di negara2 lain bagi pasukan militernya.

Negara kita tentu tak perlu meniru Amerika, karena untuk bertempur diperlukan biaya yg luar biasa besar, apalagi negara kita tak memiliki karakter dan watak penjajah. Itulah mengapa sekalipun negara kita luas wilayahnya, kita bukanlah termasuk diantara negara besar. Amerika, Jepang, Jerman, rusia dan kini China mewarisi karakter kuat bangsa penjajah, dan itulah modal utama untuk tumbuh menjadi negara besar yg diperhitungkan masyarakat internasional.

Yang perlu kita kelola hanyalah menyalurkan tentara2 kita ke jalan yg tepat bagi mereka dgn membagi secara tegas kewenangan. Sekarang eranya polisi dimana apa2 serba polisi. Urusan surat menyurat kendaraan didominasi polisi, pelanggaran lalu lintas diurus polisi, izin keramaian harus ke polisi, aksi terorisme diurus polisi, pokoknya serba polisi. Sementara tentara tiap hari kerjaannya cuma latihan dan latihan, tanpa tahu kapan praktek konkretnya. Konflik separatis di Poso, Aceh dan Papua semestinya menyangkut aspek pertahanan negara, namun karena pemerintah trauma dgn cerita DOM di masa lalu, makanya masalah keamanan tetap diserahkan ke polisi. Aksi2 terorisme dr sisi motif sebetulnya menyerang eksistensi dan kedaulatan negara, karena tujuan akhir kelompok ini memang mewujudkan Indonesia menjd negara Islam. Bukan sekedar masalah pelanggaran keamanan semata. Idealnya, pemberantasan terorisme itu menjd kewenangan militer, toh nyatanya akhir2 ini wajah Densus 88 Polri mengedepankan karakter militeristik ketimbang upaya penegakan hukum. Buktinya,  anggota Densus kini lebih suka menembak mati di tempat tersangka kasus terorisme ketimbang berusaha mengamankan tersangka hidup2. Kecenderungan ini bisa dimaklumi, karena Densus agaknya mulai mikir2, “kita nangkapnya susah2, dipengadilan dihukum ringan dan setelah lepas kambuh lagi, ya udah deh diberesin aja..”.

Menurut pendapat saya, memang akar permasalahan konflik TNI versus Polisi sbetulnya masalah pembagian jatah kewenangan yg dinilai kalangan militer kurang proporsional dan adil. Beberapa insiden terbaru sebenarnya baru tahap caper (cari perhatian) dan bisa berevolusi pd situasi penuh kerentanan jika presiden berikutnya berlatarbelakang sipil. Pemerintah dan anggota DPR mulai sekarang harus memikirkan benar formulasi kewenangan dan peran antara polisi dan militer, jika tdk ingin suatu hari kita dihadapkan pd kejutan2 yg pernah pula terjadi di masa lampau. Misalnya kudeta yg hingga hari ini masih merupakan fenomena tabu di negeri ini, suatu saat bisa saja menjadi hal yg biasa saja seperti yg beberapa kali terjadi di negara tetangga kita, Philipina.

Akhirnya, peristiwa sejarah selalu memberikan hikmah, pesan dan pelajaran berharga, bergantung bagaimana cara kita menyikapinya.