PROVOKATOR


oleh Ainul Huda Afandi pada 22 Januari 2011 jam 12:11

Kita pasti sudah familiar dgn istilah "provokator". Sering kita kita dgn berita "si anu dituding jd provokator" atau "provokator kerusuhan tlah ditangkap." Dsb. Secara sederhana provokator dapat dimaknai sebagai 'penggerak' atau 'penghasut', konotasinya cenderung negatif, walau sebenarnya ngga slalu begitu.

Sy punya pengalaman dgn istilah ini, soalnya di masa lalu sy jg pernah didianggap sbagai 'provokator', sekalipun konteksnya sekedar canda biasa. Saat remaja, sy senang berorganisasi dan gemar mengambil peranan. Tp entah mengapa, adakalanya saya melibatkan diri pada hal2 yg berbau 'liar' dan ilegal. Seperti ketika SMA di metro, sewaktu ambalan pramuka kehilangan pembina, atas kepercayaan adik kelas, sy membantu menggerakkan kegiatan dgn status "pembantu pembina.", tentu saja tanpa SK dan agak berbau 'ilegal' karna siswa klas 3 udah ngga boleh berorganisasi agar lebih konsentrasi menghadapi ujian.

Tp jujur menyenangkan jg status "pembantu pembina", soalnya waktu mendampingi kemah, dihormati ama panitia yg klo ngga keliru dari menwa stain jurai siwo metro..(Dlm hati sy heran, apa mereka ngga penasaran ya, kok pembina salah satu sangga masih keliatan tampang abg..)

Begitu pula saat OSIS pembinanya non aktif, lg2 atas hubungan personal yg baik dgn adik2 kelas, saya ditunjuk dgn status "penasehat", yg slalu hadir disaat rapat2 pengurus OSIS. Lg2 tanpa SK (dan emang ngga penting, yg penting kan ide dan gagasan kita terlaksana).

Tentu apa yg sy lakukan, bukan karna ambisi atau sekedar cari nama, tp lebih soal kayak org bikin skripsi, ada masalah, lalu di rumuskan, lahirlah gagasan, dipilih sebagai solusi, selanjutnya dilaksanakan. Sekolah saya waktu itu sekolah kecil, dan kita yg bersekolah disitu merasakan segala kekurangannya.

Selain sekolah, sy jg mondok disebuah pesantren, salah satu yg terbesar dilampung. Disini saya jg sempat 'ngisruh'. Setelah dipercaya terpilih jd salah satu ketua wisma, muncul banyak program, banyak gagasan. Intinya, pengurus wisma 'tak kompori', "kalo kepengurusan wisma pengen efektif, kita harus meminta pembagian wewenang yg jelas antara pengurus wisma n pusat.."

Lalu mulailah program anti ghosob, denah kamar n anggotanya, buat 'AD/ART' wisma, termasuk merancang 'pengadilan komplek'. Tp beberapa waktu kemudian, muncul konflik antra semua pengurus wisma n pusat, ujung2nya (sy ngga setuju, tp kalah suara), kami bersepakat membekukan seluruh aktifitas pengurus wisma.

Gejala 'santri mbalelo' itu berlanjut ketika mondok di jogja, mulai jd provokator deklarasi DPS (Dewan Perwakilan Santri), gerakan menyatukan suara santri pas pilihan lurah, sampai terakhir pembentukan TPF (Tim Pencari Fakta), ketika ada salah satu santri dikeluarkan.

Pilihan bertindak seperti itu mau ngga mau menciptakan situasi 'konflik' dgn pihak berwenang. Tp itulah resiko dr gagasan yg dianggap menyimpang, slalu wajar bila ada benturan kepentingan atau perbedaan pendapat, tp saya ngga pernah menariknya menjd urusan pribadi. Di sisi lain, sy tetap sayang teman, hormat pd guru..(senajan tetep wae males n ndableg lakkon ngaji, ranking diniyahnya slalu papan bawah.)

Selepas dr pondok, masa2 jd provokator nyaris berakhir..provokatornya ganti soal ngajak ps-an sama bal2an (wkwkwk..)..klo diprovokasi sama yg beginian pasti ngga ada yg 'ngonduk'..

Akhir dr catatan ini, betapa mudah memprovokasi org lain..tp begitu susah menjd provokator yg baik pd diri sendiri..(makanya skarang ngga neko2 lagi hehe..), tp sejatinya dlm kehidupan kita, kita tetap butuh provokator, yg memprovokasi supaya kita lebih dekat Tuhan, lebih keras berusaha. Dalam skala negara kita mengenal, Bung Karno, Bung Tomo, Bung Amin Rais, Syafi'I Maafi, Din Syamsudin, semuanya adlh provokator, provokator bg tegaknya kemerdekaan, tegaknya kebenaran. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar