RAHASIA OPERASI MILITER

Dalam catatan terdahulu (“Tentara caper”), saya sbetulnya sudah mengomentari aksi kekerasan yang disinyalir melibatkan personel militer akhir-akhir ini. Catatan ini adlah kelanjutan dr catatan tersebut.

Hingga hari ini, berita yg kita baca tentang penyerbuan Lapas Sleman belum banyak kemajuan selain polisi berusaha menyelesaikan sketsa wajah dua pelaku yg pada saat kejadian menurut para saksi diketahui tidak menggunakan penutup muka. Metode pembuatan sketsa yg dilakukan polisi sejauh ini cenderung prosedural walau dlm banyak kasus memang cukup membantu mengungkap kasus2 sulit. Namun metode pengungkapan kasus seperti ini sangat mengandalkan informasi dr masyarakat, selalu butuh waktu. Sketsa adlah bagian dr jejak pelaku yg menjadi rekonstruksi kejadian, toh setiap aksi kejahatan umumnya meninggalkan jejak betapapun sempurna rancangan kejahatan yg dilakukan.

Polisi tentunya sudah mengumpulkan segala bukti fisik yg ditemukan, misalnya tentang peluru yg melukai korban di TKP untuk mengungkap berapakah kaliber peluru dan jenis senjata apa saja yg menggunakan peluru tersebut. Selain itu, hasil olah TKP juga mencoba menemukan sidik jari yg mungkin saja ditinggalkan pelaku. Selain itu, kesaksian menjadi unsur terpenting dlm pengungkapan kasus berdarah ini. Polisi jelas sudah melakukan pemeriksaan verbal pd kepala keamanan lapas dan sipir yg bertugas, dari sana akan coba dirangkai mulai dari proses kedatangan pelaku hingga ketika pelaku meninggalkan Lapas. Pintu pagar lapas awalnya kemungkinan dlm posisi terkunci, sehingga pelaku terpaksa masuk dgn melompati pagar, dan hal inilah yg memancing kecurigaan petugas lapas sekalipun pelaku menunjukkan surat peminjaman tahanan. Perawakan dan tinggi badan rata2 pelaku akan menunjukkan apakah pelaku merupakan warga sipil atau non sipil, sebab ada standar fisik tertentu bagi setiap anggota polri dan TNI. Kemudian dari dialek percakapan, kalimat2 perintah dan sandi2 yg digunakan akan menjadi petunjuk untuk mengidentifikasi pelaku.

Ketika kepala keamanan Lapas (Pak Margo) oleh pelaku dijemput dr rumahnya yg tak jauh dr Lapas, mestinya turut memberikan tambahan informasi, karena sebelum memasuki area Lapas, Pak Margo tentu sempat pula mengamati situasi, berapa org yg berjaga di depan, lalu di dalam, termasuk pula jumlah dan jenis kendaraan yg di pakai. Jam 1 malam, suasana Jogja setau saya masih relatif ramai kendaraan, cukup banyak tempat2 nongkrong di pinggir jalan, dan polisi saya kira sudah mencari informasi sampai kesana. Pelaku diketahui juga sempat menunjukkan surat yg katanya surat peminjaman tahanan, klo misalnya benar dalam surat itu tercantum stempel, polisi dapat pula mencari informasi dari tukang2 stempel yg ada di sekitar jogja, mungkin saja ada yg pernah minta dibuatkan stempel.

Seandainya TNI bersedia lebih terbuka dan menjalin koordinasi dgn didasari keinginan mengungkap kasus ini, maka jalan pengungkapan akan lebih mudah, terutama terkait kepastian adakah keterlibatan oknum TNI. Bila senjata yg diduga adalah merk AK-47 dan SS-1, tentu TNI dapat memastikan kesatuan mana saja di tubuh TNI yg menggunakan jenis senjata tersebut, kemudian memeriksa gudang amunisi, apakah persediaan peluru masih utuh atau telah berkurang. TNI juga bisa diam-diam mengundang sipir untuk memeriksa data pas photo ribuan personel TNI di Jogja-Jateng, siapa tau bisa mengenali adakah di antara sekian banyak photo itu yg dicurigai sebagai pelaku yg tidak menggunakan penutup wajah. Saya yakin pengungkapan kasus yg melibatkan aparat itu justru relatif lebih mudah dibandingkan kasus penyerangan bersenjata yg dilakukan warga sipil.

Pasca kejadian, setidaknya ada 5 pejabat yang saya bayangkan apa yg dilakukannya setelah mendapatkan informasi terjadi penyerangan Lapas Cebongan yg menewaskan tersangka pembunuhan anggota TNI, dan seandainya saya berada pada posisi kelimanya, tindakan apa kira2 yg akan saya lakukan. Pertama, Pangdam Diponegoro, Kapolda DIY, Kapolda Jateng, Direskrimum Polda DIY dan Kasi Intel Kodam Diponegoro. Saya tidak tahu seberapa cepat kelimanya mendapatkan informasi. Bila saya berada pada posisi beliau2 itu, maka kita sebetulnya dapat melakukan deteksi awal tentang siapa kemungkinan pelakunya, dan membuat prediksi cepat kemana arah pelarian pelaku. Seandainya saya Kapolda DIY, Saya akan segera menelepon seluruh polsek di kecamatan2 perbatasan di seluruh DIY, menginstruksikan supaya melakukan pantauan (bukan penghadangan) di jalan keluar Jogja, khususnya kearah yg di curigai dr mana asal pelaku (ini bila yg dicurigai adlah satuan2 militer tertentu). Selanjutnya, saya akan berkoordinasi dgn Kapolda Jateng agar bersedia mengintruksikan petugas reserse di lapangan untuk mengadakan pantauan di sekitar satuan militer yg dicurigai, adakah pergerakan mencurigakan masuk ke area tersebut. Logikanya, bila pelaku merupakan personel militer, setelah melakukan aksi mereka umumnya akan kembali ke pos secepatnya, mengapa? untuk kasus2 yg diduga melibatkan personel militer, atasan yg bersangkutan biasanya akan segera melakukan apel. Untuk kembali ke pos, terlebih perjalanan darat butuh waktu, apalagi jarak Jogja ke markas satuan yg dicurigai letaknya cukup jauh, setidaknya memerlukan waktu 1,5-2 jam perjalanan.

Artinya, saya percaya sebenarnya polisi sejak dini sudah banyak menerima informasi nyaris akurat, setidaknya sekedar memastikan apakah pelakunya berasal dari kalangan aparat atau sipil. Bila mereka yakin sipil, sudah pasti Polda DIY akan segera menggelar operasi penghadangan dan pengejaran. Mengapa itu tidak dilakukan? begitulah menurut pengamatan pengacara korban. Kalau kita mau khusnudzon, karena kemungkinan pelakunya sudah diketahui oknum militer dan mereka tidak mau terlibat konflik jangka panjang antar instansi yg diawali dgn bentrok berdarah bila dilakukan penghadangan. Bahkan sulit dimengerti pula mengapa tahanan Polda bisa dititipkan di Lapas tingkat kabupaten, padahal tidak jauh dr Polda ada Lapas kelas I Wirogunan yg terletak di tengah kota Jogja. Saya melihat, peristiwa di OKU benar2 memberikan pukulan psikologis yg begitu kuat bagi Polri, mereka gentar, trauma dan bingung dlm menentukan sikap, terutama bila terkait dgn pergerakan satuan2 militer.

Apakah kasus penyerangan Lapas Sleman sempurna dr sisi aksi bersenjata? Secara sepintas, tujuan aksi bersenjata itu jelas sukses, baik dr segi target, waktu, maupun cara membersihkan jejak. Namun mungkin akan lebih sulit diungkap jika mereka lebih meminimalkan komunikasi dan interaksi (adalah suatu kecerobohan jika sampai memaksa tahanan menonton adegan eksekusi), menggunakan kode dan bahasa sandi yg benar2 asing dan bukan ciri kelompok tertentu, serta jikapun benar mereka oknum militer maka org yg memperlihatkan wajahnya akan ‘lebih baik’ jika merupakan warga sipil. Artinya, pelaku harus berfikir berkali2 tentang kemungkinan terburuk, termasuk keharusan membersihkan jejak (sekecil apapun). Untungnya mereka masih cukup terkendali untuk tidak ‘menghabisi’ para saksi. Semakin mereka berhasil mengaburkan jati dirinya, semakin sulit pula aparat yg berwenang mengungkap aksinya. Bagaimanapun tentu mereka sepenuhnya sadar, pembunuhan berencana sanksi hukuman maksimalnya adalah hukuman mati.

Sejauh ini, kasus Sleman menurut saya bukan termasuk kasus yg kompleks, ini aksi luar biasa yg sederhana. Luar biasa karena yg diserang adalah salah satu simbol supremasi hukum negara, namun sederhana dari segi motifnya (bila benar motifnya balas dendam). Kasus yg lebih rumit dalam sejarah perjalanan bangsa kita pernah terjadi di tahun 1965-an yg lebih dikenal dgn G30S/PKI. Saya sudah berkali2 membuat catatan tentang peristiwa ini, dan hingga kini ngga bosan juga untuk mengulasnya kembali. Aksi bersenjata G30S PKI rumit untuk dimengerti karena aksi militer ini sbenarnya tidak jelas konsep dan tujuannya. Saya menyebutnya gerakan ‘bunuh diri’, amatiran atau nafsu besar tenaga kurang, karena penuh gagasan operasional yg bersifat spekulatif. Mereka berspekulasi mampu mempengaruhi Bung Karno untuk mendukung tindakan pembunuhan jenderal yg dianggap antek negara asing. Nyatanya tidak. Bung Karno justru meminta gerakan dihentikan. Pelaku G30S berspekulasi Mayjend Soeharto sebagai Pangkostrad mendukung Untung Cs., atas dasar eratnya hubungan pertemanan di masa lalu, nyatanya Soeharto lebih setia dgn negaranya. Mereka menggerakkan dua batalyon pasukan dari Jateng dan Jatim dengan melakukan penipuan dan penyesatan informasi, mereka juga memanfaatkan pasukan Cakrabirawa (Paspampres) dengan mengatasnamakan presiden untuk terlibat penculikan dan pembunuhan 7 jenderal AD.

Ketika gerakan dgn resiko tinggi disusun atas dasar spekulasi dan tanpa memperhitungkan kemungkinan terburuk yg mungkin saja terjadi, maka yg terjadi adalah kegagalan. Para pelaku G30S meninggalkan banyak jejak dlm menjalankan aksinya, jejak yg paling jelas terlihat adalah penggunaan uniform dan simbol2 militer. Saya membayangkan, jika mereka lebih selektif, lebih misterius dalam menjalankan aksi, maka hasil akhir mungkin saja akan berbeda. Bayangkan saja jika pelaku G3OS memilih menggunakan penembak jitu atau pasukan tak dikenal untuk menghilangkan nyawa lawan2 politik mereka, maka situasi jangka panjang rasanya akan berpihak pd mereka, karena Mayjen. Soeharto jelas akan kesulitan mengidentifikasi siapa pelaku. Untungnya, rencana yg dipilih dan terlaksana justru salah satu rencana kudeta terbodoh dlm sejarah peradaban manusia.

Akhir dari catatan ini, kita sebenarnya ingin menaruh kepercayaan pada Polri, pada TNI, sayangnya mereka belum sepenuh hati memberi bukti memang pantas dipercayai. Mereka masih sering berlaku setengah hati, mereka malas keluar dr zona nyaman yg telah sekian lama mereka nikmati. Jadi, ketika rakyat sering memunculkan anarkhi, itulah realitas yg paling mudah untuk dimengerti.

1 komentar:

  1. Betway Casino Resort NJ - JTM Hub
    The Betway casino and resort is a 3-story high-rise 공주 출장샵 building in Uncasville, Connecticut, U.S.A.. 이천 출장안마 View a detailed 진주 출장샵 profile of 인천광역 출장마사지 the 부산광역 출장안마 structure 1056413 including further

    BalasHapus