PESANTREN

Umumnya manusia mestilah punya keinginan, obsesi, cita2 dan pengharapan tentang masa depan hidupnya. Manusia memang harus berani menantang kehidupan dgn menyatakan keinginannya. Saya jg begitu. 

Dan, salah satu obsesi terbesar sy, ingin rasanya suatu saat membangun pesantren tanpa perlu jd kiyainya. Mendirikan pesantren sejauh yg terbayang dlm pikiran masihlah realistis untuk diwujudkan (benar takkan mudah, namun selalu mungkin), tp jadi seorang kiyai ? Rasanya sy cukup tahu diri, sy mengenal betul siapa diri saya, jd takkan ada kamus obsesi "jadi kiyai".

Obsesi biasanya tercipta dr realita yg pernah dialami. Saya pernah belajar di pesantren, jd wajar bila obsesi itu ada.

Satu hal dari banyak hal yg saya catat berdasar pengalaman mondok selama beberapa tahun, yakni humanisme pendidikan (pendidikan yg berorientasi pd manusia). Pada masa lampau, berabad2 silam dlm sejarah awal mula munculnya pesantren, pesantren tumbuh layaknya padepokan..atau asrama kecil tempat para santri menetap dlm pengawasan kiyai secara full time. Jumlah santri mungkin berkisar beberapa puluh org saja. Konsep asrama kecil menjd efektif karena santri tdk hanya diajar langsung oleh kiyai baik berupa ilmu agama, olahkanuragan, kebatinan, tp jg kepribadian dan akhlak. Kiyai mampu berperan maksimal sebagai guru sekaligus org tua bg para santrinya.

Di satu-dua pesantren, saya masih melihat ada kiyai yg menanggung makan dan biaya hidup santri sehari2, membiayai khitan bg santri yg masih kecil, menikahkan santri dan membiayai hajatan walimahannya, terutama bg santri yg latar belakang org tuaya lemah secara ekonomi.

Akibat minat masuk pesantren demikian tinggi, lalu muncullah pesantren2 besar dgn santri yg jumlahnya ribuan. Karena jumlah santri inilah, konsekuensinya harus ada formalisasi pendidikan. Madrasah Diniyah misalnya. Sebab tak mungkin lg bg kiyai mengajar sekian banyak org dlm satu kesempatan. Sejumlah ustad lantas dipercaya mewakili kiyai mengajar santri dlm jenjang tingkatan pndidikan tertentu.

Bila tadinya aturan yg berlaku adlah aturan lisan kiyai, yg terjd kemudian aturan lisan kiyai dijabarkan melalui aturan tertulis. Ini situasi wajar, dan memang bukan disini letak masalahnya.

Mengelola, mengasuh dan membina banyak org menyebabkan pesantren memerlukan sistem. Sistem itu lalu diterjemahkan dgn cara membentuk kepengurusan. Persoalannya, produk yg keluar dr sebuah sistem ini biasanya berupa prosedur baku. Rujukannya adalah apa yg tertuang diatas kertas.

Sementara yg kita hadapi adalah manusia dgn segala kompleksitas, kepribadian, tingkat kecerdasan, latar belakang org tua, pengalaman pergaulan, dan aspek lain yg membuat prosedur baku adakalanya menghasilkan situasi yg justru kontraproduktif bila sistem yg berlaku di pesantren tidak menyertainya dgn pendekatan kemanusiaan.

Okelah kita berikan contoh problematika kemanusiaan yg ada di seputar pesantren : kesulitan bersosialisasi, pacaran, perkelahian, pencurian, ghosob, kelainan seksual, penyakit kulit, kebersihan kamar, hobi nontn bola, main ps-an, kiriman uang org tua telat, org tua sakit-sakitan, sibuk berorganisasi diluar pesantren dan sederet permasalahan lain yg tdk otomatis selesai dgn cara menghadapkan santri bermasalah pada pihak keamanan, yg ujungnya adalah pemberian peringatan atau hukuman.

Itu persoalan yg mengarah pd santri bermasalah, klo problem santri yg punya potensi positif tidak kalah banyak, santri hobi bermusik, membuat karya ketrampilan tangan, berternak, bercocok tanam, karya tulis, penelitian, berorganisasi, dan sejumlah potensi lain yg membutuhkan perhatian. Intinya, semakin banyak santri, semakin banyak pula kompleksitas permasalahan yg dihadapi.

Saya berharap pesantren mampu menjaga identitas dan entitasnya sbagai lembaga pendidikan yg mengedepankan pendekatan kemanusiaan, memanusiakan manusia. Janganlah meniru tata kelola perguruan tinggi yg semakin lama mirip dunia industri.

Filosofi banyak kampus kan kayak gini : "Anda silahkan masuk kesini klo otak dan duitnya mampu, kami siapkan jdwal belajar dan dosen pengajar. klo anda tidak mencapai standar prestasi akademik yg kami tetapkan, anda akan kami keluarkan. Kami tidak mau tau apa yg terjadi dlm kehidupan anda diluar kampus. Bila anda berhasil lulus kuliah dgn IPK tertinggi, selamat..trimakasih sudah investasi disini, semoga ijazah yg kami berikan berguna bagi kesejahteraan hidup anda."

Begitulah, sisi kemanusiaan menjd hilang karena aturan yg terlalu menyederhanakan persoalan. Padahal, satu perguruan tinggi biasanya menampung ribuan mahasiswa dgn segala problematika kehidupannya masing2.

Sistem pendidikan yg bagus biasanya dilengkapi perangkat yg mampu menyerap dan memiliki informasi terkait kehidupan pribadi siswa\mahasiswa\santri yg dapat dimanfaatkan bg kepentingan pendidikan dan kependidikan. Cuma masalahnya penyelenggara pnddkan umumnya ngga mau ribet ngurusi soal beginian. Secara praktek jg bukan sesuatu yg susah2 amat, asal dimasukkan dlm sistem birokrasi pendidikan, dan memang diberdayakan. Niscaya kondisinya lebih memuaskan. Semuanya kembali pd rasa tanggungjawab.

Akhir dr catatan ini, pengalaman adalah pelajaran yg berharga. Suatu waktu bila dianugerahi kesempatan, sy ingin merealisasikan sgala obsesi membangun atau memperbaiki sebuah lembaga pendidikan yg lebih baik, lebih humanis. Kalau pun seandainya sy tak cukup memiliki banyak kesempatan selama hidup saya, saya menaruh harapan besar pd anda, untuk mewujudkannya..

oleh Ainul Huda Afandi pada 06 Februari 2011 jam 19:30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar