MEMAHAMI KONFLIK SARA DI LAMPUNG


Saya memang bukan warga lampung, tp sy sempat beberapa tahun bersekolah di sana, jd sedikit banyak mengetahui daerah ini, yg sebetulnya dr sisi penduduk memiliki karakteristik yg tidak jauh berbeda dgn propinsi saya, Sum-Sel. Bedanya mungkin lebih terletak bahwa ada unsur suku melayu di daerah saya, setelah di zaman dulu terjadi akulturasi budaya antara penduduk asli, jawa dan melayu, lalu muncullah istilah ‘wong kito’ yg menggunakan bahasa Palembang sbagai bahasa resmi lokal. Jadi, sehari2 kami bila berkomunikasi dgn suku lain memakai bahasa pemersatu, bahasa Palembang.

Seperti juga di Lampung, di daerah saya ada perkampungan jawa, bali dan penduduk asli (kami org dr suku jawa menyebut mereka ‘wong kampung’ atau dlm bahasa sarkastik –maaf- ‘wong mbelung’). Org jawa dimanapun di Indonesia umumnya diterima dgn baik (kecuali di daerah konflik yg disebabkan masalah separatis, seperti di Aceh dan Papua). Ini mungkin disebabkan mentalitas ‘inferior’ yang diakibatkan dr karakter yg tidak menyukai kekerasan fisik. Karenanya, praktis jarang terjadi kasus perang suku yg melibatkan penduduk jawa sebagai warga pendatang dgn penduduk asli, sekalipun dr sisi perasaan org jawa ada rasa kurang menyukai.

Biasalah karakter org jawa (di depan musuh, masih bisa senyum2 menampakkan keramahan, dibelakang nggrundel), sementara org asli sumatera umumnya memiliki karakter yg lugas dan keras, kalau tidak suka, ya bilang ngga suka. Yg bikin org jawa malas juga mencari masalah dgn warga asli, karena sistem kekerabatan dan kesukuan penduduk asli masih amat kental, punya urusan dgn satu org saja masalahnya bisa panjang lebar, ngga peduli kita dlm posisi salah atau benar, sebab mereka datang dibela oleh keluarga besar, bahkan bisa satu suku yg jumlah totalnya masih lebih besar ketimbang penduduk pendatang.

Disini juga ada beberapa perkampungan penduduk Bali, biasanya setiap nama desa mereka didahulu kata Bali, misalnya tidak jauh dr tempat tinggal sy ada Bali Luhur, Bali Kalang dsbnya. Dulu sy pernah guru sy bercerita klo penduduk bali pendatang di sini asalnya warga daerah pantai di Pulau Bali sana yg secara karakter dan peradaban agak berbeda dgn warga Bali yg ada di kota. Itulah mengapa, dari sisi penampilan fisik dan gaya hidup mereka yg ada disini tergolong (maaf) ‘terbelakang’ dibandingkan suku2 lain (walaupun dr sisi ekonomi, sebetulnya banyak warga bali yg jd jutawan dan berlimpah uang). Ada juga kesan2 (lg maaf) ‘miring’, jorok, suka melihara babi, macem2lah. Kenyataannya tentu saja tidak selalu begitu, tp seperti biasa masyarakat kita kan memahami, kebiasaan buruk sejumlah org dipandang bukanlah kebetulan, tp mewakili kondisi umum. Jadi, terlanjur ada stigma yg cenderung negatif.

Warga bali pendatang memang juga dapat dikatakan terbilang hidup sehari2 secara ‘ekslusif’, artinya pergaulan mereka cenderung masih ‘terbatas’. Sebetulnya semua suku di sumatera punya kebiasaan yg sama saja, tp karena penduduk bali tidak seberapa banyak, jd muncul kesan seperti ini. Perkampungan warga Bali disini juga sangat khas, dr sisi bentuk rumah saja, penuh dgn ukir2an khas Bali, ditambah ada tempat peribadatan di setiap rumah. Secara tidak langsung, faktor perbedaan agama juga turut jd pemicu, sekalipun disini umumnya tidak ada konflik yg didorong benturan keagamaan.

Berbeda dgn suku jawa, org Bali memiliki karakter yg lebih ‘berani’, mereka tidak menampakkan sikap tunduk dihadapan penduduk asli, ini yg membuat penduduk asli tidak menyukai warga Bali. Sikap warga asli yg tidak menyukai warga Bali ini ibarat bom waktu, yg sewaktu2 siap meledak, apapun pemicunya. Terkadang masalahnya sepele saja, perkelahian satu dua org, atau ada warga asli yg melakukan pencurian di perkampungan di Bali, tertangkap (dan biasanya dikeroyok hingga mati), lalu berita itupun menyebar dan identitas kesukuan atau desanya turut disebutkan dlm setiap perbincangan, kemudian perseteruan menjalar menjadi konflik antar desa, org suku Bali akan meminta Back up dr desa Bali lain, demikian pula warga suku asli yg dr segi jumlah tentu jauh lebih banyak. Tidak peduli dan tidak penting siapa yg salah dan siapa yg benar, yg penting semangat kesukuan. Dulu, misalnya waktu mudik kampung, sempat saya dan warga kampung jawa begadang semaleman, karena tersiar kabar ada 80 truk penduduk asli mau menyerbu perkampungan Bali yg letaknya tidak jauh dr domisili rumah sy, kami turut berjaga karena dlm situasi chaos khawatirnya si penyerang salah menyerbu rumah.

Jadi, ketika beberapa hari lalu diberitakan ada kerusuhan yg melibatkan warga Bali dan org asli Lampung, sy tidak heran, itu memang masalah klasik yg bersifat menahun. Rumit mencari jalan keluarnya. Persoalannya setiap suku memiliki prinsip, karakter dan kultur berbeda, jd klo ada pengamat yg menyatakan itu kelalaian pemerintah, mungkin tidak sepenuhnya salah, tp juga sebetulnya ngga begitu, karena pemicu konflik biasanya bukan sesuatu yg serius, lebih banyak disebabkan kasus2 insidentil dan pribadi. Org jawa lebih mudah diterima dimanapun karena kesan yg muncul adalah keramahan, pekerja keras, membaur dan tidak suka menyeret masalah pribadi atau keluarga tertentu menjadi isu kesukuan. Apalagi org suku sunda, org sunda memiliki karakter yg mirip suku jawa, bahkan karena sifatnya yg mudah menyesuaikan diri, biasanya diluar jawa suku sunda umumnya mandiri dan tidak hidup berkelompok. Mereka nyaman tinggal sendirian sekalipun tinggal bersama penduduk asli, penduduk jawa, bali dan suku2 lain.

Sampai detik ini sy atas kasus2 konflik yg melibatkan suku asli dan warga pendatang suku bali, sy ngga tau jalan keluarnya. Sy cuma bisa meraba apa akar masalahnya, tapi mencari solusi jelas bukan perkara gampang karena ini menyangkut perbedaan karakter dan cara pandang kesukuan. Butuh waktu lama untuk merubah kesalahan paradigma kesukuan, dan memang amat diperlukan peran pemerintah untuk memberikan banyak kesempatan bagi kedua suku ini untuk saling berinteraksi dan saling menjalin sosialisasi. Metodenya macam2, tp tdk bisa hanya bersifat program temporer, harus berkelanjutan terus menerus, secara teori mudah namun praktek dan konsistensinya yg sulit, apalagi kita tau bagaimana mentalitas dan kualitas birokrat kita dlm menghadapi masalah kemasyarakatan. Semoga saja segera ditemukan solusi terbaik.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 10 November 2012

1 komentar: