Sepak bola pada
dasarnya hanyalah sebuah permainan dan olahraga. Namun dunia modern
mengubahnya menjadi lebih kompleks. Kini disejumlah negara, sepak bola telah
menjadi industri yang menghasilkan banyak uang. Tak heran bila banyak orang
dengan kepentingan dan motif masing-masing melibatkan diri dalam urusan sepak
bola. Lihat saja, Malcom Glazer yang mati-matian membeli Manchester United
sekalipun dengan duit utangan, dan barangkali ia sendiri sebetulnya bukanlah
penikmat sepak bola. Adapula yang melibatkan diri karena motif politik dan
popularitas. Klo yang beginian, ngga usah jauh-jauh dinegara kita banyak
contohnya. Sudah hal yang jamak jika ketua perserikatan sepak bola diindonesia
banyak dijabat oleh para pejabat daerah. Sebagai pejabat publik yang terpilih
atas sokongan partai, akibatnya banyak pula kebijakan dalam mengurusi klub yang
adakalanya berbau politis. Tak Cuma dikalangan klub, PSSI era Nurdin Halid
punya kental dengan corak warna kuning (baca : golkar). Tinggal lihat saja
susunan kepengurusan dan perhatikan background politik masing2 pengurusnya.
Makanya ngga heran saat turnamen AFF beberapa bulan silam, timnas indonesia
sempat diajak sowan sama Nurdin ke ketua umum Golkar.
Kini setelah rezim
Nurdin Halid ditumbangkan nuansa pergulatan politik masih juga terasa. Memang
tersamar, tapi perang kepentingan yang melanda PSSI tak benar-benar murni
karena kepentingan sepak bola nasional semata. Pemerintah mengambil langkah
berani dengan membekukan kepengurusan Nurdin Halid (dan anehnya tindakan
intervensi pemerintah yang merupakan pelanggaran berat statuta FIFA ini tidak
berujung pada sanksi, mungkin karena pejabat FIFA memang masih memandang populasi,
potensi dan aset dunia sepak bola indonesia yang merupakan olahraga paling
populer, sekalipun secara prestasi timnas indonesia tak ada apa2nya dikancah
internasional).
Seperti layaknya
tatkala melengserkan orde baru dan menggelorakan era reformasi, proses suksesi
dikepengurusan PSSI ternyata lebih rumit dari yang dibayangkan sebelumnya.
Situasi rumit ini timbul yang disebabkan oleh hadirnya dua tokoh berpengaruh
yang aktifitasnya memunculkan kontroversi, Jenderal George Toisutta dan Arifin
Panigoro. Toisutta memicu polemik terkait jabatannya dimiliter dan diantara
bawahannya berperan aktif mempengaruhi bahkan mengintimidasi pemilik suara,
walaupun dilarangnya Toisutta ikut kongres oleh FIFA masih bisa diperdebatkan.
Sementara terlarangnya Arifin Panigoro lebih mudah dimengerti karena ia telah
‘salah strategi’ ketika menggelar LPI, kompetisi yang tidak berafiliasi dgn
PSSI dan oleh karena itu dianggap ilegal oleh FIFA.
Ketika kelompok 78
begitu ngotot dan memaksakan diri, saya yakin persoalan mendasarnya bukan
karena pertimbangan dua orang inilah yang terbaik, tapi karena terpilihnya dua
orang ini akan lebih menguntungkan bagi kepentingan pribadi orang2 78. Saya
kira tak jauh2 dari urusan uang dan peran kekuasaan ditubuh PSSI. Bila sudah
begini, maka sebenarnya yang terjadi bukanlah reformasi, cuma rezim yang
digantikan oleh rezim yang lain. Pemerintah harus berinisiatif mengendalikan
situasi, misalnya dengan menetralisir Toisutta dan Arifin Panigoro. Presiden
bisa saja memerintahkan panglima TNI tidak mengizinkan Toisutta melibatkan diri
dalam urusan kongres PSSI. Sementara untuk Arifin Panigoro cukup didekati dan
dicapai kesepakatan (misalnya kesepakatan melegalkan dan memasukkan LPI dibawah
naungan PSSI), saya percaya Panigoro bisa dilobi, apabila i’tikad dia memang
baik, toh berjuang untuk sepak bola nasional tak harus menjadi ketua PSSI.
oleh Ainul Huda Afandi pada 04
Juni 2011 jam 12:47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar