SUSAHNYA JADI PRESIDEN


oleh Ainul Huda Afandi pada 12 Januari 2011 jam 2:24

Aku ingin membuka catatan ini dgn satu kisah tentang seorang khalifah, khalifah terbaik bani umayyah dimasa lalu, namanya umar bin abdul aziz.

Atas wasiat khalifah sebelumnya umar bin abdul aziz diangkat menjadi khalifah, tp anehnya umar justru merasa enggan dan tdk suka dgn pelantikannya ini. Ia lalu mengumpulkan kaum muslimin dimasjid dan berniat membatalkan pembaiatan, serta meminta masyarakat bermusyawarah memilih khalifah baru. Namun, kaum muslimin keberatan dgn permintaan umar tsb, meminta beliau tetap bersedia menjadi khalifah.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak lama jadi pemimpin, hanya dua tahun lima bulan saja (karena beliau wafat diracun kerabat beliau sendiri dr bani umayyah), Namun masa kepemimpinan yg singkat ini membawa banyak perubahan, beliau hapuskan tradisi caci maki terhadap Ali bin Abi Thalib dan keluarganya dalam mimbar khutbah jum'at, memecat pejabat yg korup, meniadakan pegawai pribadi bagi khalifah, dan beragam prestasi lain yg amat cemerlang, sampai2 sejumlah pakar menyebut beliau amat layak menjadi bagian dr khulafa ar-rasyidin.

Keengganan umar bin abdul aziz menerima jabatan dan kekuasaan adalah situasi langka. Apalagi dizaman sekarang. Di masa kini, Org mau berbondong2 mencalonkan diri, jd lurah, bupati, presiden biarpun keluar duit miliaran. Segala cara akan dilakukan asal jd pemenang, termasuk sowan ke dukun, ke kiyai, manipulasi suara, sebar uang, tebar pesona. Klo masih kalah juga, layangkan gugatan pilkada ke MK, atau kirim pendemo bayaran ke KPU buat bikin huru-hara.

Itulah, karena dalam meraih jabatan terlalu banyak pengorbanan, makanya begitu jd penguasa gantian ia yg mengorbankan kepentingan banyak orang, gimana caranya biar cepet balik modal dan memetik keuntungan sebanyak2nya, gimana caranya mempertahankan jabatan selama2nya.

Akibat jabatan, banyak yg awalnya orang baik lambat laun sering mengambil sikap, tindakan dan kebijakan yg buruk.

Akan sulit bagi kita menemukan kembali sosok pemimpin seperti kakek buyut umar bin abdul aziz, yakni khalifah umar bin khattab yg rela menyamar ke pemukiman kumuh, karena ingin tahu bagaimana kehidupan riil sehari2 warganya.

Mungkin terlalu berlebihan bila berharap Presiden SBY bersedia menyamar kayak Umar bin khattab, tp ia kan punya banyak staf kepresidenan yg bisa diperdayakan. cobalah sesekali mereka ini meninggalkan land rover atau fortunernya, naiklah bus atau kereta ekonomi, liat2 ke pemukiman kumuh penduduk dipinggir kali, kalo misalnya takut dikenali (soalnya staf khusus presiden sekarang udah kayak selebriti coz sering nongol di tv), kan masih banyak org lain yang bisa dipercayai.

Apa sebab mengapa tokoh seperti umar bin abdul aziz, begitu pula umar bin khattab awalnya keberatan, enggan sekali menerima jabatan kepemimpinan.

Itu disebabkan keduanya sadar betul resiko dan beratnya mempertanggungjawabkan urusan kepemimpinan ini di akhirat kelak. Semakin besar negara, semakin ribet urusan akhiratnya (makanya kita harus kasihan ama pak SBY). Tiap prilaku korupsi, prostitusi, pornografi, perjudian, ada warga yg kelaparan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan di negeri ini, presiden turut bertanggungjawab di akhirat.

Makanya bukan main (dlm konteks agama) beratnya jd presiden indonesia, ngurusi sekian ratus juta jiwa (untung pak habibi ama gus Dur menjabatnya ngga lama).

Kalau pendekatannya agama, saya percaya org akan beribu kali mempertimbangkan berebut jabatan. Oleh karena itu, kalau pun pengen kekuasaan, raihlah yg ringan2 aja pertanggungjawabannya, kayak jadi ketua RT misalnya,..yah kalo masih ngebet jg pengen yg lebih tinggi mentoklah jd bupati aja.

Sebab, jangankan pertanggungjawaban yg terkait urusannya ama orang lain, yg diri sendiri aja ruwet dihadapan Tuhan.

Jangankan perbuatan maksiat, kegiatan ibadah kayak shalat dan berdo'a aja urusannya bisa berat. Contohnya, mengerjakan shalat tp pikirannya kemana2, itu sudah kategori pelecehan, tidak serius dan tidak sopan dalam menghadap Tuhan. Apalagi yg shalatnya sambil guyonan dan cepet2an.

Makanya kalau kita sekarang tetep jd orang2 biasa, disyukuri saja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar