Nyaris setiap tahun
Ujian Nasional (UN) selalu saja menyisakan kontroversi. Tahun ini berita heboh
datang dari Surabaya, saat terungkap berita terjadi skandal contekan massal
disebuah SD. Secara realita, kecurangan di negeri ini adalah hal yang lumrah,
baik di sekolah negeri dan atau swasta, di kota atau di pedalaman. Saya percaya
Alifah jujur ketika mengadu pada ibunya, bahwa ia disuruh guru memberi contekan
pada teman2nya disekolah sewaktu UN berlangsung. Saya bisa menerima ketika si
ibu kemudian melaporkan kejadian ini hingga terekspos media massa , kata si ibu pada si anak, “Lha, kok
enakmen koncomu Le..koe seng angel2 nggarap, kok liyane mung tinggal nyalin
wae..” mungkin begitu kira2 apa yg terpikirkan Siami, ibunya Aliyah. Namun,
saya juga bisa mengerti mengapa para orang tua marah pada ibu Aliyah, siapa yg
tak marah bila anaknya dituduh lulus sekolah dgn predikat “hasil contekan”.
Saya pun bisa memahami mengapa sekolah adakalanya terpaksa harus menempuh cara
curang, karena ini menyangkut kredibilitas para guru, citra dan nama baik
sekolah. Apa yg bisa kita bayangkan jika satu sekolah seluruh atau sebagian
besar peserta UN-nya tak lulus. Bisa diperkirakan eksistensi sekolah tersebut
mungkin tinggal hitungan tahun saja, kompleks persoalannya. Jangan dikira kisah
susahnya mencari murid baru seperti di film “Laskar Pelangi” itu Cuma ilusi,
itu sangat riil dan terjadi dibanyak daerah di tanah air.
Satu2nya hal yang
tidak bisa saya pahami adalah mengapa pemerintah masih mempertahankan sistem UN
sebagai acuan standardisasi produk pendidikan. Saya tidak mengerti siapakah
yang diuntungkan oleh sistem Ujian Nasional ini. Apakah siswa ? orang tua, atau
guru ? tidak ada. Justru Ujian Nasional menjadi momok yang ‘mengerikan’. Ujian
Nasional secara substansi hanyalah merupakan kepentingan pemerintah yang ingin
dipandang berprestasi dengan memamerkan peningkatan angka2 normatif kualitas
pendidikan nasional. Padahal Ujian Nasional sarat dengan ketidakadilan, apakah
adil menguji siswa dengan metode generalisasi. Sungguh tidak fair bila soal
yang diujikan disekolah dengan fasilitas minim dan tenaga pengajar dengan kualitas
alakadarnya sama dengan soal yang diujikan disekolah yang fasilitasnya super
lengkap, dengan tenaga pengajar terdidik.
Bagi saya ujian
nasional bukanlah ide brilyan sebagai alat ukur kualitas lulusan sekolah.
Harusnya, ujian nasional itu tidak diberlakukan pada siswa, tapi pada guru dan
calon guru. Kita tidak bisa banyak berharap pada kualitas sistem pendidikan
nasional, selama sebagian guru di indonesia yang terlibat langsung
dalam kegiatan pendidikan bukanlah individu yang berkualitas dan profesional.
Bagaimana mampu mencetak siswa terpelajar jika gurunya tidak menguasai
teknologi pendidikan, media pembelajaran, minim penguasaan metode, pendekatan
dan strategi pengajaran. Salah siapa kalau begini problemnya ? lagi-lagi bukan
salah guru, tapi salah pemerintah yang ‘gagal’ menjamin ketersediaan guru
dengan standar kualitas yang memadai. Tapi itulah wajah dunia pendidikan indonesia
yang demikian buruk, yang tidak jauh2 dari kecurangan, manipulasi, mark up dan
korupsi dengan beragam modus dan cara. Lihat saja berbagai program yang
diluncurkan kemendiknas, selalu saja dibumbui dengan semangat cari “proyekan”
dan “mengais keuntungan”, misalnya bantuan buku, komputer, perpustakaan, alat
peraga, rehab sekolah, dan berbagai pengadaan barang lain, atas kondisi ini
kita cuma bisa mengelus dada dan bergumam, “astaghfirullah...”.
oleh Ainul Huda Afandi pada 22
Juni 2011 jam 13:00
yang paling tragis tuh di india bro . .
BalasHapus