MENGHADAP TUHAN


Suatu waktu tidak lama setelah tamat SMA, saya pernah 'tersesat' meninggalkan kebiasaan mengikuti shalat jamaah di masjid dan memilih shalat sendirian. Saat itu, sy masih tinggal di pesantren, dimana shalat berjamaah adalah keharusan menurut aturan pesantren. Tiap kali terdengar suara adzan, keamanan pesantren akan rutin keliling ke semua kamar mengingatkan santri untuk segera ke masjid, "Ayo..ayo, gek ndang mangkat nek masjid, kang!". Aktifitas pengurus keamanan ini disini disebut dgn istilah "oprak-oprak".

Seperti halnya santri lain, saya pun menuju ke masjid, tp bukan mengarah ke lantai satu, tempat dilangsungkannya shalat berjamaah, namun diam2 saya naik ke lantai 2 masjid. Biasanya, sebelum jamaah dilantai bawah dimulai, saya yg berada diatas mendahului mengerjakan shalat sendirian. Entah berapa lama kebiasaan ini saya lakukan, saya tak ingat lagi.

Mungkin saja anda akan bertanya dgn nada mencela ? Bukankah berjamaah itu sangat dianjurkan agama, mengapa saya memutuskan tak melakukan ibadah yg dijanjikan pahalanya 27 derajad dan justru memilih shalat sendiri yg hanya bernilai pahala 1 derajad?

Pertimbangan dan alasannya bukan soal pahala, bukan pula bermaksud mengabaikan anjuran berjamaah. Yg terpikirkan waktu itu adalah keinginan menikmati kenyamanan dan kekhusukan di dlm shalat. Entah mengapa, bila ikut berjamaah, kerap kali terganggu hal2 yg membuyarkan konsentrasi. Sehingga, muncul perasaan bersalah, karena saya merasa ikut berjamaah tidak murni karena "Lillahi ta'ala". Situasi ini menggelisahkan saya, dan sebab itulah sy memilih shalat sendiri. Kondisi ini berjalan beberapa lama, sampai kemudian tiba saat saya tersadar, bahwa agama akan rusak jika semua muslim berpikiran sama dgn saya dlm hal shalat sendirian tadi.

Tp itulah pencarian kebenaran. Kadang terlihat konyol, aneh dan cenderung egois. Seperti jg ada teman yg klo wudhu lamaa sekali, dlm satu waktu bs berulang2, seakan2 ada yg kurang dan salah dlm wudhu pertama, kedua dan berikutnya. Teman2 lain mengkritiknya sebagai 'peragu' dan 'boros air'. Tp, sy memilih memakluminya, apa yg ia lakukan adalah proses 'pencarian kebenaran' dlm dirinya sendiri.

Shalat adalah ibadah istimewa yg perintah kewajiban shalat fardhu pun diturunkan dgn cara yg istimewa pula, ditempat yg amat mulia (melalui peristiwa isra' mi'raj). Sehingga, memang sepatutnya bila kita harus memandang shalat lebih dr rutinitas harian. Shalat adalah kesempatan yg dikhususkan bagi manusia ntuk menghadap Tuhan-nya.

Shalat adalah refleksi bagian tanggungjawab keimanan. Etika sebagai makhluk yg telah di-ada-kan setelah sebelumnya tiada. Begitu kita memutuskan melakukan shalat, sertamerta mendapat tanggungjawab lain, yakni sopan santun dlm menghadap Tuhan.

Kalau kita menghadap gubernur atau presiden, pasti sebelumnya kita dilanda kegelisahan menantikan saat itu tiba, berpakaian serapi2nya, sewangi2nya, lalu kita menuju ke arah presiden dgn hati deg2an, gugup, keringat dingin keluar, bersalaman dgn tubuh merendah, klo perlu cium tangan, dan menjaga betul intonasi suara dan pilihan kata2 yg kita sampaikan. Pertanyaannya, mengapa pada manusia kita merasa takut, namun ketakutan dan sgala kecemasan itu justru tak muncul ketika kita mengerjakan shalat, di hadapan Tuhan, pencipta dan penguasa alam semesta?

Mengapa kita sulit meniru imam Ali Zainal Abidin yg tiapkali selesai berwudhu untuk mengerjakan shalat, tubuhnya tampak gemetar ketakutan, tatkala hal ini ditanyakan pada beliau, imam Ali Zainal abidin menjawab : "Tak tahukah engkau dgn Siapa aku akan menghadap ?"

Agama sarat dgn penafsiran, termasuk dlm hal shalat berjamaah, misalnya kewajiban membaca fatihah, ada yg harus karena jd rukun shalat, tp ada pula yg memandang sunnah karena sudah diwakili oleh imam.

Sejujurnya saya org awam dlm hal ilmu agama, sehingga terhadap berbagai interpretasi yg beragam dlm agama, sy lebih suka memilih berdasarkan rasio, analogi dan substansi. Shalat berjamaah itu analoginya seperti rombongan org yg hendak menghadap pejabat, ketua rombongan adlh imam. Dalam menghadap tentunya ada juru bicaranya, dlm hal ini imam. Sebab, klo semua bicara sendiri, trus yg mau mendengarkan siapa ? Ini bagian dr sopan santun.

Saya kira begitulah kira2 analoginya. Jd, ketika imam membaca secara keras (jahr), makmum harus diam, sekalipun ia belum sempat baca fatihah. Apakah shalatnya tetap sah? Sah..la wong ada penanggungjawabnya kok. Siapa ? Imam. Apakah shalat kita diterima oleh Allah ? Itu baru masalah lain. Sebab sah tidaknya shalat patokannya adlah lahiriah. Asal memenuhi syarat rukun dan tidak melakukan hal2 yg membatalkan shalat, maka shalatnya sah menurut hukum. Tp apakah shalatnya diterima atau tidak, itu ada kaitannya dgn aspek ruhaniah atau yg kasat mata, seperti gerak pikiran dan hati kita.

Shalat merupakan bagian dari etika makhluk, sehingga penilaiannya bergantung apakah kita melanggar 'kode etik shalat' atau ngga. Misalnya ketika mulut membaca "Allahu Akbar", apa yg sedang terpikirkan, apa yg sedang bersuara dlm hati. Begitu seterusnya. Ada tuntutan konsistensi, konsentrasi, harmoni dan komitmen. Betapa ngga sopannya kita dihadapan Tuhan, bila disaat shalat membayangkan pacar, kepikiran makanan, urusan pekerjaan, fesbukan, bbm-an, apalagi sambil nahan kentut.

Akhir dr catatan ini, saya tidak bermaksud menggurui siapapun, tujuan utama menulis catatan ini lebih ditujukan pada diri saya sendiri. Semoga Allah menyempurnakan dan menerima shalat-shalat kita.

oleh Ainul Huda Afandi pada 21 Februari 2011 jam 0:56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar