MEMILIH JUDUL & JENIS PENELITIAN PENDIDIKAN


Ainul Huda Afandi

Skripsi adalah karya ilmiah yang ditulis oleh mahasiswa strata 1 sebagai hasil penelitian dan atau pengkajian ilmiah terhadap suatu obyek yang berkaitan dengan bidang ilmunya pada akhir program studi sebagai salah satu persyaratan penyelesaian program studi untuk mencapai gelar kesarjanaan. Tujuan adanya tugas menyusun skripsi adalah memberikan pemahaman dan kecakapan teoretis-praktis terhadap mahasiswa agar dapat berpikir secara logis dan ilmiah dalam menguraikan dan membahas suatu permasalahan serta dapat menuangkannya melalui tulisan secara sistematis dan terstruktur.
Umumnya, bagi mayoritas mahasiswa S-1, menyusun skripsi adalah pengalaman formal pertama menulis karya ilmiah. Dikatakan formal, karena skripsi merupakan bagian kegiatan akademis  yang hasilnya diakui secara resmi sebagai karya ilmiah oleh negara (dalam hal ini diwakili perguruan tinggi). Mengingat skripsi adalah pengalaman pertama, maka dalam proses dan hasilnya masih penuh dengan toleransi kesalahan, baik berupa kesalahan pengetikan maupun kelemahan dalam menyajikan data dan analisis pembuktian, serta membuat kesimpulan.
Tantangan pertama ketika mahasiswa memutuskan mengambil tugas penyusunan skripsi adalah mengajukan judul penelitian. Mahasiswa tentu saja bebas memilih dan memilah judul yang dikehendakinya, namun persoalannya tidak setiap judul yang diajukan akan terima pejabat kampus yang berwenang. Setidaknya ada 4 hal yang menjadi pertimbangan diterima atau ditolaknya suatu judul penelitian: (1) orisinilitas objek yang diteliti. Hal ini untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terdahulu atau mencegah terjadinya pengulangan penelitian yang tidak perlu, khususnya pada penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang bersifat menguji suatu hipotesis. (2) Relevan dan memiliki daya tarik. Topik yang diteliti sebaiknya  memiliki daya tarik, tidak saja bagi calon peneliti, namun juga bagi orang-orang yang berkepentingan terhadap hasil penelitian. (3) Manfaat. Setiap skripsi yang dibuat oleh mahasiswa seyogyanya mengandung manfaat teoretis dan manfaat praktis. (4) Sesuai dgn disiplin ilmu. Mahasiswa jurusan Pendidikan Fisika tentu saja mengkaji dan meneliti suatu topik permasalahan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang menjadi keahliannya. (5) Sesuai fakta dan realita di lapangan. Idealnya judul penelitian diambil sesuai fenomena atau fakta yang dijumpai, bukan berangkat dari teori-teori dari buku. Artinya, peneliti perlu mengadakan survey pendahuluan untuk mengidentifikasi suatu permasalahan. Selama ini, banyak mahasiswa yang mencari-cari judul dari buku dan diolah menjadi judul penelitian.Sebenarnya cara seperti ini sah-sah saja, namun persoalannya mahasiswa tersebut akan kesulitan menemukan lokasi penelitian yang cocok dan sesuai dengan variabel yang akan diteliti. Untuk itu, pihak perguruan tinggi yang berwenang menerima atau menolak suatu judul tentunya harus cermat dalam memeriksa judul yang diajukan mahasiswa, terutama penelitian lapangan untuk mencegah terjadinya manipulasi data dan fakta. (6) Dapat diteliti. Misalnya bila mahasiswa mengajukan judul pendekatan pembelajaran, maka sebaiknya diperinci dan dipertegas lagi, karena pendekatan pembelajaran masih bersifat umum. Objek yang diteliti juga harus dapat diukur dan ditentukan indikatornya. (7) Tidak terlalu banyak menyita waktu, tenaga dan biaya untuk menelitinya. Umumnya mahasiswa dibatasi waktu penyusunan skripsi paling lama 1 tahun, maka objek yang diteliti hendaknya tidak memerlukan waktu penelitian melebihi durasi waktu yang paling rasional. (8) Kemampuan mahasiswa. Suatu judul yang bagus bukan berarti otomatis dapat diterima jika mahasiswa yang akan meneliti tidak cukup meyakinkan sanggup menelitinya.
Ketika menyusun judul penelitian, banyak mahasiswa yang kebingungan menentukan jenis penelitian. Hal ini tentu terkait dengan kelemahan pondasi metodologis tentang penelitian.  Sekalipun cukup banyak buku yang menulis teori metodologi penelitian, namun umumnya tidak memaparkan secara rinci dan tegas bagaimana cara termudah bagi peneliti menyesuaikan dan menentukan jenis  dan pendekatan penelitiannya. Termasuk pula tentang kualitatif atau kuantitatif. Bila pertanyaannya lebih baik mana, penelitian kualitatif atau penelitian kuantitatif? Maka jawabannya, bergantung seberapa besar manfaat yang bisa digali dari hasil penelitian. Dari sisi tingkat kesulitan, penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang relatif mudah untuk dikerjakan (apalagi saat ini mahasiswa cukup menggunakan software perhitungan statistik, seperti SPSS) dibandingkan penelitian kualitatif. Perhitungan manual sudah banyak ditinggalkan karena skripsi memang bukan wahana latihan belajar statistik, namun lebih bersifat praktis dan mengandung tujuan ilmiah tertentu.
Dari segi hasil, penelitian kuantitatif cenderung ‘membosankan’, proses analisis datanya lebih mudah dimanipulasikan karena banyak mahasiswa memilih hasil yang paling aman dan tidak berpotensi mengundang pertanyaan pada waktu ujian skripsi. Misalnya, ketika skripsi mahasiswa menguji hipotesis tentang pengaruh atau korelasi, umumnya hasil yang ditemukan nyaris selalu “ada pengaruh dan korelasi”, walaupun bila dilakukan kajian yang lebih mendalam hasilnya boleh jadi berbeda. Ini dimungkinkan bila dosen pembimbing tidak mengontrol dan mengawasi secara langsung proses uji instrumen maupun pada saat instrumen tersebut digunakan. Tidak sedikit terjadi manipulasi data dengan berbagai modus dan cara. Sisi kurang menarik lainnya, penelitian kuantitatif adalah aktivitas peneliti menyusun karya ilmiah yang sebagian besar waktunya berada dibalik komputer.
Penelitian kuantitatif dengan rancangan eksperimen dimulai dengan teori dan hipotesis. Peneliti menggunakan teknik manipulasi dan mengkontrol variabel melalui instrumen formal untuk melihat interaksi kausalitas. Namun, untuk penelitian asosiatif, peneliti harus memperhitungkan aspek subjek penelitian untuk menguji suatu hipotesis. Artinya, penelitian berangkat dari lapangan, lalui disesuaikan dengan teori, lalu disusun suatu hipotesis. Pada bentuk penelitian ini, justru harus dihindarkan teknik manipulasi dan mengkontrol variabel, biarkan saja objek yang diteliti menjalani aktivitas seperti biasanya. Untuk membedakan dua tipe ini, kembali pada tujuan penelitian. Apakah penelitian dimaksudkan untuk menguji pengaruh variabel X terhadap Y dengan ‘meminjam’ suatu objek penelitian untuk dikontrol dan diberikan treatmen (perlakuan) tertentu atau penelitian yang dilakukan ditujukan untuk mengetahui dampak penerapan yang telah ada secara faktual dan kemudian dianalisa secara kuantitatif. Salah satu ciri untuk menjelaskan dua tipe penelitian kuantitatif adalah mencantumkan jenis penelitian pada judul skripsi bila penelitian yang dilakukan menggunakan teknik manipulasi dan mengkontrol variabel, misalnya: pengaruh metode …terhadap … (penelitian eksperimen pada siswa kelas ….).
Penelitian kualitatif tidak memerlukan hipotesis, justru kadang-kadang diakhiri dengan hipotesis. Bila dalam penelitian kuantitatif, peneliti secara ideal berlaku sebagai observer subyek penelitian yang tidak terpengaruh dan memihak (obyektif), namun pada penelitian kualitatif, walaupun informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap obyektif, namun sudut pandang penilaian terhadap suatu data/informasi merupakan subjektivitas peneliti.
Pemilihan pendekatan kuantitatif atau kualitatif didasarkan pada bentuk penyajian hasil penelitian, bukan isi skripsi secara keseluruhan, sebab pada dasarnya skripsi umumnya tidak bebas dari perpaduan data kualitatif dan kuantitatif. Pemilihan dua pendekatan ini lebih dasarkan pada pada data penelitian apa yang akan dianalisa, dengan teknik apa menganalisanya dan seperti apa cara memaparkan hasil penelitian. Jika data yang akan dianalisa merupakan data kuantitatif (misalnya hasil angket), lalu diolah dengan rumus-rumus statistik dan disimpulkan secara matematis, maka pendekatan penelitiannya adalah kuantitatif. Demikian pula penelitian kualitatif, jika data yang diperoleh merupakan data kualitatif, atau data kuantitatif yang ingin dimaknai secara kualitatif, lalu diolah dan dijabarkan secara deskriptif maka dapat dinyatakan penelitiannya merupakan penelitian kualitatif.
Bolehkah memadukan penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif sekaligus dalam satu karya ilmiah seperti skripsi. Menurut penulis, idealnya memang begitu, sehingga produk yang dihasilkan suatu karya ilmiah dapat komrehensif dan menyeluruh. Misalnya, ketika hasil penelitian menyatakan ada pengaruh, maka dapat sekaligus pula dijabarkan apa saja faktor yang menyebabkan suatu variabel mempengaruhi variabel yang lain. Kondisi spesifik apa saja yang memberikan keuntungan sehingga suatu variabel dapat berlaku secara efektif sehingga memberikan dampak-dampak tertentu.
Namun, dalam tataran penugasan skripsi, model campuran seperti ini tentu saja menyulitkan dan cenderung memberatkan. Mahasiswa akan kesulitan untuk fokus terhadap objek yang diteliti, sehingga sebaiknya memang memilih salah satu pendekatan saja. Hal-hal yang dapat diteliti khususnya dalam dunia pendidikan cukup banyak, mulai dari penerapan model pembelajaran, pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, taktik pembelajaran, media pembelajaran, perangkat pembelajaran, pengelolaan kelas, penataan kelas, kepribadian guru, kompetensi guru, profesionalisme guru, kedisiplinan, motivasi mengajar guru, motivasi belajar siswa, prestasi belajar, minat belajar, konsentrasi belajar, sumber-sumber belajar, kantin, koperasi sekolah, perpustakaan, letak geografis sekolah, lingkungan, dan sebagainya.

KENAL BELUM TENTU SAYANG


Kita tentu sudah berkali2 mendengar pepatah klasik, “tak kenal maka tak sayang”, betul juga sih. Sudah hal yg biasa terjadi, rasa suka atau suka terhadap sesuatu bergantung seberapa intens kita mengenalnya. Jika kita mengenal sesuatu atau seseorang hanya permukaannya saja, yg lebih dominan adlah kesan. Persepsi kita banyak dipengaruhi oleh kesan2 yg lalu jadi pembungkus kesimpulan. Kesan bersifat subjektif, namun dpt berubah menjadi objektif jika kita mampu mengenali sesuatu secara mendalam dan utuh. Dulu (mungkin juga sekarang), diantara org2 yg mengenal maupun kurang mengenal saya, ada yg kurang suka dgn beragam cara pandang dan penilaian. Begitu pula sebaliknya. Hampir semua org mengalami hal seperti ini. Tentu sepenuhnya sy memaklumi dan memahami, itu semua disebabkan karena kurangnya saling kenal.

Demikian pula yg terjadi pada Anas Urbaningrum. Sudah berbulan2 lamanya, sebagian besar perbincangan publik tentang sosok Anas Urbaningrum lebih didasarkan pd kesan dan subjektifitas banyak org. Karena sebagian besar org tersebut, hanya mengenali figur Anas sebatas tampilan di TV, maka persepsi yg terbentuk (dan memang sengaja dibentuk) bergantung materi pemberitaannya. Saya adlah bagian dr anda yg tidak mengenal Anas secara pribadi, baru sebatas katanya. Namun, saya berusaha mengenali Anas lewat bahasa tubuh, pilihan kata,  intonasi dan materi yg dibicarakan. Upaya mengenali seperti ini, akan mempermudah kita untuk tidak terbiasa menilai sesuatu atau seseorang sekedar warna hitam atau putih semata. Kenal saja belum tentu sayang, apalagi klo tak kenal.

Mengapa ada sebagian masyarakat cenderung percaya Anas adlah koruptor. Pertama, beberapa ‘nyanyian’ Nazarudin ternyata terbukti di pengadilan benar adanya. Tapi ada satu hal yg kita tak boleh lupa, sewaktu mengaku masih berobat di Singapura, Nazarudin belum meributkan kasus-kasus yg melibatkan koleganya di Demokrat. Ia menyerang MK, persisnya Sekjen MK. Ia menyebut Sekjen MK telah menerima korupsi, tp versi lain menyebutkan bahwa sudah menjadi watak Nazarudin untuk gemar ‘bersedekah’ dgn investasi uang tanpa ‘sebab’, ia mengirim sejumlah uang pd sekjen MK dgn modus taktik tanam budi. Tiba2 ngasih begitu aja, dgn harapan suatu saat jika dirinya atau mungkin jg partainya terlibat perkara di MK dpt memperoleh keuntungan strategis. Kedua, masyarakat umumnya masih punya kepercayaan besar terhadap KPK, jadi sekalipun belum terbukti bersalah, siapapun yg dikenakan status hukum tersangka oleh KPK, diyakini memang bersalah. Ketiga, sudah bukan rahasia lagi jika Anas berlatar belakang keluarga yg biasa saja, katakanlah pas2an. Tp bagaimana ceritanya sehingga kini Anas memiliki rumah yg nilainya miliaran, beberapa mobil mewah, sejumlah org awam mesti berfikir, “darimana lg klo tdk dr uang2 yg ngga jelas”.

Saya memiliki seorang teman yg masih terbilang saudara. Ia dan keluarga besarnya telah melalui cerita kehidupan yg saya yakin luar biasa sulit untuk dilalui. Latar belakang org tuanya termasuk kurang mampu, meninggal disaat putera-puterinya yg berjumlah hampir sepuluh orang itu masih remaja, beberapa diantaranya malah masih anak-anak. Tinggal bersama dlm satu rumah yg sempit. Setelah sekian lama, satu persatu para saudara ini mulai hidup berkeluarga, dan meniti jln hidup masing2. Beban cobaan itu bertambah berat saat salah satu anggota keluarga menderita sakit jiwa, 20 tahun lamanya (hingga kini pun belum sepenuhnya sembuh) akibat komplikasi ilmu. Anda mungkin heran dgn istilah ini.

Ceritanya di saat masih remaja, anggota keluarga yg sakit jiwa, sebut saja fulan namanya punya ghirah yg besar terhadap ilmu, tak cuma ilmu2 agama tp juga ilmu2 yg bersifat spiritual dan supranatural. Maklum turun temurun, ilmu2 semacam ini memang dikuasai nenek moyangnya, termasuk pd pamannya yg merupakan pengasuh pesantren. Ia belajar dan diajarkan ilmu2 hikmah (ilmu putih), tp satu hari dlm dinamika hidup ia memiliki musuh yg lalu mendorong si fulan ini belajar dr guru yg lain. Mempelajari ilmu hitam sebangsa santet, dan semacamnya. Terjadi pergulatan dlm dirinya, pd titik tertentu akhirnya fisik dan pikirannya tak kuat lg menjd magnet masuknya ilmu2 yg kontradiktif, lalu kegilaan adlah efek yg boleh jd sulit dicerna, dan berbeda pula perspektif bila ditinjau dr sudut pandang medis. Merawat dan menjaga anggota keluarga yg mengalami problem kejiwaan tentu takkan mudah, apalagi bila berlangsung puluhan tahun, itulah mengapa saya menyebutnya cerita kehidupan yg begitu sulit.

Sampai suatu ketika, saudara fulan yg sedang sy ceritakan ini memperoleh kepercayaan menjadi kepala sekolah setelah beberapa tahun meniti karir sebagai guru. Tanggungjawab ini diterimanya setelah tak lama berumah tangga, dan tinggal bersama mertua. Ternyata, kursi jabatan yg semula lancar2 saja berubah menjadi panas saat sekolah menerima bantuan. Ketika kebetulan mertuanya membelikan sepeda motor baru, mulai muncul pergunjingan. Ketika ia membeli laptop, ada pengaduan2, bahkan ketika ia memutuskan memberikan gaji lebih awal pd guru honorer pun, kebijakan tersebut justru dicurigai..

Pergunjingan tentu saja manusiawi, apalagi jika menemukan titik argumentasi yg logis. Mengapa? Penyebab utamanya karena teman (sekaligus saudara sy) ini berangkat dr keluarga kurang mampu, sehingga memiliki sesuatu yg agak bernilai akan mudah dicurigai. Situasinya boleh jd akan lain, jika yg terpilih adlah istri camat yg kebetulan bertugas pula di sekolah itu. Mau beli apa aja boleh, lha wong dah dari dulu keliatan banyak duitnya. Saya sendiri maklum, tapi karena saya jauh lebih mengenal teman yg satu ini (terlepas saudara atau bukan), tak secuilpun tersimpan kecurigaan dibenak saya, bahwa ia akan mengkorupsi uang sekolah. Mengapa? karena saya paham dan yakin tentang namanya integritas. Integritas seseorang sulit berubah kecuali adanya situasi yg amat benar2 darurat. Ciri utama dr integritas adlah dedikasi, prinsip2 hidup, kejujuran dan keterbukaan. Perpaduan dari tiga hal ini yg menjadi faktor pembentuk integritas, dan seberapa mudah atau sulit kita menebak integritas seseorang bergantung pd seberapa banyak kita mengenalnya dr dekat.

Banyak cara sbetulnya jika kita ingin menunjukkan integritas, terutama menjaga betul agar terjadi konsistensi antara apa yg diyakini, dinyatakan dan apa yg selanjutnya dilakukan. Seorang yg berintegritas memiliki nilai dan prinsip2 hidup yg dengan teguh dipegangnya. Anas Urbaningrum (sbagai contoh figur publik yg paling aktual) sedang menguji integritas dirinya sendiri. Dlm beberapa wawancara, ia menyertakan beberapa nilai dan prinsip, seperti berfikir sebelum bicara. Ini salah satu indikator, jika Anas tampak selalu mencoba memikirkan pilihan kata sbelum menyampaikannya pd org lain, berarti ia telah memiliki salah satu prasyarat integritas. Kemudian indikator lain adlah pengorbanan, org yg punya integritas selalu merelakan  untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan banyak org. Lalu keberanian untuk bertanggungjawab atau inisiatif mengambil tanggungjawab. Kalau anda sedang melalui satu insiden kecelakaan di jalan raya, lalu anda baru sebatas menonton supaya memperoleh bahan cerita dan berlalu begitu saja, anda perlu meragukan kualitas integritas anda.

Akhirnya, klo anda membaca sy cukup rajin memposting tulisan di FB tentu bukan tanpa motif dan tujuan. Motif utama jelas karena ini memang hobi saya, salah satu sumber kebahagiaan saya, dan rasanya agak mubazir klo ngga di share pada org lain, siapa tahu ada yg bisa mengambil manfaat dr apa yg saya tulis. Saya tak lg punya cukup minat menulis di media massa karena saya khawatir motif yg muncul berikutnya lebih banyak seputar potensi memperoleh pendapatan ekonomis atau sekedar kebanggaan semu. Saya pun tau diri, kualitas tulisan sy praktis tak berkembang dan saya tak cukup percaya diri akan layak muat.

Motif berikutnya yg memberikan dorongan kuat untuk menyimpan tulisan di FB atau via blog adlah kesadaran bahwa pada saatnya kita akan mati, mungkin pula terjadi tanpa sempat kita meninggalkan pesan2 khusus. Tulisan2 ini adlah wasiat, terutama bagi anak keturunan saya, karena merekalah pihak yg paling berkepentingan untuk mengenali kakek moyangnya.  Dlm konteks ini, kegiatan menulis hendaknya bukan sekedar aktivitas dgn target2 jangka pendek. Surah pertama al-Qur’an, Al-Alaq pun menekankan pentingnya budaya baca-tulis, agar kita dlm hidup senantiasa menyempatkan diri membaca apapun yg bisa dibaca, lalu meninggalkan tulisan dan cerita kehidupan yg bisa dibaca, dipelajari dan diambil pelajaran oleh generasi penerus kita. Salah satu tempat belajar tentang kegagalan dan keberhasilan, tentang curahan hati dan perasaan, tentang nilai dan prinsip-prinsip hidup, tentang pandangan, gagasan dan pemikiran.

Akhirnya, selamat malam. Wassalam.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 27 Februari 2013

ANAS SEDANG NAHAS


      Komentator TV One, Effendy Ghozali, tampak terkagum2 dengan penampilan Anas sabtu siang di kantor DPP Partai Demokrat. Sempat terlihat down dan pucat waktu diserbu gerombolan awak media, Anas dengan cepat mampu menguasai diri, dan tampil dgn karakter aslinya, tenang dan cerdas. Satu kesan yg menarik dr pembicaraan Anas, dan ekses dr peristiwa penetapan status tersangka atas diri Anas adalah kita disajikan perang dingin dari dua figur yg sangat mirip tipikalnya, antara Anas dan SBY. Dua orang ini dr sisi kualitas personal,  sebenarnya cukup mengagumkan, terutama dr sisi pembawaan dan kemampuan berbicara. Baik Anas maupun SBY adlah org2 yg sangat jenius dlm menentukan pilihan kata, setiap kalimat menyimpan pesan dan makna, dan piawai menyusun kalimat demikian tertata.

       Situasi ini mengingatkan saya pd peristiwa sejarah zaman kekhalifahan, saat beberapa sahabat yg dlm hadis dijamin masuk surga berperang melawan sahabat2 lain yg juga dijamin masuk surga (Sahabat Thalhah dan Zubair bin Awwam, dlm sebuah hadis dijamin masuk surga, tapi nyatanya, dua orang sahabat ini meninggal dunia dlm pertempuran melawan pasukan Ali bin Abi Thalib, seorang anggota keluarga Nabi yg juga dijamin masuk surga. Ammar bin Yasir adlah bekas budak kematiannya jauh2 hari telah diprediksikan oleh Nabi, dan dimasa kekhalifahan Ustman sering mengkritik khalifah Utsman yg notabene bergelar dzunnurain (karena memperistri dua puteri Rosululullah). Maka perang dingin antara SBY dan Anas ini merupakan pertempuran yg menyulitkan kita untuk berpihak pada siapa. Dua org ini akan membuat kita bingung menilai, siapa sebetulnya yg benar2 baik, dan siapa pula yg ternyata jahat, karena memang penampilan luar keduanya yg mengesankan org baik2. Saya menganalogikan dgn kisah sahabat di atas, karena realitasnya seringkali orang baik terjebak pertempuran sia-sia melawan org baik lainnya. Hal lain yg dapat kita pahami adlah, gaya bertempur org jawa itu seringkali lebih ‘kejam’ dan tersamar dibandingkan suku2 lain. Lihat saja, gaya bertempur Pak Harto, SBY dan sekarang Anas. Benar2 khas konflik tipikal wong jowo. 

      Siapa bisa menyangka bahwa Pak Harto ternyata punya sisi kejam dlm dirinya. Beliau pribadi bersahaja, murah senyum, dan kebapakan, tapi di sisi lain, ia membiarkan terjadinya pembantaian ratusan ribu hingga jutaan pengurus dan simpatisan PKI, dgn mengatasnamakan masa depan bangsa dan negara. Lain waktu, Pak Harto juga merestui proses eksekusi tanpa proses hukum ratusan (mungkin ribuan) org2 yg diduga preman dan pelaku kriminal dlm operasi terbatas yg diberi nama petrus (penembakan misterius). Bagaimana dgn SBY? Saya tak bisa banyak berkomentar karena memang tak tahu apa2 selain apa yg diberitakan di TV. Tapi saya ingin menanyakan dua hal, selama menjalani karir militer hingga mencapai pangkat jenderal, pernahkah SBY menembak seseorang? Pernahkah dlm koridor pengalaman militer, SBY memukuli seseorang? (terlepas apa alasan dan dasar argumentasinya). Saya ingin mengandaikan dgn diri saya sendiri.

       Pengalaman berkelahi saya seumur2 adlah semasa SD, mungkin kelas 2 atau kelas 3 (tak ingat persis kapan waktunya), walau sbetulnya tak bisa jg disebut perkelahian, lebih tepatnya penganiayaan. Selepas itu rasanya tak pernah lagi, sy memang berkali2 membunuh curut atau katel (berhubung dua binatang ini pernah menggigit saya), tp menyakiti seseorang secara fisik mungkin hanya akan terjadi disaat batas kesabaran sy jauh melampaui batas normal. Hanya hal2 yg mampu membuat kalap dan gelap mata. Bila tidak menyukai seseorang, naluri saya adlah menghindar, itu rasanya jauh lebih baik. Maksud saya, org yg pernah melakukan kekerasan, betapapun pernah kapok dia, peluangnya untuk mengulangi perbuatan lebih besar kendati dlm bentuk kekerasan yg berbeda, misalnya kekerasan politik. 

    Soal niat baik, saya mempercayai SBY. Orang baik niatnya senantiasa baik, cuma masalahnya org baik tidak selalu identik dgn tindakan yg serba baik. Org baik juga bisa berbuat jahat, sekalipun ia tidak berniat jahat. Setiap ada berita di detik.com tentang Anas, sebagian besar komentar pembaca bernada menghujat Anas, menganggap Anas cuma berapologi dan berkilah, seperti yg banyak dilakukan para koruptor lain. Tuduhan itu wajar2 saja, terutama bagi mereka yg tidak mengenal Anas. Dalam suatu fase dlm hidup saya, pernah saya jarang sekali tampak hadir shalat di masjid, maka ada dua kelompok usia (tua dan muda) yg merasa penasaran lalu bertanya pd saya. Kelompok tua memilih menjaga perasaan sy dgn kata2 yg bernada menyindir secara tdk langsung dgn mengutip beberapa hadis, ada juga yg menceritakan betapa rajinnya ia berjamaah, bukan bermaksud menyombong, tp sbenarnya memberikan sindiran. Untuk kelompok usia ini, apologi saya sederhana saja, saya cuma tersenyum simpul tanpa banyak memberi tanggapan, lalu saya katakan “semuanya benar, tak ada yg bisa dibantah”. Sayangnya, mulut memang tak membantah, tp hati saya punya tanggapan berbeda. ‘Tidak segala yg tampak sederhana, selalu mudah mencari solusinya. Masalah sederhana bagi satu org boleh jd rumit bagi org lain. Nasehat itu hanya buat yg belum mengerti, garamilah air tawar, jangan menggarami lautan. Bagi org yg termasuk alim, yg ia perlukan hanyalah kesempatan terbaik. Bukan sekedar kesempatan yg tersedia, tp kesempatan yg ia inginkan. Kepada kelompok usia muda, katakanlah anak2, apologi saya lebih panjang lebar, sebab jangan sampai terjadi mispersepsi dan akhirnya sy menjadi panutan yg buruk. Saya memilih menggunakan istilah, “org alim yg terlihat aneh, berarti sedang dlm proses mencari kebenaran”. Apapun ini hanyalah sekedar apologi, dan apologi tak lebih dr sistem pertahanan diri yg manusiawi. Org yg merasa diserang, akan bertahan dgn menyesuaikan jenis serangan. 

     Konferensi Anas Urbaningrum pd Sabtu kemarin adlah awal dr bangunan apologi untuk membebaskan dirinya dr stigma buruk di masyarakat. Hampir seluruh statement Anas adlah pesan2 bersayap dan terselubung dgn banyak nada, tipikal sistem pertahanan diri seorang yg berpikiran cerdas dan cerdik. Apakah dlm kasus hambalang Anas memang bersih? Menurut saya, persoalannya harus ditarik dlm kerangka yg lebih besar. Apakah Anas bersih dr permainan proyek yg didanai oleh negara, salah satunya adalah Hambalang. Saya berpandangan, Anas telah terjebak dlm sistem politik yg korup. Ketika ia menyatakan apa yg terjadi baru halaman pertama, masih ada halaman2 berikutnya, artinya ia tahu ada praktek kotor realitas politik, terkait aspek pendanaan partai. Anas mungkin2 saja benar tdk terlibat langsung praktek korupsi, tp menurut saya sbetulnya ia tahu proses pemilihannya sbagai ketum partai demokrat tak lepas dr adanya uang2 tdk bersih sumbernya. Saya paham, terkadang kita memang terpaksa harus mengeluarkan uang untuk pihak2 lain, bukan soal yg seharusnya, tapi soal biasanya, masalah kelaziman, tradisi, budaya, apapun namanya. Anas memilih sama sekali tak menyinggung nama Nazarudin dlm konpersnya di hari sabtu kemarin.

     Ada tiga kemungkinan, pertama ia benar2 muak dgn pengkhianatan Nazarudin sehingga menyebutkan namanya saja Anas tak sudi. Kedua, Anas menyadari Nazarudin cuma pion yg dimanfaatkan pihak lain, sehingga memilih menyerang sang dalang utama. Ketika, Anas takut memberi bensin pd arang yg mudah terbakar. Menyebut2 nama Nazarudin hanya akan membuat si Nazar kian antusias menyerang Anas. Apakah memang terjadi skenario pelengseran Anas melalui rekayasa dgn memanfaatkan Nazarudin. Ada skenario, boleh jadi ada. Apakah ada operasi intelijen? Bisa2 aja. Menilik kasus Antasari dan Bibit-Chandra, saya berasumsi dua kasus tersebut merupakan produk operasi intelijen yg cukup sukses, sangat rapi, sistematis dan membingungkan. Maka, jika kasus Anas adlah buah dr operasi intelijen, saya harus mengacungkan empat jempol sekaligus pd pelaku dan aktor intelektualnya. Kata kunci untuk semua kasus adlah soal integritas, jiwa ksatria dan rasa bertanggungjawab. Apakah ancaman tinggal lama dipenjara, potensi dan kehancuran nama baik mampu mendorong seseorang melunturkan integritasnya dan memilih menjadi seorang pembohong, pembual dan munafik? Sampai sekarang kita belum tahu jawabannya, beberapa diantaranya akan terbuka setelah SBY lengser dr jabatannya tahun depan. Bagaimana dgn integritas KPK dlm kasus Anas? Hampir semua komisioner KPK sekalipun berlatarbelakang profesional, mereka tetap punya minat yg besar tentang politik, dan itu lumrah.

      Dari dulu KPK cenderung suka mengejar prestasi prestisius namun sering menahan diri untuk tdk menciptakan huru hara dan gonjang ganjing yg dpt berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Akibatnya, ya seperti kesan yg kita dapatkan selama ini. Ada istilah tebang pilih, lokalisir kasus, dan bermain2. Itu semua disebabkan adanya dilema2 rumit yg sulit diputuskan. Bagi KPK, kasus2 tertentu ibarat buah simalakama. Mereka telah menggantung skandal century, karena itu faktanya melibatkan pemimpin2 kunci negara ini. Akhirnya mereka memilih opsi paling aman buat bangsa, buat apa meributkan yg 6 trilyun jika pilihan berbeda bisa merugikan kita lebih dr itu. Contoh lain, kasus Gayus Tambunan. Secara gamblang kita sudah mendapatkan informasi berupa fakta di pengadilan bahwa ada ratusan perusahaan besar yg terbukti menyuap Gayus, tp sampai dmana proses hukumnya? Stagnan. Padahal kasus Gayus termasuk kasus yg paling mudah mencari bukti fisiknya, saya kira KPK sudah punya. Tp pengungkapan kasus Gayus secara tuntas punya dampak nasional, ekonomi kita bisa hancur jika sebagian pengusaha di negeri ini masuk bui. Cara paling aman ya melokalisir kasus. Kasus lain, sbenarnya KPK sudah punya niat mengusut apa yg disebut rekening gendut, dgn melakukan test case melalui kasus simulator. Sebetulnya kasus simulator itu baru langkah awal pemberantasan korupsi ditubuh Polri, singkatnya mencoba2 sembari melihat reaksi. Ternyata resistensinya terlalu besar, dan KPK tidak cukup siap menghadapinya.

      Maka kasus paling aktual terkait Anas adlah bentuk tindakan ‘bermain-main’ yg lain dr KPK. KPK ingin masuk ke dlm kasus Hambalang dlm skema yg lebih besar, terutama terkait elit politik. Mereka sudah dapat informasi dr Nazarudin, mungkin dr Andi Mallarangeng, tp sumber informasi yg lebih besar ada pd diri Anas. Sulit mendapatkan bukti, maka KPK memaksakan diri mempersangkakan Anas melalui kasus gratifikasi yg belum jelas juga jalan ceritanya. KPK berharap dgn menempatkan Anas pd posisi tersangka, mereka akan dpt ikan yg lebih besar. Bocornya kasus draft sprindik, menurut saya adlah wujud dr ketidaksabaran kubu SBY tentang proses hukum yg terjadi di KPK. Mereka ingin tahu sampai dimana proses itu berjalan, maka digelar ‘operasi intelijen’ dan hasilnya adlah copy draft sprindik Anas. Ternyata di ditubuh KPK sendiri ada ketidaksepahaman untuk menetapkan Anas sbagai tersangka, dan bodohnya supaya KPK ‘terpaksa’ menjadikan Anas sbagai tersangka, copy sprindik itu dibocorkan dgn tujuan pertama, menempatkan posisi KPK untuk segera memutuskan status hukum Anas, dan kedua memunculkan keraguan publik atas integritas KPK, karena dokumen yg seharusnya berkualifikasi rahasia bisa bocor. 

     Saya mengenal istilah infiltrasi setelah dulu zaman masih sekolah sempat membaca berulang2 buku putih enam jilid TNI AD tentang PKI. Dari yg saya baca, PKI sbagai parpol memang menerapkan taktik infiltrasi masuk ke dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pula TNI dan Polri. Letkol Untung cs adlah bukti keberhasilan proses infiltrasi PKI. Maka saya yakin, KPK tak bebas dr taktik infiltrasi pihak penguasa, dan tentu saja bukan hal sulit melakukannya karena para penyidik KPK merupakan anggota Polri dan kejaksaan. Tak heran, ketua KPK pernah menyebutkan di tubuh KPK ada oknum2 pengkhianat. Situasi penegakan hukum dlm konteks ini menjadi rumit karena adanya ‘operasi intelijen’, ‘kontra-intelijen’ dan mafia, akan sulit bagi org awam memahaminya. Akhirnya, kita berharap KPK menghentikan semua perilaku ‘bermain2’, kita ingin KPK lebih lugu, tulus, murni, dan berani mengambil resiko2 terberat buat bangsa ini, demi terciptanya negara yg bebas korupsi, untuk itu butuh keteguhan jiwa, loyalitas pd nilai2 idealisme dan integritas. 

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 25 Februari 2013 

LAYU SEBELUM BERKEMBANG


     Saya tidak merasa senang, gembira, lega atau semacamnya mendengar ini, bahwa ketua umum partai Demokrat, Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi proyek hambalang. Saya justru merasa masygul, karena berharapkan berita sebaliknya. Apapun, KPK tentu punya bukti2 kuat untuk menjerat Anas, walaupun kita tak bisa menepiskan kesan, KPK agak memaksakan diri melanjutkan proses hukum terhadap Anas menjadi penyidikan, karena nominal yang disangkakan di bawah komitmen KPK sendiri yg hanya mengurus perkara dgn nilai di atas 1 Miliar.

      Mengapa sy merasa masygul? Pertama, Anas berlatar belakang aktivis kemahasiswaan, HMI. Kita berharap, menjadi matang di lembaga kemahasiswaan yg kental dgn nilai-nilai idealisme, akan terefleksikan saat yg bersangkutan tinggal dlm realitas berbangsa dan bernegara. Kedua, Anas adalah menantu pengasuh pesantren besar di Yogyakarta, pesantren adlah motor dinamika aktivitas keagamaan. Tempat yg sarat dengan ketaatan pd norma dan hukum agama. Kasus yg menimpa Anas tak pelak menampar wajah keluarga besar Krapyak, memalukan, aib dan akan menjadi bahan perbincangan, karena kita kemudian tak bisa menolak prasangka miring masyarakat tentang kemungkinan adanya dana dari Anas ke pesantren tersebut. Sebagai warga pesantren, situasi seperti ini bagaimanapun memprihatinkan. Ketiga, sosok Anas sendiri sebenarnya merupakan figur pemimpin masa depan Indonesia, penampilannya yg tenang, cerdas dan mengesankan agamis merupakan gambaran nyaris ideal tokoh muda yg didambakan. Sayangnya, lejitan karir cemerlang yg terlalu cepat akhirnya seolah menjadi jebakan bagi Anas sendiri, boleh jd masa depan Anas di politik untuk pencapaian paling optimal sudah selesai dgn kasus ini, hancur.

     Kini, Anas harus melalui hari-hari terkelam dlm kehidupannya, saat roda nasib belum juga mencapai puncaknya, mendadak menggelinding turun pada posisi dibawah, posisinya segera digantikan org lain. Keluarga dan sahabat karibnya mungkin sekarang terpikir juga menyesali keputusan Anas terjun ke dunia politik praktis yg kejam. Tapi kenyataan adlah kenyataan, satu hal yg mungkin tak disadari Anas, meraih posisi kunci didunia politik memerlukan cost yg kelewat besar. Pada posisi rumit seperti itu, lalu pikiran2 jahat dan picik kerapkali mengacaukan akal sehat. Lalu otak akan diajak berfikir keras bagaimana caranya mengatasi masalah dan segala macam tuntutan, termasuk budaya korup dalam segala ajang pemilihan yg prestisius di negeri ini. Pada titik ini, rasionalitas berfikir masyarakat yg memojokkan Anas menemukan argumentasi kuat, bahwa rasanya hampir tak mungkin Anas berhasil mencapai jabatan ketum partai berkuasa secara gratisan, cuma bermodal niat dan tekad thok. Di sisi lain, kita juga diragukan oleh performa Anas yg sangat misterius untuk dipastikan. Bahkan Jum’at siang tadi, sekalipun ia kemungkinan sudah bisa menebak akan ditetapkan jd tersangka, kita tidak melihat ada kegalauan, wajahnya datar, pilihan kata yg diungkapkan tetap tertata dan konsisten seperti biasa, gurauannya normal, seperti tanpa beban, padahal dihadapannya terbuka setumpuk masalah yg bagi org normal sudah pasti bikin stres minta ampun.

     Sekarang, masyarakat serempak menghujat Anas, akan menyindir kata2 Anas yg klo terbukti korupsi serupiahpun silakan menggantung Anas di monas (ya iyalah mana ada korupsi serupiah, hehe..). Kini ungkapan itu akan jadi salah satu kalimat terpopuler yg berbalik menyerang Anas.

    Anas sempat membuka satu kata kunci, mengapa ia tidak perlu risau dan galau, walaupun jeruji penjara tampaknya akan segera membelenggunya. Kata kunci itu ialah: keyakinan. Kalau anda yakin tidak bersalah, mengapa harus serisau org yg memang bersalah, kalau anda tidak terlibat satu kejahatan, mengapa harus takut dihukum, toh ujung dr kehidupan kita sejatinya bukanlah pandangan org, sejuta miliar menganggap anda salah, tapi jika Tuhan tidak memutuskan anda salah, mengapa harus gundah gulana. Biasanya saya yakin 100 % dengan tindakan KPK, tapi kali ini untuk kasus Anas, kok tidak ya, entahlah.

     Dalam kasus berbeda, saya sama sekali tidak kenal bekas presiden PKS, Lutfi Hasan. Bahkan namanya saja baru hafal setelah ia ditangkap KPK di kantor PKS. Kalau benar ia terlibat kasus percobaan korupsi, saya percaya ia pernah dan masih jd org baik2, walaupun citranya tak sebaik dulu. Penangkapan Lutfi Hasan didahului adanya pengaduan yang dalam ‘bahasa hukum’ umumnya cukup disebut laporan masyarakat. Masyarakat mana yang ‘tega’ melaporkan Lutfi ke KPK, susah untuk dipastikan siapa orgnya, namun tak sulit untuk ditebak. Tebakan paling rasional tentu tak jauh-jauh dr org2 di sekitar Lutfi, mungkin org2 PKS sendiri, mungkin org2 di sekitar lingkungan kerjanya sebagai anggota DPR, boleh jadi dari orang2 di pihak penyuap, yg punya dendam pribadi dengan penyuap, segala kemungkinan bisa2 aja, nyatanya presiden partai paling kalem itu sudah hampir terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

      Kalau benar ada laporan masyarakat, sebetulnya KPK dua opsi sepanjang dugaan tindak pidana itu belum terjadi. Pertama, melakukan tindakan pencegahan dan kedua, melakukan penangkapan. Ketika dihadapkan pada dua pilihan, keputusan selanjutnya lebih merupakan keputusan politis dan strategis. Kira2 buat KPK dan Negara lebih bermanfaat mana? Dicegah saja atau biarkan saja lalu ditangkap pelakunya. Tindakan mencegah, sederhananya misalnya dengan mengirim petugas kepada Lutfi Hasan untuk membatalkan niat menerima suap, karena laporan yang diterima KPK sudah cukup akurat dan kredibel, katakanlah informasi dengan klasifikasi “A”. Dengan warning seperti ini, maka besar kemungkinan tindakan suap itu tak terjadi, dan takkan ada gunjang-ganjing PKS seperti yang kita saksikan sekarang. Kita juga tak perlu menyaksikan adanya tokoh publik yang karirnya melejit, berjasa besar bagi PKS, tiba-tiba dalam sekejab seluruh citra baik yang telah dibangun bertahun-tahun itu hancur berantakan.

     Pilihan kedua, yakni menangkap tentu saja secara teknis lebih sederhana lagi sekalipun membawa dampak yang rumit bagi pihak-pihak lain yang terkena imbas. Menangkap seorang petinggi partai tentu saja seharusnya dapat menjadi shock therapy bagi kalangan elit partai untuk tidak bermain-main dengan kasus korupsi. Keuntungan lain, tentu saja ukuran prestasi. Menangkap seorang ketua partai yang terlibat kasus hukum adalah prestasi besar, daya tariknya lebih besar bahkan bila dibandingkan menangkap pejabat negara sekelas bupati atau sekaliber gubernur sekalipun.

    Selama ini, yang kita tahu KPK banyak memilih opsi kedua. Ini pilihan yang lebih mudah. Khusus Anas, tampaknya KPK sedikit sedang ‘bermain-main’, bukan soal pembuktian (sekalipun alasan2 normatifnya selalu begitu), tapi lebih pada keputusan politis dan strategis. Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa membuktikan seseorang bersalah itu mudah. Bagi orang awam jelas susah, tapi KPK punya sederet penyidik berpengalaman dan berkualitas. Semuanya tinggal ditelusuri, dicari saksi, calon tersangkanya minta dipanggil ke pengadilan supaya terbuka mekanisme sumpah atas nama hukum, dilakukan konfrontasi sambil mencari bukti2 fisik. Pengalaman KPK selama ini bukan hal rumit. Bahkan Anggie dan Miranda Gultom sebetulnya dijadikan tersangka lebih banyak didasarkan saksi dan asumsi, minim sekali bukti fisik yang didapat, toh di pengadilan bisa dinyatakan bersalah.

Saya tidak bermaksud (sekali lg) mendorong KPK cepat2 menetapkan Anas menjadi tersangka. Bukan itu poin utamanya, namun kita tidak ingin terjadi pendzaliman atas nama hukum. Media sejauh ini sudah menebarkan rumor dan berhasil membentuk opini publik untuk meyakini bahwa Anas Urbaningrum bersalah. KPK punya tanggungjawab moral untuk tidak membiarkan suatu isu yg tidak kunjung diperjelas kemudian berlarut-larut dan terlanjur menghancurkan seseorang. Misalnya, seandainya Rapimnas kemarin memutuskan Anas diberhentikan, lalu ditetapkan penggantinya kemudian satu minggu kemudian KPK menyatakan tidak ada bukti dan kesaksian yg kuat untuk membuat tuntutan hokum atas diri Anas, maka apa artinya? Sesuatu yg sudah terlanjur hancur, maka takkan pulih seperti sedia kala. Misalnya ada terdakwa yg dinyatakan bersalah, telah menjali hukuman penjara bertahun2, lalu bukti2 yg muncul kemudian justru menunjukkan ia tidak bersalah, negara lalu memutus merehabilitasi namanya, apakah dengan demikian semua itu berhasil mengkompensasi segala macam penderitaan dan mampu mengembalikan potensi kenikmatan hidup yg telah dipaksa hilang?

    Satu hal yg saya khawatirkan adalah kemungkinan oknum2 KPK sedang ‘bermain2’, punya tujuan lain (dgn maksud) ‘balas dendam’ dengan target utama adlah presiden SBY. Kasus Anas dan sederet kasus lain yg melibatkan politisi demokrat adalah sasaran antara saja. Mengapa harus ‘balas dendam’ dgn SBY? Karena SBY sendiri juga beberapa kali ‘bermain-main’ dgn KPK walaupun dlm bentuk yg sangat samar. Kasus pemenjaraan besan SBY, Aulia Pohan, kasus Antasari, kasus cicak-buaya, Polri vs KPK, Andi Mallarangeng, dan operasi2 intelijen dua pihak yg tidak diketahui publik ini adalah indikator yg memang boleh2 saja diperdebatkan. Kita harus ingat, org2 cerdik itu cenderung suka berpolitik, baik untuk tujuan melakukan aksi atau bereaksi terhadap aksi pihak lain. Semua pihak yg kita sebut di atas, bukanlah robot yg jalan pikirannya murni, semuanya manusia yg normal punya naluri2 manusiawi. Semoga segala kekhawatiran saya tidak terbukti, dan untuk membuatnya ‘serba pasti’ KPK-lah yg punya potensi terbesar untuk menepis segala macam prasangka buruk.

     Soal Lutfi Hasan, walaupun ia belum diajukan ke pengadilan, saya percaya ia bersalah. Bahasa tubuhnya ketika memberikan konferensi pers sesaat sebelum ditangkap, maupun hari2 setelah ditangkap menyiratkan reaksi org yang bersalah, bukan reaksi kesabaran dan ketabahan. Saya mengandaikannya dgn diri saya sendiri, seandainya saya yakin saya ngga bersalah, maka sesabar2nya saya, saya akan melawan, raut muka saya berubah menjadi masam, dan nada suara saya pada awal2 kasus akan meninggi. Tp yg terjadi, tak berselang lama setelah ditangkap, Lutfi menyatakan mengundurkan diri (dgn mudah dan seperti tanpa beban). Memang sisi etika berorganisasi, apa yg dilakukan Lutfi adalah sikap yg patut dr diteladani, tapi sebagai manusia yg memiliki harga diri dan prinsip2 hidup, seandainya Lutfi memang tidak bersalah, sikap seperti itu hanya menunjukkan ia manusia lemah. Jadi, yg saya tangkap sebenarnya Lutfi Hasan memang merasa ia bersalah, lalu pasrah dan selanjutnya mengambil sikap yg paling bijak, itu saja.

Sikap Anas hampir setali tiga mata uang dengan Lutfi Hasan. Ia berkali2 menyatakan tak bersalah, namun suara kerasnya baru sebatas, “gantung saya di monas”. Anas tidak menunjukkan sikap seperti yg saya harapkan. Sikap yg kita inginkan adalah ketegasan menurut selera publik, ketegasan diluar batas karakter asli Anas sendiri. Ia memang berpembawaan tenang, kalem, pokoknya so cool. Tapi serangan yg ditujukan pada anas sungguh keras dan kejam, respon dan reaksi yg tidak sesuai akan menghancurkan Anas, bahkan sebelum ia jadi  diajukan ke muka pengadilan. Kalau pun dalam hati Anas mengakui ia memang terlibat urusan korupsi, maka sifat ksatria dan jiwa kepemimpinan harus muncul. Secara spontan, publik akan menghujat, tapi selang bertahun kemudian semuanya akan terlupakan, dan begitu bebas dr hukuman, Anas dpt mencoba memulihkan nama baiknya lagi. Salah satu cermin dr seorang pemimpin adlah rasa bertanggungjawab, sepahit apapun resikonya. Manusia itu normal kalau khilaf, praktek korupsi sekalipun dianggap kejahatan luar biasa, sebetulnya juga manusiawi. Cuma soal adanya kesempatan, niat dan keserakahan.

    Intinya, amat tidak baik mengembangkan isu dan rumor yang menggelinding jd bola liar. KPK harus tegas dalam menyikapi setiap kasus yg menjadi perbincangan masyarakat (baca=media). KPK boleh jd tidak mempedulikan aspek2 diluar hokum, namun perbincangan tentang hukum jika terlalu bebas juga rentan terjadi pelanggaran hukum (misalnya pencemaran nama baik atau perbuatan yg tidak menyenangkan), maka informasi yg tegas akan mereduksi segala macam rumor. Untuk kasus Anas, dari dulu seharusnya KPK sejak dulu tegaskan saja, “belum ditemukan alat bukti yg sah, karena itu status Anas adlah org bebas sampai suatu saat ditemukan alat-alat bukti yg dimaksud, sementara ini masyarakat silakan menunggu persidangan org2 yg menyebut2 keterkaitan Anas selesai dan diputuskan. Keterangan atau kesaksian yg diputuskan hakim sebagai kebenaran, sbagai fakta akan ditindak lanjuti”. Ketegasan contoh seperti ini, akan lebih melegakan, ketimbang membuka sedikit ruang dan bahan perbincangan, namun menunda2 penyelesaian.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 22 Februari 2013

KETEGASAN DALAM KEBINGUNGAN


Ketua pembina partai demokrat yg sekaligus pula presiden RI, Pak Susilo agaknya memang sudah ditakdirkan akrab dgn dilema dan situasi rumit dalam mengambil keputusan. Dalam kurun waktu satu dekade kepemimpinannya, telah banyak situasi yang seolah menyindir kepribadiannya yang cenderung gemar memilih keputusan paling ‘aman’. Sebut saja kasus Susno, cicak buaya, BBM, sampai yg teranyar, soal prahara partai demokrat yg menjadi kendaraan politiknya. Sikap kehati-hatian memang menjadi warna dominan dlm kepribadian Pak Susilo dan sikap ‘terlalu’ hati-hati itu pula yg tak jarang membingungkan kita.

Beberapa hari lalu, dlm kunjungan kerja ke timur tengah, Pak Susilo menyempatkan diri beribadah umrah ke tanah suci, Makkah dan Madinah. Ia merasa perlu pula secara khusus berdoa untuk kebaikan dan masa depan partai yang telah didirikannya tersebut. Bahkan katanya, klo perlu ia akan menunggu, siap menanti ‘wangsit’ datang. Sehari kemudian Pak Susilo mengabarkan telah menemukan solusi paling tepat untuk menyelesaikan kericuhan yg dialami partai demokrat menyusul manuver terbuka sekelompok elit politik senior yang secara samar mendesak SBY melengserkan ketua umum partai demokrat, Anas Urbaningrum.

Solusi yg dimaksud ternyata memang ‘melengserkan’Anas, namun dlm istilah yg paling halus. SBY tidak memutuskan menonaktifkan Anas, karena ia sadar tak adal satupun aturan organisasi dan argumentasi yg rasional yang bisa memaksa Anas mundur. Maka cara yg dipandang paling elegan, adalah pengambilalihan kewenangan dan tanggungjawab. Hampir mirip dgn yg terjadi di partai Nasdem, dimana terjadi skenario pengambilalihan kepemimpinan dari tangan ketua umum sebelumnya beralih ke tangan Surya Paloh yg memang menjadi dalang utama berdirinya partai ini. Kenyataan seperti ini membangunkan kita bahwa, gerakan perubahan yg dulu didengungkan Surya Paloh, Sri Sultan dan banyak tokoh-tokoh non-partisan ternyata ujung2nya juga gairah akan kekuasaan politik. Apakah dgn cara seperti ini peluang Surya Paloh mencalonkan diri sebagai Presiden RI menjadi terbuka, jawabannya jelas iya, tapi apakah sosoknya mampu menarik simpati calon pemilih, nanti dulu..itu persoalan lain. Saya pikir, pertama-tama Surya Paloh harus mencukur habis brewok dan sedikit merapikan rambutnya klo pengen terpilih sbagai orang nomor 1 di negeri ini.

Apakah sikap dan langkah SBY selaku ketua pembina partai demokrat itu merupakan keputusan yg demokratis? Sesuai aturan main, tampaknya kebijakan SBY sudah sesuai mekanisme organisasi, tapi sbenarnya tidak sejalan dgn prinsip2 demokrasi yg selama ini begitu mempengaruhi cara berfikir Pak Susilo. Maka jalan pintas yg dilalui SBY seolah menjadi bukti begitu sulitnya menciptakan harmonisasi, antara pikiran, teori pengetahuan dan ucapan di satu sisi dengan peliknya realitas di sisi lain. Mirip misalnya dgn kesadaran kita bahwa malas itu jelek, tapi nyatanya tindakan kita tak lepas dr perilaku kemalasan. Pada titik tertentu SBY sampai pada satu kesimpulan, sekalipun tidak bermaksud‘mengabaikan’ demokrasi, tp kenyataannya terpaksa memang harus begitu. Sampai2 pengamat politik, Ikrar Nusa Bakti menyebut langkah SBY dlm kasus partai demokrat sebagai keputusan yg tidak mencerminkan sikap kenegarawanan. Dalam hal ini saya berbeda pandangan dgn Pak Ikrar, sikap kenegarawanan itu memang tidak selalu berkonotasi dgn perilaku demokratis. Contoh, Hiltler itu terkenal otoriter, tapi bagi bangsa Jerman, Hitler adalah pemimpin yg negarawan. Seorang negarawan adlah pemimpin yg mengedepankan kepentingan dan kebaikan bangsa di atas kepentingan2 kelompok dan perorangan, dgn cara apapun, legal atau non legal, demokratis atau otoriter.

Setelah SBY me-‘nonaktif’-kan Anas Urbaningrum, akankah reputasi dan citra partai demokrat akan segera pulih? menurut saya peluangnya bergantung seperti apa tindak lanjut yg akan dilakukan SBY. Saya kira, publik sudah mafhum bahwa dlm dua kali masa pemilu, popularitas partai demokrat selalu mendompleng popularitas SBY. Seandainya partai demokrat tidak direcoki kasus2 hukum sekalipun, suara partai demokrat di pemilu 2014 besar kemungkinan akan turun, mengingat tak ada lagi nama SBY dlm ajang pilpres. Apalagi dlm kondisi citra partai yg demikian buruk saat ini. Ketika situasi partai demokrat demikian kacau dan gaduh, maka pengambilalihan oleh SBY sebetulnya merupakan langkah krusial, strategis dan opsi paling realistis. Cuma langkah radikal semacam ini menjadi pertaruhan politik bagi popularitas SBY sendiri. Kini SBY secara nyata ingin menjadi representasi partai, namun jika elit2 partai lain masih berperilaku sperti sebelumnya, jangan salah jika dikemudian hari org mudah mengkait2kan SBY dengan kasus2 korupsi.

Langkah nyata pertama dr SBY setelah pengambilalihan adlah mengadakan konpers. Apa yg diungkapkan SBY secara garis besar mudah dipahami, namun sayangnya ia belum sepenuhnya berhasil meyakinkan kita, karena bentuk konkret tindak lanjut upaya penyelamatan partai yg dilakukan SBY tidak jelas. Semakin tidak jelas, ketika esok hari sang ketum, Anas Urbaningrum masih beraktivitas seperti biasa, datang ke Lebak dan melantik pejabat partai setempat. Hal ini tentu menimbulkan kesan, Anas mengabaikan keputusan SBY. Tindak lanjut yg turut diumumkan adalah keharusan bagi setiap pejabat partai baik di kepengurusan pusat maupun daerah untuk menandatangani pakta integritas. Saya agak bingung dgn tindak lanjut semacam ini, apa perlu dan apa pula relevansinya pakta integritas dgn citra partai yg kian memburuk. Mungkin saja SBY ingin memberikan kesan baik di mata publik, bahwa mulai sekarang yg ada di partainya hanyalah org2 yg punya integritas, tapi cukupkah integritas seseorang diwakili oleh selembar surat pernyataan yg dilengkapi tandatangan dan materai? Bagi saya, pakta integritas sebetulnya tak lebih dr bullshit dan omong kosong belaka. 

Saya masih ingat, para guru pengawas ujian nasional di sekolah2 juga diminta menandatangani pakta integritas, yg butirnya banyak sekali, intinya menjunjung tinggi kejujuran, tidak menoleransi dan tidak terlibat dlm perilaku curang. Tanpa banyak membaca isinya, mau ngga mau para pengawas itu membubuhkan tanda tangan. Tapi apa yg terjadi selanjutnya, (sesuai kesepakatan tak tertulis antar kepala sekolah), para guru2 di sekolah datang menyebarkan kunci jawaban pada siswa, dan pengawas2 itu bersikap seolah2 tutup mata atas kecurangan yg terjadi di di depan mata mereka. Satu contoh lagi, masih seputar guru. Di daerah saya, para guru ketika mengambil uang tunjangan fungsional, secara tradisi menyetorkan sejumlah uang untuk ‘org di atas’ lewat kepala sekolah masing2. Dgn perasaan terpaksa, para guru honorer itu pun manut2 aja, mau gimana lagi, dr pada sekolah masuk ‘black list’, begitu mungkin pikir mereka. Cukupkah? tidak! Mereka juga dipaksa untuk berbohong, ada surat pernyataan yg harus mereka tandatangani, berisi pernyataan bahwa uang tunjangan fungsional diterima secara utuh, tanpa ada potongan sepeserpun.

Saya pikir pakta integritas versi SBY tujuan utamanya memang bukan integritas itu sendiri, tapi sebetulnya upaya konsolidasi dan mencegah agar tidak terjadi pembangkangan. SBY ingin memastikan bahwa apapun yg akan dilakukannya didukung penuh oleh unsur2 partai.

Klo pingin citra demokrat membaik atau klo pengen sembuh dr penyakit demokrat jngan salah minum obat. Oleh karena itu, SBY sebaiknya dgn tegas melarang Anas menjalankan fungsi ketua umumnya, karena tugas dan kewenangan itu telah diambil alih. Jadi, pejabat2 partai demokrat di level daerah yg akan dilantik, seyogyanya dilantik sendiri oleh SBY, atau setidaknya diwakili elit politik lain yg termasuk majelis tinggi partai. Untuk pelaporan dan proses pertanggungjawaban, DPD juga harus diminta melapor secara langsung pada SBY. Kemudian, menurut saya seluruh elit politik harus diperintahkan puasa bicara dgn media, tidak lg hadir ke acaranya pak karni, tidak berkomentar apapun di media, bahkan dlm kapasitas sebagai individu.

Sudah bukan rahasia lagi jika ada sekelompok politisi demokrat yang hobi masuk tv, gemar diwawancarai, mereka merasa dgn masuk tv otomatis mendapatkan promosi secara gratis, tak perlu sibuk masang baliho, nama dan wajah mereka cukup familiar di mata publik, sehingga di pemilu berikutnya dapat terpilih lagi. Masalahnya, umumnya media massa di Indonesia tak bersih dr kepentingan politik, terutama para pemiliknya. Apalagi, dua tv berita (metro tv dan tv one). Posisi dua media ini sebetulnya rival dr partai demokrat, dan bodohnya dgn dalih klarifikasi, org2 demokrat senang2 aja diundang dua tv tersebut. Solusinya, tirulah artis Dessy Ratnasari yg dimasa mudanya terkenal sebagai “miss no comment”. Kata pepatah, diam itu emas, maka dgn menutup mulut rapat2 atas apapun serangan media, lama2 media kan capek juga (makanya demokrat punya stasiun tv sendiri, dong!). Pokoknya tirulah dessy ratna sari dgn “no comment’nya, duo maia dengan “emang gue pikiran” atau Gus Dur, “gitu aja kok repot”.

Langkah konkret berikutnya yg harus dilakukan SBY (sesuai katanya tentang komitmen pembersihan partai), ialah mengadakan polling atau survei, baik dlm internal partai maupun ke masyarakat, untuk memperoleh data siapa2 nama yg disukai dan siapa pula nama yg dibenci, tak perlu mencantumkan apa alasannya, karena like and dislike (suka atau ngga suka) terkadang tidak beralasan. Dari data yg terkumpul akan menjadi pondasi argumentatif untuk mempromosikan atau mendepak seseorang dr kepengurusan partai, tak peduli seberapa besar jasanya, betapa tinggi integritasnya, dan seberapa unggul kualitasnya, karena dunia politik itu memang kejam. Langkah tegas dan nyata seperti ini akan mudah mendapatkan apresiasi masyarakat, walaupun boleh jadi akan menjadi bahan serangan bagi siapapun yg tidak menyukai demokrat.

Kemudian soal aturan main, sejauh ini sikap politik demokrat sebenarnya sudah benar dlm memandang kader2nya yg terjerat kasus hukum. Persoalannya, apakah aturan main internal partai demokrat sendiri sudah sedemikian ketat dlm mengawasi dan mengontrol perilaku politisinya. Prinsip transparansi menjd kata kunci dan perlu dilakukan untuk mengungkap informasi seluas-luasnya tentang siapapun yg menjadi pengurus partai, misalnya Ruhut Sitompul, lahirnya dimana, anak siapa, sekolah dan kuliahnya dimana, apa saja pekerjaannya, anaknya berapa, siapa nama anaknya, istrinya berapa, berapa penghasilannya, berapa besar asetnya, bagaimana jenjang karirnya di dunia politik, pernah terkena kasus hukum apa, dan lain-lain. Keterbukaan informasi seperti ini, akan membuat masyarakat yakin bahwa partai ini benar2 bersih, diisi org2 bersih dan mudah diasumsikan tidak berperilaku korup. Selama ini kan kita sbagai masyarakat serba ngga tau background politisi2 itu, tau2 sudah jd bendahara partai, kayak Nazarudin. Atau misalnya Anas Urbaningrum, kita paham ia dulu aktivis pergerakan mahasiswa, menantu kiyai besar di Jogja, pernah jadi anggota KPU, tapi kok rumahnya bagus banget, mobilnya mewah, penghasilannya apa sih?

Pertanyaan2 bernada cerewet ini takkan etis bila ditujukan pada individu masyarakat kebanyakan, namun bagi figur publik adlah keniscayaan, makanya klo ngga mau hal2 yg bersifat pribadi diketahui publik, siapa suruh jd politisi... Masyarakat juga punya batas kok tentang informasi apa yg ingin mereka ketahui, bukan berarti pengen tau seluruhnya “luar-dalem”.

Saya pribadi bukan anggota partai demokrat, bukan pula anggota partai lain. Sejauh ini, tidak ada satupun partai yg layak untuk saya masuki dan sebaliknya tidak ada satupun partai yg butuh keberadaan saya. Selama ini sy bukannya golput, saya hanya bagian dr sekelompok masyarakat yg tidak cukup mendapatkan kesempatan menggunakan hak pilih dlm ajang pemilu. Padahal tiga kali pemilu sudah berlalu sejak secara konstitusi saya dinyatakan sah sebagai salah satu org yg punya hak suara. Pemilu pertama, hak pilih saya diberikan dikampung halaman, Belitang, sementara secara fisik saya bermukim sementara di kota Metro. Pemilu kedua, saya lupa, ikut nyoblos atau ngga, saya sih ngga yakin (abis lupa, klopun milih, partainya apa ya, kali aja PKB). Pemilu berikutnya, hak pilih saya masih tercatat di kampung halaman, sementara status saya warga pendatang di Jogja.

Sekarang ini, sy termasuk calon pemilih yg belum tau mau bakal milih partai apa. Habis semua kelakuannya sama aja. Mungkin ujung2nya, seperti dlm ajang Pilkades beberapa waktu lalu di desa saya. Ada tiga calon, tiga2nya ngga saya kenal (dan ngga penting juga berkenalan –boleh dong g nyombong-), satu mantan kades, satu kades incumbent dan satunya lagi sebut saja pengusaha. Mantan dan yg masih jadi kades, dua2nya singkatnya ngga cakep, suka dgn ‘beruang’ dan selama ini kenyataannya ada kades atau ngga ada kades kayak g ada bedanya, maka yg saya pilih adlah calon ketiga, yg belum pernah jd kades. Sayangnya kalah, ternyata si incumbent (entah apa strategi dan manuvernya) terpilih lagi. Mungkin aja saya keliru, benar dia ngga bermanfaat bg kepentingan saya, tapi keberadaannya dirasakan bermanfaat bagi org lain, yah mungkin2 aja. Namanya, suka dan ngga suka kan subyektifitas setiap org.

Akhir dr catatan ini, saya berharap yg terbaik untuk bangsa ini, mau ngga mau kenyataannya masih ada partai, masih ada juga banyak org pengen mendirikan partai, apapun motifnya, kita ingin eksistensi partai memang berguna bagi masa depan negara kita.  

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 10 Februari 2013

DEMOKRASI TANPA PARTAI


Saya termasuk di antara org yg skeptis terhadap keberadaan partai, khususnya dlm konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya yakin, banyak juga yg berpikiran sama dgn sy, cuma masalahnya kita sering beranggapan bahwa partai adlah instrumen utama dlm negara demokrasi, seolah2 tanpa adanya partai, maka sulit menciptakan tatanan negara demokratis.

Serentetan kasus korupsi yg melibatkan elit2 partai dari tahun ke tahun sejak era reformasi bergulir sbetulnya dpt menjadi refleksi kita sbagai bangsa untuk menimbang ulang keberadaan partai politik. Memang, tinggal sedikit saja negara yg tidak menyediakan mekanisme partai untuk menyaring pemegang kekuasaan negara, tapi sejauh ini parpol lebih berfungsi sebagai sarana merebut kekuasaan ketimbang alat politik perjuangan demi rakyat.

Secara riil, dunia politik itu lebih berupa permainan intrik, uang menjadi modal instan memenangkan pertarungan, dan penuh dgn kepalsuan. Lihat saja saat menjelang kampanye, berdalih silaturahmi dan sosialisasi, para calon pemimpin atau wakil rakyat mendadak jd murah senyum, ramah, sok akrab, intinya ingin dicitrakan sebagai figur yg merakyat. Sy terkadang klo sedang di jalan (kebetulan tdk lama lg Sum-Sel mengadakan Pilkada gubernur), mikir2 juga lihat baliho, poster, stiker dan sebangsanya yg memajang wajah2 calon gubernur. Kira2 satu baliho itu habis berapa ya..yg disuruh masang habis berapa juga ya..bikin rompi dan kaos itu kira2 biayanya segede apa..kesimpulannya, jangan mimpi jd bupati dan pejabat klo kita bukan termasuk kelompok org kaya raya (apalgi yg baru sekelas kaya’ org).

Jelas, realitas politik seperti ini tidak sehat, karena sama artinya kita membiarkan terjadinya diskriminasi, di mana tidak setiap org punya hak yg setara untuk dipilih menjadi pemimpin. Konsekuensi logis dr adanya partai adalah kebutuhan akan uang dlm jumlah besar, apakah mau org menyumbang dana besar buat partai jika tidak ada kompensasi yg sepadan?

Di sisi lain, sebetulnya masyarakat kita adlah masalah yg cenderung pasif dan skeptis dgn dunia politik. Mayoritas masyarakat kita tidak memiliki loyalitas permanen dlm mengarahkan orientasi politik mereka terhadap parpol tertentu, yg sering terjadi adalah trend atau bergantung pd pembentukan opini. Dunia politik kita pernah dikuasai cukup lama oleh Golkar pada era Pak Harto, sekalipun kita tahu demokrasi yg dikembangkan orde baru adlah demokrasi semu, karena yg sesungguhnya terjadi adlah oligarkhi. Adanya parpol tak lebih dr formalitas kenegaraan semata, dan buktinya Golkar punya peran besar atas tumbuh-berkembangnya budaya korup di Indonesia.

Golkar era reformasi sbetulnya tak punya banyak perbedaan dibandingkan Golkar zaman dulu, kecuali fakta bahwa parpol ini tak lagi berbasis pd figur, tp pada sistem dan mesin organisasi partai. Hal ini memang disadari Golkar, karena parpol yg berbasis figur daya tahannya hanya temporer belaka, mungkin satu-dua periode, eksis..sisanya tinggal menunggu masa punah aja. Lihat aja, PKB, demokrat, dan mungkin PDIP. Dunia politik tanah air pernah pula dikuasai oleh PDIP, namun keraguan publik terhadap kapabelitas dan kecakapan kepemimpinan Megawati membuat parpol ini kesulitan memenangkan pertarungan. Klopun saat ini hasil survei menunjukkan posisi PDIP cukup menguntungkan, itu karena PDIP sejak awal memposisikan diri sebagai oposisi. Saat ini, hampir satu dekade terakhir partai Demokrat tampil sbagai partai penguasa. Tapi partai ini tidak punya wajah dan karakter yg jelas dlm mencitrakan dirinya, tak lebih berisi kumpulan org2 yg punya ambisi kekuasaan dan hobi menampilkan dirinya sbagai figur publik. Belakangan ini, citra yg nyaris lekat dgn Partai Demokrat adlah partai korup, mengingat sejumlah elit politiknya yg tersandung kasus korupsi. Tak perlu menyebut parpol lain, karena sesungguhnya semua partai yg ada perilakunya sama aja. Cuma beda nama dan warna.

Tahun lalu energi kebutuhan kita terhadap informasi tersedot oleh pemberitaan Nazarudin, lalu Angelina Sondakh, Misbakhun, Anas Urbaningrum, sampai yg terbaru presiden PKS. Bagi saya tidak penting memperbincangkan individu2, apakah mereka bersalah atau tidak, yg jauh lebih urgen adalah seberapa parah perilaku korup (dgn aneka rgm modus dan motif) melibatkan politisi, apakah benar bahwa perilaku korup itu memang terorganisir sebagai mekanisme partai secara terselubung dlm mengumpulkan dana2 untuk menghidupkan roda organisasi. Ibarat narkoba, praktek korupsi tidak memiliki identitas tertentu, ia bisa terjadi di instansi milik negara atau swasta, bahkan yg dianalogikan sbagai organisasi ‘suci’ semacam takmir masjid maupun pesantren. Artinya, oknum2 itu selalu ada, yg jd masalah adlah bila oknum2 korup itu jumlahnya lebih separuh dr jumlah komunitas, saat org2 bersih akan mudah disingkirkan dr komunitas semacam itu. Kita tentu masih ingat peristiwa mundurnya almarhum politikus-artis Sophan Sopiaan dr keanggotaan DPR (mungkin jg dr aktivitas kepartaian), alasan jelasnya karena yg bersangkutan terlalu sering melihat perilaku korup yg bertentangan dgn hati nurani, dan karena tdk berdaya, hati nurani Sophan Sopian mampu mendorong tindakannya mundur dr dunia politik.

Intinya, saya bukan tidak menyukai partai, tidak juga memandang bahwa partai tak ada manfaatnya, tp eksistensi partai sesungguhnya sudah melenceng kelewat jauh dr fungsi awalnya. Karenanya, saya ingin menyodorkan dua gagasan yg barangkali terpikir juga oleh banyak org. Pertama, mempertahankan partai sbagai alat transformasi kekuasaan, namun dgn memperjelas dan membatasi kewenangannya. Ibarat pabrik, parpol sesungguhnya diasumsikan sebagai produsen calon2 pemimpin dan penyelenggara negara, namun ketika produk itu telah diserahkan pd rakyat selaku ‘pemesan’, maka otomatis terjadi peralihan hak dan tanggungjawab. Jadi, ketika seorang calon bupati, gubernur bahkan presiden yg dicalonkan atau ditawarkan oleh partai akhirnya terpilih, maka ia harus melepaskan segala macam atribut kepartaian, ia bukan lg milik partai, tapi milik masyarakat di suatu daerah atau milik bangsa. Tidak ada namanya keterikatan, pamrih atau balas budi, karena disitulah letak posisi partai sebagai alat perjuangan untuk rakyat.Bila sistem ini dipertahankan, maka saya tidak setuju adanya calon2 independen atau nonpartisan. Setiap calon pemimpin harus menjadi anggota parpol, tapi tidak boleh menjadi pengurus parpol. Keanggotaan parpol berarti setiap warga negara menyadari sepenuhnya tentang pentingnya memiliki orientasi politik tertentu, dan menyalurkan orientasi itu melalui wadah parpol. Mengapa pengurus parpol sebaiknya tdk boleh dicalonkan atau mencalonkan diri sbagai pemimpin, ini untuk menjaga agar niat dan i’tikad baik siapapun yg ingin mengelola partai tetap bersih dan murni. Parpol hanyalah sarana, dan pengelola sarana tidak seharusnya memanfaatkan sarana itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Apakah gagasan seperti ini akan terwujud menjadi kenyataan? Sulit. Sama dengan kita mengajukan pertanyaan, maukah elit2 parpol itu melakukan kerja politik tanpa hasil yg memberikan keuntungan besar bagi dirinya sendiri? Maka, solusinya kembali pd rakyat. Motor utama gerakan rakyat sampai sekarang berbasis pada gerakan mahasiswa dan gerakan pekerja. Selama mereka adem ayem, membiarkan diri mereka dibodohi sekian lama, maka kondisi yg kita saksikan dr tahun ke tahun ya akan begini-begitu aja. Berita2 korupsi lama2 seperti makanan tempe yg sudah biasa kita santap sehari2.

Gagasan kedua yg agak radikal adlah membubarkan parpol, diganti mekanisme dgn berbasis daerah. Jadi, anggota2 DPR RI terdiri atas utusan2 daerah, yg proses pencalonan dan pemilihannya dilakukan di daerah. Besarnya jumlah utusan tentu didasarkan pada pertimbangan banyaknya jumlah penduduk dan luasnya area daerah. Saya membayangkan bahwa untuk terpilih sbagai utusan daerah, setiap kelompok masyarakat, apapun ormas dan lembaganya punya peluang mencalonkan seseorang sebagai utusan daerah. Kepada siapa dia harus bertanggungjawab, bagaimana proses pergantiannya jika yg bersangkutan tersangkut kasus hukum, sakit atau bahkan meninggal, dikembalikan pd mekanisme daerah, dimana DPRD menjadi pihak yg punya kekuasaan merepresentasikan aspirasi masyarakat di daerah.

Pesan saya, hati2 dgn pilihan dan kesempatan hidup. Jangan pernah menempatkan kita pd posisi yg suatu hari menyulitkan kita mengambil keputusan2 rumit. Memang, org2 besar adlah org2 yg berani mengambil resiko2 besar, tp klo boleh memilih sy (kini) lebih menyukai pilihan2 hidup sederhana dgn resiko yg sederhana pula. Berusahalah menjadi kaya, karena hidup miskin sering menempatkan seseorang pd situasi sulit dan terkadang hanya memberikan satu pilihan konkret, kejahatan. Jangan pula berambisi menjadi org yg terlalu kaya, karena kondisi tersebut sering menempatkan seseorang pd banyak pilihan, beberapa di antaranya juga mengarah pd kejahatan. Saya memiliki seorang teman yg suka mencari2 proyek di kementerian, dan saya tahu ia telah menyerahkan kehidupannya pd situasi yg suatu waktu akan menyulitkan dirinya sendiri, jd klo pengen hidup ‘nyaman’, ambillah resiko2 kehidupan yg paling ‘aman’.

Apa yg tertuang melalui catatan ini tentu saja sebatas wacana dan sumbang-saran sebagai wujud kesadaran kita sbagai warga negara yg semestinya benar2 memahami apa urgensi negara ini bagi kehidupan kita, sejauh mana kita sbagai bagian dr bangsa Indonesia punya hak terhadap keberlangsungan dan penyelenggaraan negara.  

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 4 Februari 2013

ANTARA LIBERALIS DAN FUNDAMENTALIS


Dulu ketika bertahun2 menyandang status mahasiswa, saya terbilang jarang membeli buku yg sbetulnya merupakan tradisi intelektual khas kaum akademik. Jangankan yg pake mengeluarkan uang, yg gratisan saja sy ngga rajin baca. Bukan ngga hobi, tapi saat itu ada hal2 dlm kehidupan yg lebih menarik untuk dijalani ketimbang baca buku, apalagi klo tebelnya ratusan lembar, rasanya cuma bikin ngantuk aja. Selain malas baca buku, saya juga jarang masuk kuliah, sangat jarang mengikuti seminar atau komunitas2 diskusi yg klo diikuti bisa berpotensi menjadikan kita masuk dlm kelompok “wong pinter”. Maka, ilmu yg saya miliki sejauh ini baru sbatas dasar yg dikombinasikan dgn opini atau persepsi pribadi. Oleh karena itu, harap dimaklumi klo dlm beberapa catatan yg mungkin sempat anda baca, barangkali ada sejumlah mispersepsi atau kekeliruan yg disebabkan dangkalnya ilmu yg sy miliki.

Termasuk pula dlm hal memahami aliran kepercayaan dlm Islam. Betul sy adlah mahasiswa produk gagal jurusan Perbandingan Hukum dan Madzhab (PMH), benar bahwa nama sy pernah tercantum sbagai mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (SPI), namun selama nyangkut di sana, sy ngga ngapa2in dan ngga diapa2in. Sekedar ngabisin waktu dan tetap saja pah-poh klo diajak diskusi tema2 keislaman, terlebih bila topiknya rada berat. Tapi berhubung salah satu hobi sy adlah menjd komentator, maka tak ada ruginya jika sedikit sy ingin menulis tentang identitas kemusliman (istilah opo meneh iki, hehe...).

Jarak masa antara kita yg hidup pada milenium 2 ribuan dgn kehidupan Rosulullah, telah terentang selama lebih dr 1400 tahun. Dalam kurun waktu yg demikian ‘lama’ ini, muncul beragam penafsiran yg selanjutnya ‘terlembaga’ dlm kelompok2 aliran kepercayaan. Untuk menarik pengikut sebanyak2nya, kelompok2 ini lantas sibuk mencari alasan2 yg dinisbatkan pada Nabi dan para Sahabat supaya klaim kebenaran yg mereka percayai terlihat islami. Tak sedikit di antaranya berlaku ceroboh dgn merekayasa catatan yg dilabeli sbagai sejarah, memanipulasi fakta dan bahkan memalsukan hadits2, atau setidaknya melakukan mark up statement suatu hadits.

Maka seperti yg kita saksikan saat ini, ada beragam aliran kepercayaan dan madzhab yg masih eksis dijadikan jalan hidup bagi setiap muslim, setidaknya yg populer dlm ilmu Fiqih ada madzhab Maliki, madzhab Syafii, madzhab Hanafi dan madzhab Hambali. Bolehkah kita mengikuti empat madzhab itu seluruhnya atau istilahnya talfiq? Klo untuk satu rangkaian kegiatan ibadah (sy tdk ingin memakai istilah tdk boleh), tp bisa membuat rancu cara beribadah kita. Dlm bermadzhab, jangan membuat pilihan mengikuti pendapat tertentu karena pendapat itulah yg paling ringan atau mudah dikerjakan. Contoh, jangan memilih pendapat madzhab Syafi’i yg hanya memakruhkan rokok, klo akal sehat anda cenderung menyadari dan mempercayai bahwa rokok itu pantas diharamkan. Artinya, dlm satu perkara dimana ada beberapa pendapat, pilihlah yg paling sesuai secara logika dan rasio kebenaran argumentasinya. Supaya apa? supaya ada harmonisasi antara akal, hati dan gerak tubuh kita.

Oleh karena itu, bagi sy pribadi. Kita justru tidak selayaknya menjadikan madzhab2 tertentu sbagai sub agama, yg tidak memberikan peluang bagi kita mengadopsi kebenaran dr madzhab2 yg lain, dlm makna sederhana taklid buta. Klo anda tanya pd sy, mengikuti madzhab apa sy saat ini? Maka jawabannya, sy tidak menganut madzhab tertentu yg otomatis memberikan sy label identitas yg bersifat spesifik. Bila dalam suatu perkara yg sy lebih cocok dgn pendapat Imam Syafii, ya sy ikut dgn pendapat beliau, dan bila ada dlm perkara lain hati nurani dan akal sehat sy condong membenarkan pendapat Imam Hanafi, sy ikuti pendapatnya, bahkan bisa jg sy mengembangkan penafsiran tersendiri dgn berlandaskan pd interpretasi sy terhadap teks2 keagamaan. Klo ada yg berkomentar sinis, “emange kowe sopo??, kok wani2ne gawe2..”, akan sy jawab,”sy adlah Ainul Huda Afandi” (gampang to jawab e..). Hidup ini memang pertaruhan yg senantiasa menuntut kita bereaksi, bersikap dan berpihak, termasuk dlm hal ajaran agama.

Adanya madzhab sbetulnya untuk membantu kita yg org awam dlm memahami teks ajaran agama, membimbing kita menemukan kesejatian hidup dan kedekatan derajad kita sbagai manusia di sisi Allah. Karenanya, Hassan al-Banna pernah berpesan, “setiap muslim yg belum menguasai kompetensi mujtahid, hendaknya mengikuti imam (guru) sambil belajar”.. terus hingga mencapai kompetensi seorang mujtahid. Namun, bila tingkat intelektual dan loyalitas seseorang terhadap ajaran agama masih dangkal, maka akan lebih baik jika mengikuti pendapat tokoh2 tertentu. Mengapa? (sperti dlm catatan sebelumnya) kita harus ingat, padang mahsyar adlah tempat yg sangat asing, tempat dimana saat itu kita butuh para pembimbing supaya tidak tersesat. Lah, klo ngga jelas madzhabnya, nanti bisa2 ngga ada imam yg mau menerima kita dlm kelompoknya di akhirat. Pertanyaannya buat anda yg bermadzhab syafii, “apakah anda yakin Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali adlah org sesat dan menyesatkan??” (jawabnya dlm hati aja..).

Beberapa tahun belakangan ini muncul banyak perdebatan yg menghadapkan satu kelompok baru yg melabeli dirinya sbagai kelompok Islam liberal dgn kelompok lain yg berparadigma fundamental. Sy sbetulnya ngga paham2 amat apa saja sih yg dijadikan bahan polemik dan terkadang berujung pd keraguan tentang keislaman seseorang. Pd masa Rosulullah, kelompok2 yg mengaku Islam, namun keyakinan dan praktek keagamaannya menyimpang akan diperangi dan dipaksa untuk kembali pd ajaran Islam sesuai yg diajarkan oleh Rosulullah. Mengapa harus dgn kekerasan? Karena pd masa2 kelahiran Islam, eksistensi Islam sbagai agama belum stabil, harus benar2 dijaga kemurniannya, mengingat mayoritas umat Islam waktu itu berstatus mualaf atau bukan Muslim ‘turunan’ (alias menjd muslim karena lahir dr orang tua Muslim). Selain itu, perang adlah solusi yg paling realistis dlm konteks sejarah umat manusia di era tersebut. Anda boleh tdk suka berkelahi dan berperang, itu karena anda lahir dlm situasi damai dan nyaman seperti skarang. Klo anda lahir di zaman perang, opsinya hanya dua, pergilah berperang dan membunuh seseorang atau anda akan diperangi dan dibunuh org lain.

Pada masa sekarang, situasi sudah berubah. Islam sbagai agama telah berdiri kokoh dan sulit dipalsukan mengingat kecanggihan teknologi informasi yg kini dikuasai oleh umat manusia. Cara kita menyikapi persoalan2 ikhtilaf mestinya juga jauh lebih ‘toleran’ dan tidak terjebak pd pola pikir yg mudah menganggap sesat sesuatu atau mengkafirkan org lain. Sebab kebenaran itu tidak seluruhnya seragam, namun juga adakalanya berwarna warni. Boleh saja kita memilih satu warna tertentu, boleh warna lain, boleh memilih sekaligus warna2 yg agak mirip asal bukan memilih warna yg kontras dan bertolak belakang.

Sejauh pemahaman sy selama ini, apa yg dikembangkan kelompok aliran Islam liberal sbetulnya baru sebatas pergulatan wacana keilmuan yg sebenarnya sah2 saja. Penekanan cara berfikir mereka terhadap Islam adlah memahami Islam jngan sekedar teks, namun juga konteks sejarah dan perkembangan zaman. Sementara kelompok fundamental memiliki cara berfikir konservatif yg sering mengandaikan konteks zaman mereka seakan2 masih satu masa dgn kehidupan Rosulullah.

Terhadap perseteruan semacam ini, kita cuma bisa menyarankan, “agama bukanlah ritual tanpa makna, dunia bukanlah kehidupan yg monoton dan begitu2 saja”. Agama diturunkan karena ada konteks dinamika zaman, dan tujuan akhir beragama yg harus dijunjung tinggi adalah esensi dan simbolik. Ritual keagamaan yg bersifat simbolik tak boleh diubah, misalnya caranya shalat sudah begitu, maka jangan dimodif macem2. Ibadah puasa, zakat, haji dan ritual keagamaan lain yg bersifat simbolik adalah cara beragama yg berlaku permanen. Sementara hal2 lain yg bersifat konstruksi hukum maupun yg bersifat sospolhankam tentu saja membuka peluang pada pilihan2 berbeda sepanjang esensi dan tujuannya sama. Saya sering memberi contoh misalnya hukuman mati, benar bahwa menurut tradisi peradaban umat Islam sejak dulu yg berlaku dgn cara dipancung, apakah eksekusi dgn cara lain, misalnya ditembak apakah tdk bisa dipandang sbagai eksekusi yg Islami? Hal2 yg bersifat teknis tentu boleh2 saja, klo dipandang lebih efektif, simpel dan efisien, toh esensi dan tujuannya sama. Begitu pula dlm hal konstruksi hukum Islam lainnya. Contoh lain, apakah klo terkena najis mugholladzoh tak ada cara lain selain membasuh dgn air sbanyak 7 kali diantaranya dgn debu? Tentu saja bisa dgn jalan lain (misalnya pake sabun lifeboy), sepanjang esensi dan tujuannya sama.

Saya ingin memberikan contoh lain lg yg memiliki hikmah agar umat Islam cermat untuk memilah mana perbuatan atau tingkah laku Nabi yg harus dipertahankan sebagai cara menjalani kehidupan, dan mana pula perbuatan atau tingkah laku Nabi yg bersifat kontekstual atau sesuai dinamika peradaban zaman. Misalnya Rosulullah diperbolehkan beristri lebih dr empat, smentara tdk boleh bg umatnya, Rosulullah diharamkan menerima zakat, Rosulullah tdk diperbolehkan menikahi wanita ahlu kitab. Semua contoh2 ini bukanlah situasi serba kebetulan, namun pelajaran berharga agar umat Islam benar2 memahami apa yg dimaksud dgn sunnah2 Nabi, sehingga sbagai umat manusia kita tdk jd kelompok yg jumud dan menafikan dinamika zaman.

Kehati2an dlm memandang syariat dan ajaran Islam itu penting dan harus. Sy juga tdk setuju dgn cara berfikir yg terlalu liberal dan mendewakan akal pikir, namun yg harus kita pahami bahwa konstruksi hukum itu tersedia untuk kepentingan manusia, dan manusia diberikan peluang untuk memiliki keterlibatan membangun konstruksi hukum sesuai dgn konteks zaman dan berlandaskan pada norma dan teks2 keagamaan yg memang membuka peluang untuk ditafsirkan. Salah satu contoh yg tdk saya setujui misalnya isu2 emansipasi seperti kemungkinan wanita memperoleh pembagian warisan setara pria dgn argumen sekarang banyak wanita telah bekerja mencari nafkah, bahkan jd tulang punggung ekonomi keluarga. Untuk menjawab pendapat seperti ini kita harus kembali memahami apa yg dinamakan dgn kodrat kemanusiaan. Kodrat kemanusiaan tdk semestinya berubah dan seharusnya benar2 dijaga agar tdk berubah. Jenis manusia berdasarkan kelaminnya hanya dua, pria dan wanita, laki2 adlah pemimpin bagi wanita (dlm keluarga) dan sepanjang tdk dlm situasi darurat, posisinya tetap seperti itu sampai kapan pun.

Pria dan wanita memang tdk pernah setara dlm hal kepemimpinan dan derajad kemanusiaan (berbeda lg dgn derajad keislaman), harusnya tetap begitu. Bacalah sejarah diusirnya Nabi Adam dan Siti Hawa dari surga, bacalah sejarah penaklukan Nabi Sulaiman atas Ratu Saba’ (yg notabene seorang perempuan), bacalah sejarah kekalahan bala tentara siti Aisyah oleh pasukan Ali bin Abi Thalib, mengapa tak ada Nabi perempuan, mengapa wanita tdk boleh jd imam shalat bagi lelaki, dsb..yg semuanya mengajarkan kita untuk memahami apa yg maksud dgn kodrat kemanusiaan. Anda kaum wanita mungkin tdk suka dgn pemahaman sy ini, tapi memang begitulah (diciptakan sbagai wanita adlah ujian tersendiri).

Aliran Islam liberal pernah mengeluarkan 6 butir manifesto yg secara umum sbetulnya biasa2 saja untuk disikapi, yaitu membuka pintu ijtihad, mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks, mempercayai kebenaran relatif, terbuka dan plural, memihak pd minoritas dan tertindas, meyakini kebebasan beragama, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi. Secara umum sebagian sy setuju2 aja dgn butir manifesto tersebut, namun ada juga hal2 yg tdk sy setujui, terutama terkait dgn identitas keislaman dan kemusliman. Sbagai contoh nyata, sy tdk setuju dgn pembelaan terhadap ahmadiyah, walau bukan berarti sy sepakat dgn cara2 kekerasan dlm menyikapi eksistensi kelompok ini. Saya juga tdk menyetujui sekularisasi dlm artian memisahkan kekuasaan dan agama. Dua hal ini adlah bagian dr peradaban umat manusia, dan dlm perkembangannya harus diakui saling membutuhkan, keduanya memiliki hubungan simbiosis-mutualisme.

Negara memang tidak berhak dan tdk seharusnya mengintervensi ajaran keagamaan, namun negara semestinya dimanfaatkan untuk mengatur kehidupan umat beragama. Kekuasaan punya peran penting dlm menyebarkan agama Islam pd awal sejarahnya. Sebab agama bukan cuma soal urusan ibadah dan tanpa kekuasaan (bila hanya mengandalkan kesadaran pribadi), agama hanya akan berfungsi sebatas teori, keyakinan, inisiatif lokal dan hal2 yg bersifat individualistis. Demikian pula sbaliknya, agama memang tidak memerlukan formalisasi atau terlalu mencampuri urusan2 negara yg bersifat teknis, namun agama menjd norma dan payung moral bagi setiap kebijakan publik termasuk dlm membangun konstruksi hukum positif.

Kita tercipta dr segala perbedaan, namun orientasi hidup kita seyogyanya pd penyatuan. Kita memang harus menghormati dan menghargai perbedaan sekalipun saling bertolak belakang, namun tak boleh berlaku toleran terhadap pemalsuan dan penyesatan identitas keislaman. Jalan wajar dlm bereaksi adlah respon yg sepadan, halus dibalas halus, kasar dibalas kasar, aksi fisik dibalas fisik, perang kata dibalas kata, perang tulisan dibalas tulisan.

Kalau kita memahami setiap pandangan dgn kelompok liberal, katakanlah di Indonesia yg populer adlah JIL-nya Ulil Abshar, poin utamanya adlah gagasan2 dlm membangun wajah dunia yg ideal. Penuh perdamaian, toleransi, kebebasan, plurisme dan memahami Islam menurut esensi. Beberapa dari gagasan tersebut sy sepakat, tapi sebagian di antaranya cenderung menjadi pemikiran yg melampaui batas. Saya pribadi memahami, dunia ini bukan tempat yg tepat untuk mendapatkan wujud  paling ideal dr apa yg kita bayangkan atau cita2kan. Kita, pada batas2 tertentu hanya bisa mendekatinya. 

Bila anda berharap suatu saat akan berkumpul secara harmonis bersama org2 yahudi sbagai keluarga terdekat dr sisi keimanan, maka anda tengah bermimpi tentang idealitas. Bila anda mementingkan perdamaian ketimbang adanya kenyataan penyimpangan ajaran Islam, maka anda salah kaprah dlm bersikap. Bila anda tak suka perda2 syariat dgn berdasarkan prinsip2 sekularisme, maka anda harus meragukan kecintaan anda pada simbol2 dan identitas keislaman. Karenanya, marilah kita berhati2 dlm mengembangkan pemikiran dan potensi akal yg kita miliki. Bersikap hati2 jelas lebih baik dan lebih aman demi kepentingan akhirat kita. 

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 6 Januari 2013