HUKUM


Hukum secara bebas dapat dimaknai sebagai aturan berkehidupan. Hukum bagi manusia berperan menjaga nilai2 dan martabat kemanusiaan sekaligus pula berfungsi mempertahankan keberadaan manusia sendiri sebagai salah satu makhluk Tuhan. Mengabaikan hukum dapat berarti merendahkan harkat derajad kemanusiaan sebagai makhluk-Nya yg paling utama.

Ada dua jenis hukum yg selama ini kita kenal, satu hukum Tuhan yg termuat dlm ajaran agama, dan hukum buatan manusia yg bentuknya dapat berupa hukum negara, hukum internasional, hukum adat, dan hukum2 lainnya yg merupakan karya peradaban umat manusia. Tak ada hukum selain itu, tak ada yg disebut hukum rimba. Sebab hewan tidak mengenal hukum, mereka hanya punya nafsu, kebiasaan hidup, dan naluri pemenuhan kebutuhan biologis guna melangsungkan eksistensinya. Dalam dunia binatang tak ada namanya halal atau haram, yg ada hanyalah siklus dan mata rantai makanan.

Hukum Tuhan adalah payung dan referensi bagi semua hukum karya manusia. Hukum agama adalah imam, dan hukum manusia adalah makmum, begitulah semestinya. Kalaupun misalnya terdapat hukum buatan manusia yg tdk sejalan dgn hukum agama, tentu harus usaha memperbaikinya, bukan dgn cara2 kasar dan keras, sebab perjuangan menegakkan hukum agama perlu strategi dan sebisa mungkin dilakukan dgn jalan yg elegan.

Apalagi bila kondisi negara memiliki warga dgn tingkat keberagaman pemeluk agama seperti halnya indonesia. Jangan sampai kecintaan terhadap agama sendiri membawa kita pd benturan pada pemeluk agama lain. Sebab, betapapun besar perbedaan ajaran antar agama, tentu ada hal2 tertentu dimana masing2 agama memiliki titik temu.

Titik temu itu misalnya cara pandang agama terhadap tindakan kriminal. Mungkin setiap agama punya teknis berbeda dlm menghukum pelaku kejahatan. Itu bukanlah hal yg prinsip, karena yg terpenting tujuan hukuman tercapai, diantaranya dapat menimbulkan efek jera, terpenuhinya rasa aman dan keadilan dihati masyarakat.

Ketika hukum islam pada masa Rosulullah menetapkan hukum potong tangan bg pelaku pencurian, apakah prakteknya harus selamanya begitu ? Menurut saya tidak. Potong tangan adalah salah satu contoh bentuk hukuman yg bs dijatuhkan pd pelaku pencurian. Dalam memahami hukum islam janganlah beku dan kaku. Bahkan sekalipun landasannya sudah tertuang dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Kita harus benar2 cermat dalam memahami konteks, tujuan dan aspek situasinya.

Setiap ketentuan dalam hukum agama (islam) memiliki tujuan yg merujuk pd asas manfaat atau asas madharat. Kalau sesuatu diperintahkan untuk dilaksanakan berarti disebabkan asas manfaat, dan sebaliknya kalau dilarang berarti karena mengandung madhorot (hal2 yg merugikan), secara prinsip begitu saja.

Ada sejumlah org islam sengaja memelihara jenggot dan meyakini adanya larangan mencukur jenggot. Saya sudah membaca haditsnya. Tp pertanyaan saya untuk mereka, sudahkah anda mengetahui latar belakang munculnya hadits tersebut dan tolong beritahu saya aspek madhorot bila memotong jenggot atau secara genetik memang tak memiliki bulu jenggot ? Bila anda mampu menjawab pertanyaan saya yg kedua dgn argumentasi ilmiah, boleh jd segera sy akan membiarkan dagu sy berjenggot (walau mungkin akibatnya sedikit akan mengurangi kegantengan saya..haha..narsis.com)

Kembali pada persoalan bagaimana menyatukan hukum agama ke dalam hukum negara. Satu contoh, di indonesia prostitusi seolah dilegalisasi melalui adanya lokalisasi pelacuran. Konsep awalnya, didasari ketidakberdayaan pemerintah mengatasi praktek prostitusi dimana banyak PSK mangkal diberbagai tempat diperkotaan. Daripada dibiarkan liar dan mengganggu kenyamanan publik, lalu para penjaja seks ini diberikan tempat tersendiri yg disebut lokalisasi. Belakangan muncul pula wacana lokalisasi perjudian semacam yg ada di makau atau las vegas.

Dalam kasus2 seperti ini agama seakan dihilangkan perannya oleh negara. Ini jelas tidak benar. Fungsi negara bagi pemeluk agama adlah memberikan keamanan untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya, memberikan kemudahan dan fasilitas untuk kegiatan keagamaan, dan mengontrol kehidupan agamis bg pemeluk masing2 agama.

Jaminan keamanan untuk beribadah diindonesia secara umum kondusif, yg kadang memicu gesekan selain kasus2 penistaan juga pendirian rumah ibadah. Negara berkewajiban mengfasilitasi adanya rumah ibadah, namun harus atas asas proporsionalita. Klo warga kristen disuatu desa cuma 5 org, tidak proporsional nama bikin gereja. Kalau disuatu desa sudah ada masjid, ngga proporsional klo bikin masjid lg. Negara yg ngatur masalah kayak gini. Negara jg harus menjamin pemeluk agama taat pd agamanya. Di negara kayak indonesia, tokoh2 agama cuma mengatur konstruksi hukum agama, negara berperan membantu penegakannya. Saya misalkan, negara boleh2 saja (dan memang seharusnya menurut saya) mengeluarkan aturan : muslim laki2 dewasa yg ketahuan tidak mengerjakan shalat fardhu dihukum kerja sosial. Kristiani yg tidak pergi ke gereja hari minggu dihukum push up 50 kali. Ini misalnya. Sanksi itu masalah teknis, biarlah diurus oleh negara. Intinya dlm konteks keagamaan, tugas negara adlh mengakomodasi realisasi ajaran agama.

Saya menolak bila urusan agama dipisahkan dgn urusan negara. Idealnya berupa hubungan simbiosis mutualisme. Bila idealitas cara beragama ini benar2 tercipta diindonesia, sy yakin citra wajah indonesia agamis akan jd kenyataan. Negara kita akan jd barometer bagi dunia internasional tentang bagaimana mengelola kehidupan umat beragama.

oleh Ainul Huda Afandi pada 12 Februari 2011 jam 21:06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar