MENGHAKIMI KEYAKINAN


Pernyataan Masdar F. Mas'udi, yg menyatakan "negara tak berhak menghakimi keyakinan" mengundang saya membuat catatan ini. Walaupun secara tradisi sy hidup dilingkungan NU, namun dlm beberapa hal saya memilih berbeda pendapat, termasuk (lagi2) soal ahmadiyah. Benarkah negara tak berwenang menghakimi keyakinan ?

Istilah menghakimi selalu bermuara pada anggapan benar atau salah. Dlm konteks ini, tak hanya negara, kita dlm kehidupan sehari2 pun sesungguhnya terbiasa menghakimi sesuatu. Merujuk kasus ahmadiyah, sejumlah intelektual NU memprotes rencana pembubaran ahmadiyah dgn berlandaskan pendapat bahwa siapa saja berhak memiliki satu keyakinan, bebas menganut kepercayaan dan agama apapun, sebab begitulah semangat negara demokrasi. Keyakinan bersifat abstrak, letaknya ada didalam hati dan pikiran, karenanya hanya Tuhan yg berhak menghakimi sesuatu yg abstrak.

Cara berfikir seperti ini rasional. Penuh nuansa toleransi dan menghargai. Namun, sebagai muslim sudut pandang pemikiran kita haruslah mengacu pada semangat patriotisme terhadap agama sendiri. Dalam beberapa situasi kita tak bisa bersikap netral, jd penonton dan tdk memihak.

Untuk kasus ahmadiyah (dan kasus lain sejenisnya) sebagai jawaban saya ingin mengajukan satu pertanyaan pengandaian. Seandainya Rosulullah, Nabi Muhammad hidup di zaman sekarang, apa yg akan beliau putuskan terhadap ahmadiyah ? Apakah Nabi akan menganggap penganut ahmadiyah sebagai bagian umat islam, apakah nabi Muhammad akan membiarkan ahmadiyah tetap ada sekalipun menyimpang keyakinannya dgn pertimbangan toleransi dan hak asasi, atau beliau akan memerangi ahmadiyah ?

Kalau alasan mempertahankan ahmadiyah atas dasar sebebasnya berkeyakinan, maka menurut pemahaman ini sama saja berarti dulu tidak sepatutnya nabi Muhammad memerintahkan penghancuran berhala2 disekitar ka'bah, tidak semestinya Abu Bakar memerintahkan peperangan menumpas musailamah al-kadzab cs., nabi2 palsu dan para pengikutnya.
Bukankah terserah kafir quraisy mempercayai berhala2 itu sebagai tuhan mereka. Kalau Nabi Muhammad berhak menyatakan dirinya Rosul, kenapa Musailamah tak berhak ? (Silahkan analogi ini dijawab oleh siapa saja yg membela ahmadiyah).

Sebenarnya, Jikalau keyakinan ajaran ahmadiyah sesuai dgn prinsip tauhid menurut apa yg kita yakini selama ini, bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, Mirza ghulam ahmad hanyalah seorang mujaddid (tokoh pembaharu), tentu tak ada lagi yg perlu diperdebatkan, tak penting lagi konflik dan permusuhan.

Dua kalimah syahadat adalah ikrar dan kesaksian, sebagai syarat kita berhak mengenakan atribut dan identitas keislaman. Siapapun yg tidak memenuhi ikrar dan kesaksian, tidak berhak menyandang predikat muslim. Inilah prinsip yg harus kita jaga.

Ketika saya memilih bergabung dgn pendapat mereka yg menghendaki pembubaran ahmadiyah, sejatinya itu bukan karena ada ancaman berbahaya bagi aqidah saya atau umumnya kaum muslimin di zaman sekarang. Di indonesia, ahmadiyah tak cukup laku, jumlah pengikutnya jg baru berkisar bilangan ribuan. Tp, kita harus memikirkan masa depan agama anak cucu kita, ahmadiyah bila dibiarkan berkembang nantinya akan jd kelompok yg bakal merepotkan.

Lihatlah FPI yg banyak dimusuhi, dulu dizaman orba segala bentuk ormas atau organisasi apapun berlabel agama yg ideologinya radikal diberangus, diredam habis2an dgn alasan menjaga stabilitas nasional. Sebab pemerintah orde baru sadar betul potensi konflik kelompok2 garis keras ini. Begitu orde baru jatuh, lalu takada lg pengekangan dan belenggu kebebasan, apa yg terjadi ? Kelompok2 radikal ini menjadi habitat subur bagi tumbuhnya terorisme, kerusuhan berlatar SARA, sweeping2 liar dan main hakim sendiri.

Kita benci situasi ini, namun anehnya kita berteriak lantang biarlah itu terjadi, ini era demokrasi, kita harus pluralistik, harus menjunjung hak asasi. Maka wajarlah realita ketika ada sekelompok org2 radikal menyerbu ahmadiyah karena merasa terganggu kenyamanan hak asasinya dlm beragama, sementara ahmadiyah membela diri merasa punya hak untuk menganut satu keyakinan berbeda. Antar hak asasi lalu terlibat dlm pertempuran, dan negara bingung bagaimana menengahinya.

Satu hal lagi, penyerangan atas warga ahmadiyah di pandeglang harus dilihat secara utuh. Penyerangan itu jelas tindakan pidana, melanggar hukum. Tp tidak lantas menjadi justifikasi bahwa setiap korban pastilah pihak yg benar. Penjahat yg terbunuh karena ditembak polisi itu jg menjadi korban pembunuhan, tp karena kejahatannya ia pantas dikorbankan.

Ahmadiyah menjadi korban karena mereka gagal menunjukkan identitas keislaman yg murni pada kita. Bila umat islam kita ibaratkan sebagai para penumpang bus, maka tak ada tempat duduk bagi mereka yg tak memegang tiket penumpang. Bila mereka yg sesat dan menyimpang, memakakan bertahan, silahkan saja berdiri. Namun jika keberadaan mereka malah membuat kita gerah dan tidak nyaman, tak ada pilihan lain, lebih baik terpaksa kita minta kondektur mengeluarkan mereka dr dalam bu
s.

oleh Ainul Huda Afandi pada 14 Februari 2011 jam 1:34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar