BAKAT


Berbakat tidak selalu berujung pd karya hebat. Faktor penentu seberapa baik kualitas diri atau karya seseorang ditentukan oleh kesediaan melalui proses dan pengalaman. 

Leonel messi adalah salah satu maestro dalam olahraga sepak bola, ia pemain istimewa. Namun kehebatan Messi dalam bersepak bola tidak datang dengan sendirinya. Proses dan pengalamanlah yg berperan penting dalam membentuk dirinya sbagai pesepakbola terbaik saat ini. Messi kecil sudah menunjukkan bakatnya dalam mengolah si kulit bundar di argentina sana, lalu scouting klub Barcelona mencium bakat besar yg terpendam pada diri anak ini. 

Merajut mimpi menjadi pesepak bola buat Messi kecil bukan tanpa kendala, postur tubuhnya begitu mungil. Sebagai solusi, tim medis Barca lalu menyuntikkan hormon pertumbuhan yg memacu perkembangan messi hingga seperti yg kita lihat sosoknya sekarang. Memang, tetap saja terlihat mungil ditengah pemain2 eropa yg kebanyakan berpostur tinggi besar. Tp, kondisinya tentu jauh lebih baik ketimbang tanpa usaha medis. Leonel Messi beruntung berada di klub yg tepat untuknya. Klub yg mengutamakan keunggulan skill dan teknik ketimbang keunggulan fisik.

Menurut sejumlah ahli, pada dasarnya setiap manusia dikaruniai bakat masing. Tidak sedikit manusia yg bingung dan memilih menggelengkan kepala seandainya ada yg menanyakan bakatnya, "Aku biasa2 aja..ndak tau punya bakat ato ngga." Saya jg sebenarnya ngga terlalu yakin apakah tiap manusia sejak lahir tlah membawa bakat pada dirinya. Tp supaya agak mudeng dikit, coba kita lihat definisi "bakat". Bakat adalah kemampuan atau potensi diri yg unik dan istimewa. Dibilang unik dan istimewa karena tidak semua orang memilikinya.

Bakat memiliki tingkatan kualitas berbeda, ibarat bibit tanaman, ada bibit unggul dan bibit biasa. Perbedaannya terletak pada kemampuan mengembangkan bakat. Semakin bagus bakat seseorang, semakin mudah dan cepat pula ia mengembangkannya. Asal ada kemauan dan usaha. Sebab seistimewa apapun bakat seseorang kalau tidak menunjukkan usaha serius mengembangkan bakat tidak akan menghasilkan apa. Justru bisa jd orang2 yg mulanya punya bakat standar dan biasa, tp karena ulet dan tekun menghasilkan karya2 yg pantas dipuji.

Sebagai contoh sederhana, dikala kuliah di jogja selain berkawan dgn kawan sebaya, sy juga banyak berteman dgn rekan2 yg jauh lebih tua atau jauh lebih muda. Beberapa diantaranya bahkan termasuk kawan akrab. Saya mengenal beberapa teman sejak ia masih SMP atau SMA, sehingga paham betul bagaimana perkembangan si teman baik dr sisi kepribadian, psikologis maupun keilmuan. Misalnya dlm kemampuan menulis, masih saya ingat betul bagaimana bentuk tulisan2 si teman, dan tanpa bermaksud menyombongkan diri (secara subyektif) saya berani mengatakan kemampuan menulis saya di usia yg sama dgnnya lebih bagus dan lebih terlihat berbakat.

Waktu kemudian berjalan cepat, saat si teman beranjak dewasa dan semakin menemukan kematangan. Kini ketika sesekali menemukan tulisannya disatu media, sejujurnya saya akui kemampuan menulisnya telah meningkat melampaui kemampuan menulis saya. Jauh lebih enak dibaca, lebih runtut dan berbobot. Tulisan2 saya sekarang tak ada apa2nya dibandingkan tulisan2nya. Apa sebabnya ? Penyebabnya adalah perbedaan melalui proses dan pengalaman.

Satu2nya kebanggaan akan karya tulis saya terhenti bertahun2 silam, kala baru beberapa bulan menginjak bangku kuliah. Saat itu, masih menggunakan mesin ketik manual, satu tulisan pendek saya berhasil dimuat diharian terkemuka nasional. Tidak lama sesudahnya, ada beberapa tulisan yg beruntung berhasil dimuat diharian lokal jogja. Tp cuma sampai disitu. Sebatas semester satu. Menginjak semester dua dan seterusnya sampai akhirnya bisa tamat kuliah hingga sekarang, tak ada lagi karya tulis yg pantas dibanggakan. Kemampuan menulis saya praktis stagnan dan tak berkembang.

Sementara, sang teman memang memulai karya tulis diusia remaja dgn kualitas tulisan yg bolehlah dibilang "berantakan" (maaf). Tp berbekal kecerdasan, kutu buku dan proses pematangan intelektual, juga pengalaman hidup yg lebih matang...kemampuan menulisnya berkembang pesat. Bicara kecerdasan taruhlah relatif, bukanlah faktor penentu utama, namun hobi membaca, pengalaman berorganisasi, terlibat dalam kegiatan jurnalistik dan perjalanan hidup sehari2 memiliki peran penting dalam membentuk kemampuan menulis si kawan.

Belajar dr contoh diatas, akhirnya saya memahami bahwa bakat akan membantu seseorang mencapai level tertentu suatu karya, tp bukanlah faktor penentu keberhasilan. Fokus pada keinginan justru lebih baik hasilnya ketimbang sibuk memikirkan soal bakat. 

Sekarang kita ingin apa ? Misalnya kalau anda ingin makan hasil masakan sendiri, tak perlu lama2 berfikir ngga punya bakat memasak. Masaklah lalu cicipi hasilnya..berhubung anda tak punya bakat masak, memang hasil masakannya bakalan bisa di duga..ngga enak (klo ternyata enak kebetulan namanya hehe...). Klo masih terlalu asin atau malah hambar, biarlah..nikmati saja. Jangan lantas merasa kapok, lain kali coba lagi, dgn persiapan yg lebih baik, niscaya akan terasa peningkatan hasilnya.

Seringkali kita ingin sesuatu, tp tak menunjukkan usaha yg serius untuk mencapainya. Padahal kenyataan tak pernah peduli dgn keinginan. Kenyataan hanya peduli pada usaha dan proses yg dilakukan seseorang baik dilatarbelakangi keinginan atau tidak. Ingatlah, bahwa hidup ini tak punya belas kasihan..ia akan kejam pada siapapun yg tidak menghargai kehidupan.

oleh Ainul Huda Afandi pada 14 Maret 2011 pukul 16:58 ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar