SALING SANDERA


Kesulitan terbesar yang dihadapi pemerintah dalam memberantas korupsi diakibatkan adanya saling sandera yang melibatkan pejabat-pejabat pemerintahan dan orang2 berpengaruh diluar pemerintahan. Situasi pelik ini menjadi problem serius yang bukan saja tidak mudah dihadapi, tapi semakin lama juga kian berat dirasakan oleh Presiden SBY. Dalam sejumlah situasi dan kasus, SBY terlihat kesulitan untuk bersikap dan mengambil tindakan yang disebabkan oleh adanya saling ‘sandera’ ini. Seperti misalnya dalam hal penanganan lumpur lapindo dan penyelesaian persoalan ganti rugi kepada ribuan warga yang terkena dampak langsung tragedi kemanusiaan ini. Dalam hal ini, komitmen SBY sebagai kepala negara yang bertanggungjawab terhadap kondisi setiap warga negara ‘tersandera’ oleh keberadaan keluarga Bakrie dalam kasus ini. Sebagai salah seorang terkaya dan kebetulan pemimpin partai besar, Abu Rizal Bakrie punya ‘nilai tawar’ berlebih untuk mencegah pemerintah mengambil tindakan2 yg akan merugikan kepentingan keluarga Bakrie. Begitu pula dalam menyikapi kasus hukum BLBI, Bank Century, Antasari Azhar, Susno Duadji, Bibit-Chandra, dan yang teraktual kasus hukum yang tengah membelit politisi Demokrat Andi Nurpatti dan M. Nazarudin.

Dalam berbagai kesempatan, presiden SBY seringkali berapologi bahwa ia menjunjung tinggi supremasi hukum, ia tidak ingin mencampuri atau mengintervensi proses hukum. SBY memang betul, ia tidak boleh mengintervensi proses hukum baik yang masih ditahap penyelidikan, penyidikan atau di proses persidangan. Namun, sebagai presiden, SBY punya tanggungjawab moral dan hukum terhadap kemurnian jalannya hukum. Semestinya SBY paham, peradilan di indonesia cenderung masih korup, rentan sekali terjadi peradilan sesat atau pengadilan rekayasa. Atas konteks realitas seperti inilah SBY harus berani berpihak dan mempertaruhkan jabatannya, apakah ia berpihak pada hal2 normatif yang adakalanya disalahgunakan atau tetap setia pada kebenaran dan keadilan. Sangat tidak pantas seorang kepala negara bersikap apatis terhadap  problem adanya sejumlah orang tidak bersalah yang dihukum dan banyaknya orang bersalah yang bebas berkeliaran tanpa mampu tersentuh hukum.

Ditengah keheranan, ketidakmengertian, saya selalu mencoba memahami posisi sulit Presiden SBY. Dalam hidup ini berlaku pula hukum kausalitas, sebab akibat. Mengapa orang itu tumbuh menjadi orang tegas atau orang bimbang, pemberani atau penakut, pemenang atau pecundang, dan sebagainya. SBY tentu mengalami problem rumit yang dalam berbagai situasi membuatnya sungkan dan memilih berdiam diri pada waktu semestinya ia harus atau sebaiknya bertindak. SBY punya pengalaman hidup yang panjang, ia tentunya punya kenalan baik dengan banyak orang, semasa masih aktif di militer, saat jadi menteri maupun masa-masa merintis jalan menuju RI-1. Hingga kini saya masih percaya pada dasarnya SBY itu orang baik, tak Cuma SBY semua presiden Indonesia dimasa lalu pada dasarnya orang baik. Cuma ibarat pepatah “tak ada gading yang tak retak”, sebaik apapun orang, tentu masih memiliki sisi tidak baik (saya lebih sreg menyebut sisi kelemahan). Masa2 SBY berjuang menggapai tampuk kekuasaan inilah yang dikemudian hari telah menyandera SBY. Tuntutan keadaan dimasa kampanye, SBY dan partainya perlu dana besar, pendanaan berarti butuh sokongan pengusaha dan orang kaya. Tapi dizaman modern seperti ini tentu saja sulit mencari ketulusan dan gratisan, semua pada akhirnya menuntut konsesi dan balas budi. M. Nazarudin adalah contoh pengusaha yang lantas memiliki karir cemerlang di partai yang bermula dari sikap ‘dermawan’ dan kemurahannya dalam menebarkan uang. Soal jasa dan balas budi inilah diantara beban mental dan problem psikologis SBY yang kemudian membuat SBY tersandera untuk melakukan hal-hal yang semestinya

oleh Ainul Huda Afandi pada 04 Juni 2011 jam 12:45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar