ILMU JIWA


Bagi suami-istri, segera memperoleh momongan adalah dambaan. Anak adalah penghias keluarga, penerus keturunan dan tempat bersandar kala usia telah beranjak senja. Sebuah tekanan batin yg hebat, jika pasangan suami istri bertahun2 membina magligai rumah tangga namun tak jua dikarunia putra, serasa hatinya penuh tanda tanya, tidak layakkah ia menerima amanah mengasuh seorang anak manusia.

Disekitar rumah saya, situasi ini dialami pula oleh sepasang suami-istri. Secara fisik keduanya berparas cukup cakep, dan secara ekonomi keluarga td salah satu yg terkaya di desa kami. Menerima kenyataan hidup seperti ini, keduanya punya respon yg bagus. Hingga kini, kala usia keduanya mulai menua, mereka tak berpisah. Tak ada berita keretakan rumah tangga, atau hasrat kuat menikah lagi misalnya. Justru aspek spiritualnya yg kian menguat, misalnya dgn sukarela menghibahkan sementara hartanya hampir 1 M untuk pembangunan masjid. Hidup memang untuk merespon apapun pemberian Tuhan, baik musibah ataupun anugerah.

Sementara, bersyukurlah bila ada pasangan suami-istri yg dikaruniai amanah putra dan putri. Sangat disayangkan ada kasus2 pembuangan bayi oleh orang tua, apapun sebab dan alasannya. Mengasuh anak banyak tantangan dan sisi menariknya, walaupun banyak orang tua cenderung melihat kebutuhan anak dr sisi lahirahnya, sudah ma'em belum, pipis atau ngga.

Ketika ada bayi rewel, reaksi para ibu biasanya menyodorkan susu atau membuka pampersnya. Padahal bayi rewel banyak penyebabnya, bisa kepanasan, kedinginan, kesepian,terlalu bising, gatal, ingin sentuhan, dipeluk dan diajak bicara.. Untuk mengetahui situasi2 ini orang tua perlu memiliki wawasan tentang psikologi anak.

Bayi ibarat buku dengan lembaran2 kosong. Bagaimana cerita lembaran2 pertama dlm kehidupannya tergantung cara orang tua membantu mengisinya. Pada orang tua-lah anak belajar, bagaimana teknik dan etika makan, bagaimana pipis, membuka pakaian, berkenalan dgn org lain, mengenal rasa takut.

Yah, rasa takutpun dipelajari bayi dari manusia dewasa. Ketika ia mulai belajar melangkah, dipinggir jalan raya tak ada yang ia takutkan, ia tak takut dgn motor lewat, mobil, apapun, justru ia berusaha mendekat..lalu orang tua mengingat, mengajari anak untuk takut dan waspada pada bahaya. Mungkin ketakutan alamiah pd diri bayi hanyalah takut kehilangan cinta, kasih sayang dan perhatian, dr orang2 terdekatnya.

Bayi hingga balita menyukai rutinitas, makan yg itu2 aja, jadwal tidur, waktunya bermain dgn ayah atau ibu, semua terekam erat dlm memorinya. Ketika rutinitas itu tiba2 berubah, ia pun terganggu dan menjd rewel. Termasuk pula kebiasaan jajan, ini 'bom waktu' buat orang tua sebenarnya.

Ketika balita rewel, seringkali solusi para ibu mengajaknya ke warung beli jajan atau membelikan mainan. Akhirnya anak belajar, oh..biar dapat jajan dan mainan, caranya dgn nangis dan rewel. Ketika anak ditinggal pergi orang tua, dan kembali selalu membawa makanan, setelah dua-tiga kali itu akan jd kebiasaan yg akhirnya merepotkan jg. Jd, hati2 dgn naluri "rutinitas" bayi dan balita.

Dari semua yg saya ceritakan diatas, intinya bukan bermaksud menggurui atau berbagi pengalaman, tidak. Tapi, saya memahami betapa pentingnya seseorang menguasai ilmu psikologi. Kalau orang tua cukup memahami psikologi anak, itu akan banyak membantu terbentuknya kepribadian, paradigma dan pola-gaya hidup anak hingga tumbuh dewasa.

Kalau para guru cukup memahami psikologi siswa, niscaya bs membantu siswa yg kesulitan menyerap materi pelajaran dan meredam tingkat kenakalan siswa. Jika presiden menguasai ilmu psikologi masyarakat dgn baik, ia bs lebih baik memandang segala dinamika yg terjadi dimasyarakat. Klo rakyat memahami ilmu psikologi kepemimpinan, mereka tak akan terlalu mudah protes dan memberontak.

Sayangnya ilmu psikologi tidak diajarkan disekolah. Bahkan tidak jg dibeberapa fakultas diperguruan tinggi. Saya kira, ilmu psikologi (dgn menekankan pendalaman praktis) ada baiknya mulai dikenalkan, mungkin mulai ditingkatan SMP.

Sejauh yg saya tau, sistem pendidikan nasional ditingkat sekolah memang masih jauh dr harapan, contoh sederhana : Mengapa waktu 12 tahun sekolah tidak cukup mampu membuat banyak siswa mengerti pelajaran matematika, buktinya banyak yg menjadikannya 'momok' yg pantas tdk disukai. Ini problem, karena untuk menguasai satu ilmu dgn kajian tingkat dasar, mestinya tdk perlu waktu selama itu. Nah, mungkin lain waktu kita bs membahasnya.

Akhir dr catatan ini, sebagai manusia adakalanya kita justru tdk mengenal betul sosok manusia. Kita perlu belajar lebih banyak tentang spisies ini, karena manusialah makhluk paling rumit dijagat semesta. Semua demi masa depan kehidupan umat manusia yg lebih baik.

oleh Ainul Huda Afandi pada 28 Februari 2011 jam 13:10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar