HUKUM PERDUKUNAN

Salah satu topik perbincangan yang relatif menarik untuk dikomentari saat ini adalah rancangan revisi KUHP yang diantaranya memuat pasal2 pemidanaan kejahatan santet. Pencantuman istilah santet/sihir sebetulnya merupakan wujud pengakuan negara terhadap adanya dunia lain alias alam gaib. Menurut saya wajar, karena negara idealnya memang harus mengakomodasi nilai-nilai agama dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat yang secara dominan cenderung mempercayai adanya alam gaib. Semangatnya sih bagus, hanya saja formula dari regulasi yang dirancang pemerintah itu yg memunculkan kompleksitas dari aspek penerapan hukum.

Yg utama terkait beban pembuktian, sejauhmana negara punya kuasa dan kemampuan untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana santet, tentang siapa pelaku yang terlibat, bagaimana modusnya, kapan terjadinya, dimana TKPnya, siapa korbannya, apa saja buktinya. Belum lagi ketika kita membuat peta proses penegakan hukumnya, siapapun jelas bisa saja melapor, tapi siapa penegak hukum yg berkompeten, siapa jaksa yg berkompeten dan siapa hakim yang berkompeten dlm hal santet-menyantet. Dalam konstruksi hukum, rasanya berat sekali implementasinya. Boleh jd, bila rancangan KUHP itu disahkan, pelajaran santet diajarkan pula di sekolah kepolisian maupun fakultas hukum di perguruan tinggi. Akibatnya dapat serius, bisa2 calon polisi, jaksa dan hakim itu klo sudah diajari seluk-beluk menyantet, saling santet2an.

Saya kira, di dunia ini ada kejahatan2 tertentu yg putusan dan sanksinya ditunda hingga persidangan sejati di akhirat mengingat ketidakmampuan manusia normal melakukan penindakan hukum, salah satunya berupa kejahatan sihir/santet.

Saya khawatir jika pidana ini jadi diterapkan, rentan terjadi persidangan sesat, bahkan saya juga tidak yakin hakim akan berani menjatuhkan vonis bersalah. Pikir dia “jangan-jangan klo saya hukum, bisa2 saya yg nanti disantetnya”. Ketika mendengarkan beberapa professor yg diserahi tanggungjawab menyusun pasal2 tentang santet, saya mencoba menyimak dasar argumennya. Profesor Muzakir menjelaskan, bahwa penerapan pasal tentang santet efektivitasnya ditujukan pada praktek penawaran bantuan ilmu gaib dengan maksud menyakiti org lain. Dalam bahasa hukum, dikenal istilah percobaan. Berarti seseorang yg sedang berusaha melakukan suatu tindakan pelanggaran hukum, namun gagal atau digagalkan oleh aparat penegak hukum. Tapi apakah bisa kita mengvonis perkataan/pernyataan yg belum berimplikasi secara hukum. Tawaran itu sifatnya masih opsi (bisa jadi, bisa pula tidak jadi) dan belum membawa dampak hukum apapun.

Misalnya saya menawarkan pada anda untuk membunuh seseorang, saya kira tawaran yg saya berikan tidak dapat dikenai sanksi hukum kecuali bila ada kalimat persetujuan dari org yg ditawari serta dapat dibuktikan adanya langkah2 konkret yg mengarah pada suatu tindakan pidana. Profesor Muzakir juga menerangkan, prakteknya nanti untuk membuktikan kesalahan penyantet melalui alat perekam. Saya pikir penjelasan seperti ini sedikit asal2an, sebab pertanyaannya kemudian siapa yg akan merekam. “Masa sih calon korban, kok tau akan disantet oleh si anu lewat si fulan”. Kata Pak Muzakir, polisinya nanti bisa merekam, lah klo itu namanya melanggar privasi seseorang, mencari2 kesalahan dgn cara memata2i para dukun. Dasar argumentasi formulasi pasal tentang santet ini sama sekali tidak meyakinkan kita.

Namun supaya kita tidak terlalu dini bersikap apriori, sebaiknya kita melihat beberapa sisi positif dari rencana pemidanaan kasus santet ini. Pertama, percayakah kita adanya santet. Saya cenderung percaya kejahatan secara gaib memang ada. Secara spesifik ritual ‘perdukunan’ buat saya pribadi bukanlah fenomena yg asing (namun bukan yg jahat, ya). Kebetulan ayah saya boleh disebut praktisi dalam urusan ini selain aktivitas utama beliau sebagai guru agama. Dulu semasa saya masih kecil hingga tumbuh menjadi remaja, beliau memiliki ruang khusus dalam rumah tempat beliau menyimpan berbagai kitab2, alat tulis dan minyak2 tertentu untuk keperluan yg bersifat supranatural. Ruang khusus ini konon sebaiknya tidak dimasuki sembarang orang, terkecuali keluarga beliau. Mengapa? Ada kitab2 tertentu yg bisa mengakibatkan efek negatif bila dibaca orang lain secara sembunyi2 (sengaja mencuri informasi dr kitab), misalnya efek kegilaan. Ayah saya memang tak pernah secara khusus mewanti2 soal ini, tapi itulah yang bisa saya pahami. Apakah sekarang masih ada? (harap maklum, ayah saya sudah tiada sejak sebelum era reformasi dimulai, hal yg selama masa kuliah rasanya tak pernah saya ceritakan pd sahabat terdekat sekalipun, tp kini tak apalah saya ceritakan sebagai bagian argumentasi catatan ini terkait topik persantetan).

Apakah ayah saya bisa menyantet orang? Bila pertanyaannya pernah, sering atau sejenisnya saya tentu tak tahu, Wallahu A’lam. Tapi jika pertanyaannya apakah Ayah saya tau seluk beluk ilmu persantetan, saya kira iya. Logikanya, siapapun yg mampu (dgn seizin Allah) menolak serangan santet, menyembuhkan korban santet atau mengirim balik suatu santet pd pengirimnya, mestinya paham tata cara persantetan. Persoalannya tinggal soal kemauan penyalahgunaan. Dukun2 yg mengambil ilmu dr selain dr ulama akan mudah menjerumuskan dirinya pd praktik ilmu gaib yg menyimpang, sesat dan sarat kejahatan. Kuncinya adlah pondasi dan sinergi sisi spiritual keagamaan. Supranatural dengan basic keagamaan sebenarnya memberikan keuntungan dlm perspektif hubungan seorang makhluk kepada Khaliq-nya. Orang2 yg diidentifikasi sbagai wali atau para ulama khos memanfaatkan benar keunggulan penguasaan tentang hal2 spiritual seperti ini yg bagi org awam disebut sbagai ilmu supranatural.

Karena ayah saya lahir dr leluhur yg baik, memperoleh ilmu yg baik, maka penyalurannya juga baik. Hal2 saya ingat di masa kecil saya, ayah saya sekalipun tidak rutin namun sering juga datang org2 yg mengharap bantuannya, mulai masalah kemalingan, pengobatan org gila, rajah, pagar, berbagai macam masalah yg diharapkan diatasi melalui jalur supranatural, namun seluruhnya bermakna baik. Berbeda dgn dukun2 profesional (yg kerjaannya murni dukun) dan menjadi kaya raya dr hasil perdukunannya, ayah saya tak mematok tarif, lebih banyak bermotif bantuan yg bersifat sosial, paling banter mereka biasanya datang membawa gula, teh, kopi, dan sebangsanya.

Ketika saya menceritakan hal di atas sbagai contoh nyata, intinya bukan soal pengalaman orang tua, namun untuk memberikan gambaran bahwa ada dua jenis paranormal. Secara sederhana kita bisa menyebutnya aliran hitam dan aliran putih, karena sumber atau asal muasal ilmunya kedua jenis aliran tersebut memang berlainan dan saling bertolakbelakang. Dengan realitas seperti ini, maka rancangan pidana tentang santet harus memahami benar keberadaan org2 yg memiliki ilmu gaib, jangan sampai para kiyai (yg di Indonesia masih cukup banyak jumlahnya) yg menguasai ilmu gaib dan menjalankan pula praktek bantuan yg bersifat supranatural terjebak atau dijebak oleh pasal2 pemidanaan.

Intinya, saya kira sepatutnya pasal2 tentang santet itu tak perlu diatur dalam konstruksi hukum formal. Rasanya aneh saja jika hukum kemanusiaan diarahkan untuk mengatur hal2 diluar nalar dan kewajaran yg melibatkan jenis makhluk berbeda (baca=jin). Pelanggaran nilai2 kemanusiaan secara gaib sebaiknya diatasi secara gaib pula. Dalam konteks ini, negara sah2 saja bila mau berbaik hati menyediakan layanan sosial untuk membantu warganya yg diduga menjadi korban kejahatan secara gaib, misalnya membentuk organisasi yg bersifat sosial (jangan diformalkan), terdiri dari org2 yg diakui oleh anggota kelompok tersebut memang memiliki ilmu gaib (tdk asal mengaku2). Jika ada kasus2 tertentu, biarlah organisasi ini yg memutuskan tindak lanjutnya, baik kepada korban, kepada pelaku maupun makhluk lain yg terlibat dlm satu kejahatan secara gaib. Saya menganjurkan sebaiknya negara memberikan biaya operasional, sekedar biaya pengganti peralatan yg diperlukan, supaya dlm prakteknya tidak terjadi komersialisasi. Saya kira kita mafhum, perputaran uang dlm bisnis gaib itu tidak sedikit, mahar yg harus diberikan klien umumnya besar, dan menjadi amat besar jika org yg punya kepentingan diketahui seorang pejabat, pengusaha atau artis.

Walaupun dunia ini semakin rasional, namun tak dapat dipungkiri hal2 yg bernuansa supranatural tetap saja eksis. Peminatnya tidak sedikit, apalagi jika dikomersialisasi dan disalahgunakan. Satu hal yg harus kita ketahui, ilmu2 yg bersifat supranatural mengandung beban, tanggungjawab, resiko, pantangan dan efek samping. Hal2 ini terkadang tak terpikirkan oleh mereka (generasi muda) yg berminat tentang hal2 yg berbau gaib. Mereka seringkali hanya melihat sisi kekuatan dan kehebatan semata, tanpa memikirkan bahwa ilmu semacam ini merupakan ilmu sarat resiko dan cara memperolehnya juga tidaklah gampang. Hanya pribadi2 yg tangguh dan memiliki kedalaman spiritual keagamaanlah yg mampu menikmati ilmu ini sebagai anugerah dr Allah dan dimanfaatkan sesuai jalur halal yg disediakan Allah.

Saya pribadi lebih suka menjadi manusia yg normal dan wajar2 aja, karena lebih dekat dengan kebahagiaan yg sewajarnya. Contoh sederhana, kebanyakan anda sejak kecil umumnya ditakut2i dengan idiom setan, dan mungkin benar2 takut jika suatu saat anda menyaksikan apa yg kini populer dgn istilah penampakan. Kira2 enak ngga, klo hari2 anda diwarnai dgn menyaksikan pemandangan2 ganjil yg umumnya ngga sedap dipandang mata. Padahal tingkatan dasar belajar ilmu gaib ya mulai membiasakan diri menyaksikan sesuatu yg tak terlihat pandangan biasa, namanya juga memasuki alam halus. Lalu melangkah lebih jauh, anda harus pula terbiasa dgn citra dan gambaran2 aneh, yg lantas ditafsirkan sebagai ramalan. Sepintas, mungkin terkesan hebat tapi sebetulnya akan lebih baik jika kita membiarkan kehidupan kita berjalan normal, rasional, hidup dgn masalah2 yg logis dan sederhana. Semakin sederhana hidup kita, maka sederhana pula masalah2 yg kita hadapi, sebaliknya semakin sering kita menempatkan diri pada posisi sulit dan beresiko, maka rumit pula cara kita menghadapinya. Jadi, semua terserah kita, hidup ini punya sederet pilihan, setiap pilihan memiliki dampak berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar