UJIAN NASIONAL SALAH KAPRAH

Bagi anda yang tidak beretnis suku jawa mungkin agak asing dengan istilah ‘pekok’ yang saya gunakan sebagai judul catatan ini. Pekok adalah ungkapan sarkastik yang bersinonim dengan kata bodoh, mungkin level hinaannya setara dgn ‘goblok’. Orang jawa mungkin salah satu suku bangsa di dunia yg paling kreatif dan rumit dalam hal kebahasaan, karena banyaknya strata kebahasaan yg disesuaikan dengan konteks keadaan/perasaan maupun lawan bicara.

Istilah peka dan pekok dlm catatan ini saya tujukan pada penanggungjawab utama pendidikan di negeri yang sebenarnya terdiri dari para intelektual, jenius, lengkap dengan deretan titel mentereng yang menandakan mereka adlah kelompok ‘wong pinter’. Salah satu bukti ‘kepekokan’ dan ‘ketidakpekaan’ para penanggungjawab pendidikan ditingkat nasional adlah persoalan ujian nasional.Tahun ini kabarnya merupakan tahun terakhir pelaksanaan ujian nasional, dan belum tau juga seperti apa format evaluasi belajar siswa di akhir setiap jenjang sekolah pada tahun depan. Bila benar UN jadi dihapuskan, maka itu jelas kabar gembira buat para guru dan siswa.

UN tahun ini ibarat bom waktu yang siap meledak kelak pada saat pengumuman hasil ujian nasional, justru karena sistem operasionalnya sekarang ini benar-benar bagus, dan sulit terjadi kebocoran. Masalahnya, berapa persen siswa kita tahun ini yg kemungkinan mampu lulus ujian, sementara ujian ulangan ditiadakan. Sebagai akibat jika tidak lulus, maka siswa disarankan mengikuti ujian paket B. Percuma kan 3 tahun menempuh pendidikan di sekolah tertentu, jika ijazah kelulusannya hanya berupa paket B yg tidak mencantumkan identitas sekolahnya.

Sebagai seseorang yg berprofesi juga sebagai pendidik, saya mendapatkan informasi jika banyak sekolah tengah merasa kebingungan, pasrah, dan berusaha kasak kusuk mencari kunci jawaban. Tahun2 sebelumnya, sekolah2 terutama di daerah saya masih anteng2 aja. Bahkan bila sesuai database di pusat, terbilang daerah berprestasi dari segi prosentase kelulusan siswanya di setiap tahun. Kini, sejak kemendiknas memberlakukan 20-30 paket soal berbeda, ini jelas menimbulkan situasi pelik. Klopun nantinya ada drop kunci jawaban seperti tahun sebelumnya dari oknum2 dinas terkait, rasanya susah juga teknis penyebarannya ke siswa.

Inti permasalahan ujian nasional adalah ketidakselarasan antara idealisme dengan kenyataan di lapangan. Idealnya menurut kemendiknas, misalnya standar minimal nilai enam, sementara kenyataannya batas kemampuan siswa menjawab soal rata2 dibawah standar minimal tersebut. Sebenarnya tidak mengapa jg mau dibikin standar  nilai 6 atau bahkan 8, yg penting adlah apakah materi pertanyaan yg diberikan memang telah disesuaikan dengan batas kemampuan siswa. Artinya, solusinya sebenarnya tidak sulit2 amat terkait permasalahan UN jika kita memahami teori daya serap dan daya ingat seseorang terhadap pengetahuan yang pernah diajarkan.

Dalam kurun waktu tiga tahun, siswa telah dicekoki tanpa henti dgn beragam pengetahuan yg beberapa di antaranya kurang mereka sukai. Semakin seorang siswa tidak menyukai suatu pelajaran, maka ada dua kemungkinan. Pertama, ia bisa memahami, tapi daya ingatnya terhadap apa yg telah dipahaminya tersebut cepat luntur. Singkatnya, “dulu sih paham, sekarang dah lupa”. Kedua, dia memang tidak pernah paham. Sementara, kalau kita melihat melihat silabus dan RPP yang digunakan guru dari seluruh mata pelajaran, maka komentar kita singkat aja, mengerikan! Mengapa? Karena kalau bundelan kertas perangkat pembelajaran tersebut ditumpuk, tingginya bisa dua meter. Itu baru secara garis besar, kalau dijabarkan melalui materi pelajaran mulai kelas VII sampai kelas IX atau kelas X  sampai kelas XI, klo siswanya serius pengen belajar puyeng mereka (klo yg malesan, sih ra urus), padahal semua materi pelajaran tersebutlah yang harus mereka persiapkan (untungnya cuma 4 pelajaran aja yg di UN-kan). Sehingga pokok permasalahan sebenarnya bukan pada standar penilaian, tapi standar materi soal/kompetensi yg ditanyakan pada saat UN. Belum lagi klo melihat data nilai raport yang dikirim sekolah2 ke pusat, tak pelak lagi isinya sungguh manipulasi sebesar2nya dan berbeda dg isi raport yg dikirim ke org tua siswa. Bayangkan saja, jika siswa paling pekok saja nilai rata2nya raportnya delapan dan sembilan. Udah kayak apa namanya sekolah itu..

Untuk itu solusinya memang menyederhanakan soal UN. Mungkin benar sebelum diujikan soal2 tersebut telah melalui tahap try out, tapi sekolah mana yg dijadikan sampel uji coba. Klo try outnya di sekolah2 unggulan, yah..wajar dong klo hasilnya valid dan realibel. Harusnya try out diadakan di sekolah yg letaknya di pedalaman atau setidaknya di sekolah dgn kondisi rata2.

Polemik dan kegaduhan publik terkait penyelenggaraan UN di setiap tahun semestinya cukup menjadi bahan refleksi bagi pejabat terkait, khususnya Menteri Pendidikan. Persoalannya tinggal kepekaan. Apakah yg bersangkutan peka terhadap persoalan yg dihadapi guru dan siswa, atau lebih mementingkan prestasi pribadinya sendiri. Dalam situasi seperti sekolah, guru memang rentan berada pada pihak yg selalu tertekan dan mudah disudutkan. Kalau mayoritas siswa ngga lulus, para orang tua jelas menyalahkan guru, misalnya “ah, ngga becus tuh gurunya, ngga mutu pendidikannya, dan lain2”. Padahal yg terjadi tidaklah sesederhana yg dibayangkan orang.

Misalnya, sekarang ini banyak siswa melaporkan gurunya ke polisi dengan sangkaan melakukan penganiayaan. Sementara klo bapak-ibunya sendiri yg menempeleng sejak kecil ngga dilaporkan juga ke polisi. Repotnya, biasanya polisi cepat merespon pengaduan seperti ini tanpa melihat esensi permasalahan. Padahal kita bisa nanya juga sama polisinya, mungkin ngga sih dia selama menempuh pendidikan di Secaba atau Akpol nihil pemukulan oleh seniornya. Dan,apakah setiap pukulan itu selalu bisa disamakan dengan penganiayaan?

Saya kira pasal2 penganiayaan itu sendiri sebagai bagian dr konstruksi hukum perlu diperjelas lagi supaya penerapannya tidak menjadi salah kaprah. Menurut saya, penganiayaan itu dapat dihukumi pidana jika memenuhi dua unsur, pertama adanya aksi dan kedua dilakukan tanpa dasar yang bisa ditoleransi hukum. Aksi penganiayaan ada dua bentuk, pertama suatu tindakan menyakiti secara fisik orang lain yang berulang-ulang dalam satu waktu atau pukulan bertubi2. Logikanya, orang yg memukul secara bertubi2 atau beruntun itu umumnya sedang kalap, tak mampu mengontrol emosi dan membahayakan, karena pukulan kedua, ketiga dan seterusnya cenderung akan lebih keras dari pukulan pertama. Kedua,melakukan pemukulan satu kali namun menimbulkan impact dan bekas/cacat yang sulit hilang atau berpotensi membahayakan jiwa.

Guru memukul murid umumnya didasari atas konteks kegiatan pendidikan,dan sebab yg paling umum adalah si murid lazimnya melakukan kenakalan yg melebihi batas kesabaran guru. Tujuan pemukulan jelas membuat efek jera dan sebenarnya juga demi kepentingan siswa sendiri. Hal seperti ini semestinya tak perlu disalahkan sepanjang impactnya tidak membahayakan atau menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan kebugaran anak. Dokter ketika menyuntik itu rasanya sakit, tapi tindakan itu diperlukan demi kepentingan pasien.

Pengalaman pribadi saya sebagai guru, saya memang tak pernah memukul,bahkan walau sekedar berupa jeweran menyakitkan sekalipun. Biasanya, paling banter saya menerapkan punishment yg sifatnya melelahkan, ngasih tugas, push up, lari dlm hitungan kilometer, tapi sanksi2 semacam ini tidak selalu efektif bagi sejumlah siswa. Apalagi klo sekedar nasehat2 aja. Dah kebal bin bebal. Anak umumnya takut dipukul, dan harus diakui pukulan secara umum adlah shock theraphy yang efektif untuk membuat siswa secara keseluruhan taat aturan. Sehingga, pihak otoritas pendidikan semestinya dapat menjalin komunikasi dan kesepahaman dengan penegak hukum tentang hal2 apa saja yg patut dipidanakan dalam konteks pendidikan.

Sekarang ini para guru harus berfikir ulang jika memilih tindakan yg bersifat keras pd siswa, berbeda jauh dibandingkan zaman pd saat kita yg dah lama lulus sekolah. Dulu org tua ‘pasrah bongkokan’, sama guru. Bahkan wali siswa terkadang bilang sama gurunya, “pukul aja pak klo si anu nakal”. Zaman sekarang situasinya sudah lain, klo sekarang, “enak aja mukul2, lha wong saya bapaknya aja ngga pernah mukul..”. Padahal, tantangan mendidik siswa pada saat ini sungguh berat. Banyak situasi yg menguji motivasi para guru. Seperti yg pernah saya ceritakan pada catatan terdahulu, ketika seorang guru agama nangis2 ketika mengetahui kejadian ada sekelompok siswa melakukan pelecehan seksual pd sejumlah siswi. Secara emosional guru tersebut memang sensitif, selain itu yg paling memukul psikologisnya adalah kenyataan bahwa hampir tiga tahun ia mengajari siswa tentang halal-haram, tentang etika, lha kok kayak ngga ada hasilnya.

Si ibu guru itu selama bertahun2 memahami, bahwa pengetahuan keagamaan adlah solusi membentuk diri seseorang, padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Manusia memang memiliki naluri untuk memperoleh ilmu pengetahuan, namun penerapan ilmu pengetahuan lazimnya lebih banyak didasarkan atas kebiasaan dan tuntutan keadaan. Agama tidak serta merta punya kemampuan menghapus adanya praktek perjudian,perzinahan, tawuran, dan segala macam masalah moral. Jadi, secara praktis manusia umumnya tidak bergerak karena pengetahuannya, namun karena kebutuhan, kebiasaa ndan tuntutan keadaan. Sebagai contoh sederhana, saya mengibaratkan agama itu seperti kompas atau gps. Kompas itu akan menunjukkan arah tertentu, tapi kompas tidak akan berpindah tempat dgn sendirinya. Bergantung siapa yg memegangnya. Umumnya sikap dan tindakan si pemegang kompas akan dipengaruhi faktor2 di sekitarnya, faktor cuaca, bekal, kendaraan, teman, dan sebangsanya.

Begitu juga dengan siswa. Kesuksesan transformasi keilmuan keagamaan tidak menjamin siswa menjalani hidup secara benar. Semua bergantung pada seberapa besar daya tarik pengetahuan agama di antara pengetahuan2 baru yg dimiliki siswa. Pengetahuan baru itu bisa berupa hal2 positif, bisa pula negatif. Begitupula dengan faktor pergaulan, orang tua, kebiasaan yg berlaku di masyarakat, termasuk faktor internal siswa sendiri.

Itulah mengapa saya sulit juga bersikap secara tepat ketika menyikapi fenomena penyebaran content porno di kalangan anak didik saya. Dulu hal ini pernah saya ceritakan melalui catatan, bahwa secara berkala kami para guru mengadakan pemeriksaan HP untuk mendeteksi adakah siswa yg menyimpan conten2 porno, sebab berbagai kasus pelecehan atau perilaku seks di luar nikah umumnya punya korelasi kuat dgn pengalaman menonton pornoaksi. Di sekolah2 lain biasanyajuga ada pemeriksaan HP, cuma pikir saya ngga efektif klo kita memeriksa HP siswa. Akan lebih efektif jika cukup dikumpulkan saja memory cardnya, karena data yg berukuran besar seperti video biasanya masuk ke memory. Setelah direcovery (karena ada siswa yg sebelum diperiksa, menghapus lebih dulu simpanannya), akan terlihat perubahan data di memory, apa saja yg masuk ke situ, lengkap dgn kapan waktunya. Dari hasil pemeriksaan, memang mencengangkan dan setelah dicross check dgn pengakuan siswa memang nyatanya banyak siswa menyimpan content2porno.

Tidak mudah memperbaiki masalah2 faktual seperti ini, baik pendekatan keagamaan, nasehat, dan membuat surat perjanjian, ternyata tidak selalu efektif. Beberapa bulan berikutnya ketika diperiksa lagi, masih ada juga siswa2 ndableg yg mengulangi perbuatannya lagi. Akhirnya kesimpulan saya, ini masalah nasional yg harus ditanggulangi secara nasional pula. Siswa itu jamaknya menjalin pergaulan dgn sesama siswa, baik satu sekolah maupun sekolah lain. Kita akan sulit menghentikan peredaran conten porno jika sekolah lain tidak melakukan hal yg sama. Pada posisi ini, peran Kemendikbud dan Kemenag menjadi urgen, dan sepatutnya juga menaruh perhatian yg lebih pada masalah2 substansial ketimbang masalah2 normatif kayak ujian nasional.

Akhir dari catatan ini, pendidikan nasional kita tidak akan benar2berkualitas jika terus-menerus dikelola oleh orang pinter yg pekok. Orang pinter yg pekok adalah orang yg suka mengamati semut dari kejauhan, dan memperhatikan gajah di depan pelupuk matanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar