Mungkin federasi sepak bola dunia, FIFA pun sama puyengnya dengan
kita melihat kisruh berkepanjangan yang melanda federasi sepak bola
Indonesia. Dulu public sepak bola meributkan kepemimpinan Nurdin Halid
yg seakan2 ingin jd pemimpin PSSI seumur hidup, sementara rakyat sudah
bosan dgn prestasi timnas yg dr tahun ke tahun tetap saja melempem.
Peringkat dunianya pun bikin malu. Ngga sebanding dengan jumlah penduduk
dan fanatisme masyarakat Indonesia yg benar-benar menggilai olahraga
sepak bola.
Sekarang, si Nurdin Halid sudah jd masa
lalu. Ia bukan siapa2 lagi di PSSI, toh nyatanya persoalan tidak lantas
selesai. Masalah utama jelas, karena aksi menggulingkan Nurdin memang
tdk murni karena demi kepentingan sepak bola nasional, ada factor
politis, factor kekuasaan, factor ekonomi dan factor mementingkan
kelompok sendiri. Ketidaksamaan visi inilah yg lantas membuka arena
pertempuran baru, antara kepengurusan PSSI dengan sponsor utama Arifin
Panigoro, melawan klub2 yang merasa jengah dgn sepak terjang pengurus
PSSI baru yang mengesankan membabi buta.
Bahkan tanda2
konflik itu sudah dimulai sejak kepengurusan baru terbentuk. Saat secara
sepihak PSSI memecat pelatih lama timnas. Pecat-memecat memang hak
pengurus PSSI, tp aksi bersih2 itu selaiknya dikelola secara elegan,
tidak buru2 yang lantas memantik kontroversi. Pelatih Alfred Riedle
memang gagal mengantarkan timnas menjuarai piala AFF, tapi posisi runner
up semestinya bukan posisi buruk. Apalagi sepanjang kejuaraan
berlangsung Timnas bermain dgn baik, mereka hanya kalah satu kali dan
sayangnya itu terjadi di babak final. Butuh alas an logis dan cara yg
santun untuk memberhentikan seseorang yg telah banyak berjasa membantu
timnas kita. Jabatan pelatih memang sebuah pekerjaan yg durasi waktunya
sangat ditentukan oleh kinerja. Tapi mestinya, jangan pernah membuat
seseorang menyesali keputusannya dulu terlibat dlm persepakbolaan
Indonesia.
Cara tidak elok berikutnya adalah merombak
sistem liga. Apa salah ISL hingga perlu dibubarkan dan diganti dgn IPL
atau LPI. Org dgn mudah lantas bias menebak LPI adalah bentuk pemaksaan
Arifin Panigoro yg tidak mau proyek LPI-nya berhenti ditengah jalan.
Apalagi ia gagal secara formal memimpin PSSI. ISL sudah terlanjur
popular, citranya juga relatif membaik..dan tidak bias dlm sekejab semua
itu dihancurkan oleh kepentingan dgn cara pandang sempit. Sikap ngawur
PSSI semakin bertambah terkait soal pembagian dana sponsor, lalu
memasukkan klub2 ke liga tertinggi tanpa melewati proses berjenjang.
Contohnya persebaya..tiba2 masuk liga tertinggi hanya dgn pertimbangan
salah satu ikon sepak bola nasional. Mungkin benar ikon, tapi ikon buruk
mengingat track record persebaya dgn manajemen dan boneknya yg terkenal
jd 'trouble maker' dlm persepakbolaan nasional. Bahkan klo pun track
record persebaya baik sekalipun tidak berarti boleh seenaknya masuk
kasta tertinggi kecuali itu hasil keputusan kongres.
Soal
persebaya sy ngga heran, karena di PSSI ada saleh mukadar yg dianggap
berjasa besar bagi proses penggulingan rezim Nurdin Halid. Saya masih
ingat orang ini sebenarnya sudah berkali2 dihukum PSSI lama terkait
posisinya di manajemen persebaya. Ia org bermasalah yg berwatak keras
dan terkesan ambisius.
Sekalipun masih didukung FIFA
dan pemerintah, tp kepengurusan PSSI sekarang sebenarnya sudah diambang
penjungkalan. Apa jadinya organisasi yg sudah tidak didengarkan
anggotanya. Peringatan tinggal peringatan dan sanksi tinggallah sanksi,
ngga bakal dianggap. Tanpa sokongan klub2, kepengurusan sekarang tinggal
menunggu saat pelengseran dlm wujud KLB. Ini situasi memprihatinkan
bagi kita public sepak bola, semua pihak harus mau berkompromi sebelum
sama2 hancur. Klo Indonesia sampai dibanned sama FIFA, maka sepak bola
kita harus mulai bangkit dr NOL, jangan Tanya lagi soal peringkat dunia
(berhubung poin pertandingan internasional kita tak ada tambahan)..kita
sudah pasti semakin turun jauh, mungkin saja bersebelahan dgn Timor
Leste.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar