MENGENANG MASA LALU


Beberapa hari lalu, sy menemukan mp3 lagu koleksi Gus Dur di sebuah situs. Entah mengapa saat itu tiba2 sy merasa rindu mendengarkan suara Gus Dur. 2 lagu dengan kualitas rekaman yg kurang begitu bagus itu judulnya, Munajat dan Shalawat Burdah. Ada beberapa versi, namun semuanya terasa indah. Selama beberapa saat, saya terhanyut menikmati suara khas Gus Dur. Nuansanya syahdu bgt.

Selama ini, ada dua tokoh indonesia yg senantiasa sy rindukan kehadirannya, Pak Harto dan Gus Dur. Saya lahir dan tumbuh besar pada masa Orde Baru mencapai era keemasan. Zaman itu kehidupan berbangsa dan bernegara indonesia begitu tenang, damai dan penuh dgn aroma patriotisme. Jauh dr hiruk pikuk menjemukan seperti yg kita saksikan sekarang.

Medio Mei 1998 masa kejayaan orde Baru mencapai batas akhir. Pak Harto pun terpaksa lengser keprabon oleh gegap gempita demonstrasi mahasiswa yang menginginkannya turun. Nasib Pak Harto sontak berubah, dr seorang tokoh besar bergelar Bapak Pembangunan dan dianugerahi jenderal bintang lima menjd seorang yg diopinikan sebagai public enemy, raja koruptor, penjahat HAM, pemimpin otoriter dan sederet stempel buruk lain. Citra Pak Harto mencapai titik terendah. Seperti masyarakat lain masa itu, sebagai seorang remaja saya pun turut mengikuti berita di TV, sesekali membeli tabloid dan koran yg nyaris seluruhnya menjadikan pemberitaan negatif Pak Harto sebagai headline. Hal ini terjadi hingga beberapa tahun.

Namun kecintaan dan kesan positif sy tentang sosok Pak Harto tak pernah berubah. Beliau tetaplah pemimpin indonesia yg paling sy cintai terlepas dr benar atau tidaknya sgala tuduhan yg dialamatkan pada Pak Harto. Saya mengerti semestinya Pak Harto bisa turut dipersalahkan karena terkesan membiarkan pembunuhan tanpa proses hukum yg menimpa ratusan ribu pengurus dan simpatisan PKI. Sy paham Pak Harto boleh jd harus ikut bertanggungjawab atas kematian banyak org masa pemberlakuan DOM di Aceh dan invasi ke Timor Timur dgn menggerakan intelijen dan militer bersandi operasi "seroja", karena peristiwa itu merupakan kebijakan negara. Namun kita harus paham seluruh rangkaian ceritanya, situasi dan banyak faktor yg melatarbelakanginya. Sebab pemimpin sebelumnya, Bung Karno pun melakukan cara yg sama saat dimana2 bermunculan kegiatan separatis dan pemberontakan.

Pada saat yg sama, Pak Harto menampilkan sosok dirinya sebagai org jawa yg amat santun, kebapakan dgn senyum khasnya. Beliau bersikap bukan didasari motif pencitraan dan kemunafikan, tp karena begitulah karakter dan pembawaan Pak Harto. Bahkan, sejak menjd presiden Pak Harto menanggalkan sgala atribut kemiliteran, bertolak belakang dgn kebiasaan Bung Karno sbgai pemimpin dr sipil namun gemar mengenakan atribut militer. Pak Harto mampu membuat rakyat umumnya merasakan kehadiran figur pemimpin tertinggi bangsa sampai2 waktu itu kita sulit membayangkan apajadinya indonesia sepeninggal Pak Harto.

Pemimpin berikutnya yg sy rindukan adlah sosok KH. Abdurahman Wahid walau sy tak pernah merasa sbagai loyalis Gus Dur atau Gus Durian. Gus Dur adlah pemimpin dgn banyak cita rasa, selera humornya, pemikirannya yg brilyan dan sisi humanisme Gus Dur yg sulit sekali ditiru. Ia bisa berteman dgn siapa saja dgn beragam latar belakang, bahkan tanpa beban ia mau berteman dgn pemimpin Israel yg nyata2 negara paling dibenci umat islam. Dalam banyak hal sy setuju dgn pemikiran Gur Dur, namun dlm banyak hal lain sy berbeda pemikiran. Bukan soal benar dan salahnya pendapat, tp masalah kecocokan dan konsistensi antara pikiran, ucapan dan tindakan. Ketika Gus Dur melindungi keturunan PKI, para tionghoa dan pengikut Ahmadiyah itu karena beliau memang seorang Humanis dan pluralistik yg mencintai kemanusiaan dlm arti sebenarnya. Sy punya pikiran dan cara pandang berbeda krn sy bukanlah seorg humanis sekalipun kami sama dlm memandang bahwa aspek kemanusiaan harus diletakkan diatas kepentingan negara, diatas kepentingan suku bangsa. Dgn cara pandang kemanusiaan seperti itu, ketika Presiden Habibie membiarkan rakyat Timor Timur berpisah dr Indonesia, bagi sy itu merupakan kebijakan yg sepenuhnya benar. Terlepas dr keunikan dan sisi kontroversial dirinya, sosok Gus Dur adlah bagian dr masa lalu yg tetap sy kenang dan dirindukan.

Mengenang masa lalu adlah bagian dr sifat naluriah yg manusiawi. Namun kita harus ingat bahwa masa lalu adlah milik masa lalu itu sendiri, ia takkan hadir dua kali. Pernah ada seorg teman yg sama2 kuliah di jogja, lalu setelah lulus pulang ke daerah asal. Tiba2 ia merasa kehilangan banyak hal, para sobat karib, ngopi bareng, main ps bareng, futsalan, nonton bola dan sederet rutinitas yg menjadi sumber kebahagiaan lainnya. Sementara didaerah asal harus menghadapi problema baru yg tak mengenakkan, tak punya banyak temen, harus cari kerjaan, berkeluarga, bermasyarakat dan tuntutan lain. "Rindu kembali ke jogja." katanya. Sy pun pernah mengalami hal sama, namun sy berbeda menyikapinya. Bagi sy jogja adlah masa lalu penuh warna dan kenangan, klo pun sy memaksakan diri pergi kesana hanya didorong keinginan merasakan lg apa yg terjd dimasa lalu situasinya akan berbeda. Bahkan seandainya pun teman dan sahabat2 kita yg dulu masih tinggal disana. Semakin lama berpisah, boleh jd beberapa diantara mereka akan jd org yg berbeda. Kehangatan perlakuan, keakraban dan perasaan saling membutuhkan berkurang dgn sendirinya. Sehingga bila kita ingin bernostalgia, jgnlah karena ingin merasakan kebahagiaan yg sama seperti dimasa lalu..tp karena kita ingin merasakan kebahagian lain yg berbeda.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar