REVOLUSI


oleh Ainul Huda Afandi pada 31 Januari 2011 jam 9:38
Pak Harto hari itu tengah berkunjung ke mesir, bertamu pada presiden Husni Mubarak kala datang kabar buruk dr tanah air. Gelombang demonstrasi mahasiswa bertambah massif dan muncul aksi2 penjarahan oleh massa. Pak Harto lalu memutuskan mempersingkat kunjungan, dan pulang ke indonesia. Selang beberapa hari kemudian di medio mei 1998 ia menyatakan berhenti dr jabatan presiden yg telah dikuasainya selama 32 tahun.

Jenderal Soeharto meraih kursi presiden buah dr revolusi 1965 yg menjatuhkan presiden Soekarno. Tapi revolusi pula (namun lebih sering disebut sbagai reformasi) yg memaksa beliau mengundurkan diri.

Kini, presiden Husni Mubarak diambang takdir yg sama, mungkin nasibnya bs lebih buruk, seperti nasib ben ali, presiden Tunisia atau marcos, presiden Filiphina yg harus mengasingkan diri dr tanah airnya. Smoga ia tak mengalami kesialan seperti yg menimpa Presiden Iraq, saddam Hussein yg ajalnya berakhir di tiang gantungan. Saddam boleh jd punya cerita berbeda soal kejatuhannya, diantaranya gara2 invasi Amerika. Namun agresi penaklukan iraq sejatinya takkan semudah itu bila rakyat iraq tegak berdiri dibelakang saddam.

Sekarang tergantung bagaimana respon Presiden Mubarak, semakin keras ia melawan kehendak rakyat, maka semakin keras dan kejam pula rakyat akan menghakiminya kelak.

Jabatan selalu membawa jebakan. Ketika pertama kali memegangnya, seseorang akan menganggapnya sbagai amanah, tp setelah berkali2 menjabat, mulailah ia terpengaruh pd obsesi2 pribadi. Keinginan mempertahankan kekuasaan selama2nya, serta menganggap dirinya adalah pemimpin bangsa yg sulit tergantikan. Ia akan merasa sebagai pemimpin terbaik dan utama, seakan2 tiada org lain yg lebih layak menjabat ketimbang dirinya.

Bangsa mesir harus belajar dr revolusi (reformasi) di indonesia tahun 1998 yg tidak sepenuhnya berhasil. 20 thunan bung karno jd presiden, 30-an thn Pak Harto jd penguasa, dari pengalaman masa lalu itulah kita belajar betapa berbahaya bila membiarkan seorang pemimpin negara terlalu lama berkuasa. Sekarang kita punya undang2 yg membatasi berapa lama seseorang diperbolehkan menduduki lg posisi yg sama.

Namun revolusi indonesia 1998 bukan tanpa cela, karena waktu itu kita lebih banyak terjebak pada semangat suksesi atau asal ganti presiden semata. Kita tak punya konsep yg rapi, tentang wajah indonesia seperti apa yg kita kehendaki pasca reformasi. Kita ingin memberangus KKN, tp tak terpikir menyodorkan dan memaksakan formula yg efektif tentang sistem pemberantasan KKN yg mestinya bs segera dijalankan. Kita ingin kesejahteraan yg merata, tp tak ada ide brilyan selain gagasan mentah soal otonomi belaka.

Bangsa kita dgn gerakan mahasiswa sbagai motornya tlah kehilangan momentum. Dengan mudah semangat dan cita2 reformasi lalu kita amanahkan pd partai politik, puluhan jumlahnya. Kita berharap produk partai di senayan, DPR akan lebih bs di berdayakan setelah sekian puluh thn dibiarkan memble selama masa orde baru.

Memang, banyak aktivis '98 DPR dan jabatan2 politik di pemerintahan. Tp, lagi2 jabatan adlah jebakan yg melenakan. Reformasi hanya mereka artikan sebagai mengganti org, mendepak org lain untuk dirinya sendiri, lalu tak banyak yg berubah. Pemerintahan era reformasi menggembar-gemborkan pertumbuhan ekonomi makro yg menuai prestasi, tp klo soal makro sih Orde baru jg pernah punya prestasi sama, hingga disebut2 salah satu calon 'macan asia'.

Apalah artinya prestasi ekonomi secara makro salah satu terbaik di dunia jika yg terjadi seperti kata Bang rhoma irama, "yg kaya makin kaya, yg miskin makin miskin". Harus diakui, memang tlah banyak org indonesia yg punya koleksi mobil lebih dr satu dgn merek berbeda, tp lebih banyak lg yg hidup pas2an, bahkan menjalani kehidupan "seng penting waton urip". Asal hari ini bs makan, sedang besok bs makan atau ngga biarlah nasib yg menentukan.

Kita ingin memberantas korupsi, tp dr dulu konsentrasi kita melulu cuma soal berapa ekor koruptor yg kita tangkap. . Padahal semakin banyak koruptor tertangkap sesungguhnya punya makna lain, berarti negara kita bertambah kotor. Kita tak pernah membenahi sistem pencegahannya, misalnya mencegah praktik permainan uang masuk CPNS, polisi, tentara atau pegawai negara lainnya. Padahal dr situlah bibit dan budaya korupsi bermula.

Seorang yg diterima sebagai aparat negara dgn cara kotor, maka besar kemungkinannya kotor pula ia dlm menjalankan tugasnya. Yg ada dipikiran dia, gimana bisa balik modal secepatnya, gimana bs menarik keuntungan sebesar2nya, gimana memanfaatkan kesempatan menyalahgunakan jabatan dan wewenang seluas2nya.

Karena konteks tipikal permasalahan yg serupa itulah, ada baiknya bangsa mesir belajar dr kasus indonesia. Mereka akan berhasil menjungkalkan Husni Mubarak. Mesir punya pengaruh besar di jazirah arab, revolusi di mesir akan menjadi inspirasi bagi warga negara timur tengah lainnya. Mungkin tak akan mudah ber-revolusi di arab saudi, kuwait, Uni emirat arab dan Dubai. Karna revolusi butuh pemicu yg kuat, biasanya aspek ekonomi n kesejahteraan. Tp satu hari nanti, kekuasaan yg bergantung pd individu tertentu akan runtuh (dan sebaiknya memang runtuh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar