TERORIS


Tiga hari ini tema terorisme kembali meramaikan pemberitaan di media cetak, elektronik dan internet. Bukan sesuatu yg mengejutkan. Peluangnya memang sudah dibuka, karenanya wajar aksi2 terorisme dgn aneka ragam pola dan bentuknya sampai kapanpun akan tetap terjadi. Mengapa fenomena terorisme ini ibarat pribahasa "patah tumbuh hilang berganti" ?

Saya kira, kalau kita menengok kembali sejarah berdirinya negara indonesia, maka sedikit banyk kita akan mengerti bagaimana bibit terorisme ini berawal. Terutama terorisme yg berasal dr sekelompok org yg menganut ideologi islam wahabi, islam garis keras, islam radikal dan ekstrimis islam (apapun sebutannya).

Secara ideologi pelaku teroris dan gerakan yg menginginkan berdirinya negara islam punya kesamaan dan titik temu tujuan. Namun bentuk kegiatannya yg berbeda. Fenomena seperti ini terjadi di hampir seluruh negara berpenduduk muslim.

Diindonesia, cikal bakal terciptanya kelompok teroris dan kelompok pro negara islam memang dimulai dari ketidakpuasan pada konsep pancasila sebagai dasar negara. Ketidakpuasan tersebut lantas bermuara pada pecahnya pemberontakan2. Di era Bung Karno ada banyak pemberontakan yg melibatkan ekstrimis islam dan itulah sebabnya hubungan Bung Karno dgn kelompok islam merenggang. Bung Karno agak meragukan totalitas kesetiaan kelompok2 islam.

Diera Pak Harto, pendekatannya sedikit berbeda. Kelompok islam moderat dipelihara, tp kelompok islam radikal ditekan habis2an. Jangankan melakukan aksi terorisme atau makar, baru ngomong yg berbau anti pancasila saja, sudah langsung di 'gebuk' (Ngga heran org2 kayak abdullah sungkar dan Abu bakar ba'asir selama orba memilih mengungsi ke malaysia).

Sampai sekarang saya sangat memahami mengapa Pak Harto membelenggu demokrasi, mematikan komunis dengan cara yg kejam dan menyederhanakan politik (dgn hanya membiarkan 3 parpol saja). Ini indonesia bung, negara kepulauan terbesar di dunia. Sama sekali tidak mudah mengurus negara ini. .

Setelah dibelenggu selama puluhan tahun, sejak era reformasi tahun 1998, ekstrimis islam seolah menemukan ruang kebebasan untuk menumbuhkan apa yg ingin saya sebut sebagai 'habitat' terorisme. Habitat ini kian subur karena mereka menawarkan konsep keislaman yg secara logika terlihat lebih 'islami' ketimbang konsep keislaman yg disodorkan NU dan Muhammadiyah.

Problem pendidikan agama selama ini baik secara klasikal di sekolah, pengajian, pesantren maupun otodidak terlalu banyaknya kajian secara tekstual, sementara konteksnya tidak cukup dikuasai. Contoh sederhana misalnya soal jenggot dan model celana diatas mata kaki. Orang taunya itu sunnah nabi, dan diterima secara mentah2 tanpa memahami betul konteks dan situasinya. Begitu pula dalam hal jihad.

Akibatnya terjadi pemahaman yg kaku dan menjadi bahaya jika penguasaan agama yg tidak komrehensif lalu diterjemahkan dalam bentuk aksi kekerasan. Memang niatnya baik, tapi sayangnya tidak setiap niat baik dicerminkan dgn tindakan yg baik pula. Seperti kasus polisi yg kemarin harus kehilangan telapak tangan karena secara sembrono berinisiatif menjinakkan bom, tanpa punya basic keilmuan tentang bom yg memadai.

Harus diakui, bahwa kelompok islam radikal sebenarnya aset berharga buat islam, sebab mereka punya kecintaan dan kepedulian terhadap agama. Masalahnya soal benar-salah memahami inti ajaran islam. Klo didalam alam berfikir mereka ditanamkan pemikiran bahwa amerika itu dajjal, musuh islam pasti yg muncul adalah rasa permusuhan. Ketika sikap membenci itu mencapai puncak, yg terjadi adalah tindakan dan aksi. Realisasi dari kebencian selanjutnya tergantung pilihan strategi pemimpin kelompok, apakah menggunakan strategi kekerasan dgn menyerang kepentingan negara (seperti aksi2 pemboman oleh Noordin cs.), atau aktifitas yg sifatnya lokal dan insidentil dgn dalih amar ma'ruf nahi munkar, ada yg melalui buku, tabloid, dsbnya.

Terorisme adalah tantangan bagi negara demokrasi yang memiliki warga negara yg fanatik terhadap agama. Alam demokrasi juga kerapkali menyulitkan negara menerapkan kebijakan yg tepat untuk mengatasi dinamika kehidupan umat beragama. Di satu sisi kita ingin menghargai kebebasan berpendapat, berorganisasi dan menganut keyakinan, namun disisi lain terjadi konflik yg disebabkan persaingan antar kelompok aliran.



Saya kira cara damai yg bisa ditempuh pemerintah dalam mencegah adanya terorisme yg disebabkan radikalisme dalam beragama adalah mencoba menemukan, lalu mengakomodasi harapan2 rasional dr para teroris atau org2 yg baru taraf berada dlm 'habitat' teroris. Sebab, saya kira problem utamanya ngga melulu soal negara islam atau khilafah islamiyah, tapi substansinya masalah komitmen dan konsistensi pemerintah dlm mengakomodir syariat islam, terutama yg berkaitan "amar ma'ruf nahi munkar" (misalnya kayak prostitusi, perjudian, narkoba, minuman keras dan sebangsanya).

Akhirnya kembali pada cara berfikir pemimpin negeri ini dalam menangani aksi terorisme. Akankah penanganan melulu terfokus pada orang per orang atau mencoba mengontrol pergerakan ideologinya. Bila masih org perorang, misalnya sekedar menangkap tersangka, menghukum mati atau penjara, lalu setelah keluar dikasih pekerjaan saya tetap pesimis, sebab radikalisme beragama itu bersifat laten. Susah dihapus karena ini terkait wilayah perbedaan interpretasi dan paradigma keislaman. Basis massanya slalu tersedia, sehingga penanganan sebaiknya memang melalui pendekatan kontra ideologi. Butuh banyak variasi strategi dan keseriusan, smoga saja berhasil.

oleh Ainul Huda Afandi pada 17 Maret 2011 jam 21:56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar