MEMPERLAKUKAN ALMARHUM


Hampir sekira seminggu lalu, tetangga sebelah rumah kami yg telah bertahun2 di dera penyakit stroke dibawa cek up ke Palembang, Akhir2 ini beliau memiliki keluhan mengalami imsomnia, malam2 sering mondar-mandir keluar masuk rumah, merasa gerah dan serasa gelisah. Entah mengapa, belakangan ini juga jika malam terdengar suara burung gagak melengking dan terbang berputar-putar. Dalam mitos orang jawa, burung gagak dianggap sebagai burung pembawa kabar kematian. Sempat terbetik pula dalam hati, jangan2 memang sudah waktunya buat Bapak itu. Kalaupun benar, sebagai orang yg mengenal beliau pribadi yg baik dan taat beribadah, kami berharap beliau diberikan anugerah khusnul khotimah. Namun syukurlah, selang berapa hari kemudian beliau pulang, tak ada hal serius yg perlu dikhawatirkan.

Bagi banyak orang, sakit berat yg menahun seakan menjadi cobaan yg terasa menyiksa, namun sesungguhnya bila kita bijaksana, maka kita bisa menarik hikmah, bahwa sakit juga merupakan karunia Tuhan sebagai pertanda dan peringatan. Semakin parah penyakit yg kita derita, berarti menurut kelaziman dekat pula kita dgn akhir hidup. Artinya, besar pula kesempatan untuk khusnul khotimah, tentu saja bila kita memanfaatkan saat2 akhir tersebut dgn respon yg semestinya. Banyak org yg telah meninggal cepat padahal dlm kondisi segar bugar, tak terduga sebelumnya, mungkin diakibatkan kecelakaan atau sebab lain. Karenanya, kita prihatin mendengar berita ada orang2 bunuh diri karena tak tahan lagi menanggung derita sakit berat menahun.

Sehari menjelang Bulan Ramadhan biasanya disejumlah daerah di Indonesia ada tradisi nyekar di makam keluarga dan leluhur. Umumnya untuk membersihkan makam, menabur bunga, menyiram air dan berdo’a. Hingga di kota2 besar seperti Jakarta ada situasi unik, yakni karena pemakaman ramai oleh para peziarah lalu disekitarnya muncul kegiatan ekonomi, berupa jual beli bunga dan jasa mengirimkan do’a2. Ini situasi aneh sebetulnya dalam konteks ajaran islam. Tradisi menabur bunga terjadi karena ada suatu riwayat di masa Rosulullah, bahwa beliau pernah melewati suatu pemah meletakkan dahan yg masih basah dan berdo’a supaya si ahli kubur diringankan dari siksa selama dahan pohon tersebut belum kering. Inilah yg lantas dipahami org2 awam bahwa menaruh tanaman bisa menolong ahli kubur, bahkan kadang tidak cukup menabur bunga2, Bahkan sekalian menanam tanaman di dekat makam dan mengguyur makam dgn air. Padahal ketika Nabi meletakkan dahan diatas makam, bukan dahan itu yg membuat si ahli kubur diringankan dari siksa kubur, tapi karena yg berdo’a adalah Rosulullah. Fenomena adanya penjual jasa berdo’a di pemakaman sebenarnya juga memprihatinkan. Penjual jasa berdo’a ini muncul akibat banyaknya peziarah yg tidak bisa membaca al-Qur’an dan do’a2 berbahasa arab. Padahal, Tuhan adalah Pencipta Bahasa...berdo'a make bahasa apa aja boleh.

Sebagai warga NU, ada tradisi dikalangan masyarakat NU yg agak kurang saya sepakati, yakni mengirimkan surat yasin pada org yg sudah meninggal, membaca sesuatu dan seluruh pahalanya agar disampaikan pada seseorang. Termasuk pula kebiasaan makan2 di rumah duka selama 7 hari. Tapi ya sudahlah kalau kegiatan ini dipandang sebagai ajang silaturahmi dan kesempatan bersedekah bagi keluarga yg ditinggalkan. Saya memahami bahwa al-Qur’an itu diturunkan buat umat islam yg masih hidup, kalau sudah meninggal tentu lain ceritanya. Begitu pula soal transfer pahala, saya memahami bahwa salah satu perkara yg kita boleh pelit terhadapnya adalah pahala. Kita tak pernah bisa memastikan amalan atau ibadah apa yg sudah kita kerjakan yg bernilai pahala di hadapan Tuhan. Secara normatif hukum islam memang dikenalkan bahwa mengerjakan shalat itu mengandung pahala, tapi pahala atau tidak erat kaitannya dgn diterima atau tidak ibadah yg kita lakukan, dan itu mutlak kekuasaan Tuhan. Yg bisa kita perbuat pada yg sudah meninggal baik kita keluarganya atau bukan, hanyalah berdo’a. Namanya juga permohonan, tentu untaian kalimat yg kita baca harus jelas dan relevan dgn maksud dan tujuan yg diharapkan. Ini sekedar otokritik, boleh sepaham, klo ngga gak pa2, kok.

Dalam konteks org mati, ada hadits yg menyebutkan bahwa aliran pahala seseorang akan terputus ketika ia meninggal kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yg senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya. Dari hadits tersebut mudah dipahami bahwa ketika seseorang selama hidup rajin bershadaqah dan wujud shadaqahnya itu bermanfaat bagi seseorang atau banyak orang, maka ia akan turut memperoleh pahalanya. Misalnya, ketika kita turut menyumbang pembangunan masjid, sarana publik, kegiatan social perorangan atau kelompok dan benar-benar digunakankan untuk kegiatan yg bermanfaat, selama masjid itu ramai dipakai beribadah untuk banyak org kita, maka kita turut memperoleh pahala tanpa mengurangi pahala yg diperoleh oleh org yg beribadah. Begitu pula dlm konteks ilmu bermanfaat dan anak sholeh.

Di Indonesia dan dibanyak Negara ada tradisi kalau meninggal lantas ada upacara penghormatan, menempatkannya di lokasi yg tinggi, didekat masjid, bahkan mendisain pemakaman seindah mungkin. Ini jelas bukan tradisi yg islami, karena makam dan pemakaman sejatinya bukan untuk kepentingan bagi si mati, tapi lebih merupakan adab dan etika bagi org yg masih hidup. Kalau bagi si mati sih mau dimakamkan di tanah makkah, di hutan, dilaut, sama saja, tak ada pengaruhnya. Menurut paradigma keislaman adanya pemakaman lebih bersifat untuk menghargai sisi manusiawi, mencegah pergunjingan buruk menyangkut jasad org yg telah meninggal dan sebagai media renungan, pelajaran dan peringatan bagi org2 yg ditinggalkan. Islam justru menganjurkan kesederhanaan dalam memperlakukan orang yg meninggal, dan karenanya saya tidak setuju dgn kenyataan bangunan disekitar Makam Rosulullah di Madinah yg konon dikelilingi dinding yang pintunya berlapiskan emas. Kita memang harus memuliakan Rosulullah, menjaganya tapi sebaiknya biarlah terlihat sederhana, agar menjadi contoh bagaimana membuat makam seorang muslim.

Saya maklum bahwa adakalanya dalam beragama ada orang yang terobsesi untuk membuat modifikasi kegiatan spiritual yg karena dilekatkan symbol atau bahasa agama lantas seakan2 itu menjadi bagian dr syariat agama. Misalnya berdo’a, boleh dgn banyak cara, boleh dgn memanfaatkan media dan perantara, sepanjang tidak keluar dari garis tuntunan agama.

oleh Ainul Huda Afandi pada 25 Juli 2011 pukul 15:37 ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar