TENTARA CARI PERHATIAN

Apa dampak bagi masyarakat atas terjadinya konflik TNI Vs Polri? Ternyata dampaknya serius. Sejak peristiwa penembakan anggota Armed oleh oknum polisi, banyak pos2 penjagaan di daerah yg rawan aksi kriminal (perampasan sepeda motor) mulai jarang dijaga anggota polisi (mungkin khawatir jd sasaran balas dendam). Terlebih pasca penyerangan mapolres OKU, buktinya pagi harinya Mapolres diserang, malam harinya serombongan warga pulang dr pengajian digerandong (istilah tenar aksi curanmor). Tak tanggung2 10 motor sekaligus digasak. Bisa dibayangkan klo setiap motor ditumpangi 2 orang, maka setidaknya 20 orang dibuat tak berdaya dihadapan kawanan kriminal.

Secara psikologis dan moril, peristiwa penyerbuan Mapolres OKU menaikkan kepercayaan diri anggota TNI. Mereka kini jelas merasa lebih kuat dan lebih disegani, terutama oleh anggota polisi, setelah sejak era reformasi TNI seolah dikucilkan dan kehilangan banyak kewenangan. Sabtu kemarin, dlm peristiwa berdarah di Lapas Cebongan Sleman adlah peristiwa misterius yg sulit ditepiskan adanya keterlibatan oknum TNI. Para pejabat militer boleh2 saja membantah, tp aksi itu memiliki ciri yg sangat khas militer. Cepat, senyap dan terorganisir dgn baik. Mulai dr pemilihan waktu, pemakaian kendaraan, senjata dan kemampuan menghilangkan jejak lazimnya dilakukan oleh org2 terlatih dan terdidik. Hal ini berbeda misalnya dgn perampokan di Bank CINB cabang medan oleh gerombolan teroris yg terlatih menggunakan senjata, namun minim kecakapan intelijen. Buktinya, mereka alpa untuk mengamankan adanya perangkat CCTV, termasuk pula lalai  mendeteksi adanya org yg mampu memotret aksi mereka. Satu2nya kecerobohan pelaku penyerangan Lapas adlah jumlah muntahan peluru yg mencapai lebih dr 30 peluru. Klo cuma ingin membunuh, mestinya tdk sebanyak itu. Apalagi dlm jarak dekat, saya kira berondongan peluru itu lebih disebabkan luapan kemarahan dan emosi balas dendam yg membuncah. Artinya, pelaku bukanlah pembunuh bayaran atau sekedar org suruhan. Jika mereka tdk punya hubungan emosional secara pribadi, mereka juga tdk perlu sampai menganiaya petugas lapas. Jadi, saya tentu tidak bisa memastikan siapa pelakunya, namun dugaan saya tdk jauh2 dr dugaan kebanyakan org.

Penyerangan Mapolres OKU dan Mapolsek Martapura adlah perilaku salah kaprah dr sekelompok oknum, demikian pula pembunuhan keji di Lapas Sleman. Dua insiden ini melanggar hukum, dan jika kita menjunjung tinggi nilai2 hukum, semestinya penyelesaiannya lewat jalan hukum, disamping solusi lain.

Mengapa ada sekelompok tentara menjadi kalap dan cenderung membabi buta? Kita harus mengembalikan pada cara negara kita selama ini dlm memperlakukan tentara, terutama dr sisi peran dan kewenangan. Sebelum era reformasi, negara kita praktis banyak dikuasai tentara, terlebih di era pemerintahan Pak Harto. Sampai2 cita2 utama saya semasa kecil sebetulnya pengen jadi perwira militer. Kesannya, terlihat gagah dan berkuasa. Sayangnya, kecakapan fisik saya tdk menunjang kearah sana, sedari SMA cita2 itu memudar karena saya harus banyak menghitung peluang lolos masuk akademi militer, dan hitung2an akhir saya ternyata menyimpulkan peluang saya berat. Saya bukanlah tipe org yg gemar mencoba2 sesuatu, jd saya tak pernah menguji peruntungan dgn mencoba seleksi masuk militer. Tapi minat sy dgn dunia kemiliteran tetap awet hingga sekarang, saya senang membaca literatur tentang kemiliteran, setidaknya saya masih hafal jenjang kepangkatan di tiga angkatan TNI, mulai dari Prajurit dua (Prada) hingga jenjang kepangkatan jenderal.

Harus disadari bahwa negara sudah berlaku tdk fair dlm menempatkan posisi militer ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara pasca reformasi 1998. Memang kita trauma dgn dominasi militer dimasa lalu, tapi mengucilkan peran militer justru rentan menimbulkan situasi yg membahayakan. Secara teori, org yg terlatih dan terdidik selalu butuh penyaluran untuk mengaplikasikan kecakapannya. Org yg terlatih tdk pernah mempersiapkan dirinya untuk jd pengangguran atau sekedar menjadi alat pelengkap semata. Contoh di negara lain, Amerika Serikat misalnya. Sebagian besar personel militer negara adadaya itu boleh dibilang pernah merasakan terlibat di medan konflik, terutama di luar negeri. Padahal jarang2 ada negara lain yg menantang dan mengajak Amerika untuk berkelahi. Kita tahu sejak perang dunia, Amerika hobi melibatkan diri dlm berbagai medan pertempuran, melawan Jepang, Jerman, Italia, Vietnam, Philiphina, Irak, Afganistan dan terakhir di Libya. Motif utamanya, menunjukkan hegemoni, sumber daya alam, menguji coba teknologi militer, penjualan senjata, sampai menyalurkan kecakapan bertempur anggota militernya. Semakin elit suatu pasukan, semakin ahli seseorang secara kemiliteran, berpotensi membuat kekacauan di negara sendiri jika tidak disediakan ajang pelampiasan. Maka tak heran, jika Amerika suka menciptakan medan pertempuran di negara2 lain bagi pasukan militernya.

Negara kita tentu tak perlu meniru Amerika, karena untuk bertempur diperlukan biaya yg luar biasa besar, apalagi negara kita tak memiliki karakter dan watak penjajah. Itulah mengapa sekalipun negara kita luas wilayahnya, kita bukanlah termasuk diantara negara besar. Amerika, Jepang, Jerman, rusia dan kini China mewarisi karakter kuat bangsa penjajah, dan itulah modal utama untuk tumbuh menjadi negara besar yg diperhitungkan masyarakat internasional.

Yang perlu kita kelola hanyalah menyalurkan tentara2 kita ke jalan yg tepat bagi mereka dgn membagi secara tegas kewenangan. Sekarang eranya polisi dimana apa2 serba polisi. Urusan surat menyurat kendaraan didominasi polisi, pelanggaran lalu lintas diurus polisi, izin keramaian harus ke polisi, aksi terorisme diurus polisi, pokoknya serba polisi. Sementara tentara tiap hari kerjaannya cuma latihan dan latihan, tanpa tahu kapan praktek konkretnya. Konflik separatis di Poso, Aceh dan Papua semestinya menyangkut aspek pertahanan negara, namun karena pemerintah trauma dgn cerita DOM di masa lalu, makanya masalah keamanan tetap diserahkan ke polisi. Aksi2 terorisme dr sisi motif sebetulnya menyerang eksistensi dan kedaulatan negara, karena tujuan akhir kelompok ini memang mewujudkan Indonesia menjd negara Islam. Bukan sekedar masalah pelanggaran keamanan semata. Idealnya, pemberantasan terorisme itu menjd kewenangan militer, toh nyatanya akhir2 ini wajah Densus 88 Polri mengedepankan karakter militeristik ketimbang upaya penegakan hukum. Buktinya,  anggota Densus kini lebih suka menembak mati di tempat tersangka kasus terorisme ketimbang berusaha mengamankan tersangka hidup2. Kecenderungan ini bisa dimaklumi, karena Densus agaknya mulai mikir2, “kita nangkapnya susah2, dipengadilan dihukum ringan dan setelah lepas kambuh lagi, ya udah deh diberesin aja..”.

Menurut pendapat saya, memang akar permasalahan konflik TNI versus Polisi sbetulnya masalah pembagian jatah kewenangan yg dinilai kalangan militer kurang proporsional dan adil. Beberapa insiden terbaru sebenarnya baru tahap caper (cari perhatian) dan bisa berevolusi pd situasi penuh kerentanan jika presiden berikutnya berlatarbelakang sipil. Pemerintah dan anggota DPR mulai sekarang harus memikirkan benar formulasi kewenangan dan peran antara polisi dan militer, jika tdk ingin suatu hari kita dihadapkan pd kejutan2 yg pernah pula terjadi di masa lampau. Misalnya kudeta yg hingga hari ini masih merupakan fenomena tabu di negeri ini, suatu saat bisa saja menjadi hal yg biasa saja seperti yg beberapa kali terjadi di negara tetangga kita, Philipina.

Akhirnya, peristiwa sejarah selalu memberikan hikmah, pesan dan pelajaran berharga, bergantung bagaimana cara kita menyikapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar