Saya tertawa
ngakak melihat penampilan nazarudin malam ini di metro tv. Gaya nazar yg
memakai topi keliatan lucu, sama kocak dan culunnya gayus tambunan
waktu make wig pas nonton kejuaraan tenis internasional di bali. Tp saya
kira itu bagian dr upaya kamuflase nazarudin biar tidak dikenali oleh
orang2 disekitar tempat persembunyiannya, karena nazarudin pasti
sepenuhnya sadar resiko wawancara yang dipublikasikan di TV.
Bentuk
topi Nazarudin tidak begitu lazim di Indonesia, dan dr bentuk topi yang
dikenakannya saya percaya polisi sudah bias menebak di Negara mana
kira-kira DPO Interpol ini berada. Ada banyak informasi dan pembicaraan
yg bias diperoleh dr komunikasi antara Iwan Piliang dan Nazarudin via
fasilitas skipe yang hamper seluruhnya memuat tuduhan negative sebagai
buah perseteruannya dgn Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Pembicaraan keduanya berjalan serius, sekalipun Iwan lihai membuat
Nazarudin terlihat rileks dan mau lebih terbuka. Tp Nazarudin juga
tampaknya cukup pintar untuk membatasi informasi mana saja yg ingin dia
berikan. Saya yakin masyarakat Indonesia semakin bingung siapakah
sebenarnya yang bohong dan siapa yg bias dipercayai. Kita bingung karena
melihat kepribadian Anas selama ini yg terkesan kalem, cerdas dan punya
background religius. Akankah dunia politik mampu mengubah moralitas dan
integritas seseorang yang sebelumnya citranya demikian baik menjadi
seorang yg gemar menghalalkan segala cara. Sementara disisi lain, saya
juga ingin mempertimbangkan sisi rasionalitas informasi dan kemanusiaan
yg ada pada diri Nazarudin. Bagi saya masuk akal bila Nazarudin memilih
kabur keluar negeri bila pertaruhannya adalah nyawa dan keselamatan
pribadinya bila ia bersikukuh di dalam negeri. Ia selama ini punya
pengalaman banyak terlibat dalam urusan keuangan dalam kapasitasnya
sebagai bendahara Demokrat dan anggota DPR, ditengah Negara sekorup
Indonesia, saya percaya Nazarudin banyak tahu tentang praktek menyimpang
terkait pengelolaan uang Negara. Saya percaya hanya rasa sakit hati yg
amat mendalam yang bias membuat seseorang terlihat berapi-api dan
diliputi dendam membara. Boleh jadi ada kepentingan politik pihak
tertentu turut memanfaatkan Nazarudin, tp yg dominant adalah konflik
pribadinya dg anas. Dengan melakukan serangan bertubi2, baik terhadap
sejumlah petinggi democrat dan KPK, tak ada keuntungan apapun yg bias
diperoleh Nazarudin selain justru memperbanyak musuh dan semakin
membahayakan keamanan dirinya.
Skandal dan kasus-kasus
politik sesungguhnya merupakan ujian kejujuran, sayangnya tidak mudah
bagi seorang Nazarudin meyakinkan public bahwa kata-katanya bias
dipercayai. Kita tentu masih ingat perdebatan dirinya dengan Sekjen MK
di TV. Nazarudin menolak keras pengakuan Ja’far bahwa ia telah
menyerahkan sejumlah uang yg kemudian dikembalikan. Walaupun saya
memilih lebih percaya pada pernyataan Sekjen MK, tetap saja memunculkan
pertanyaan mengapa uang itu tidak dikembalikan langsung pada Nazarudin,
sama dengan pertanyaan mengapa surat putusan MK pada KPU tidak
diserahkan pada staf administrasi KPU, tetapi dititipkan pada Andi
Nurpati yang kemudian dipalsukan. Ini jelas sebuah keteledoran dan
disebabkan kebiasaan tidak tertib administrasi.
Situasi yg
terjadi saat ini adalah Nazarudin menyerang dan Anas membantah. Kedua
berlomba berusaha meyakinkan rakyat Indonesia untuk berpihak dan membela
masing-masing. Saya kira tak ada cara yg lebih efektif selain
menggunakan bahasa agama, misalnya dgn bersumpah “demi Allah”, seperti
yg pernah dilakukan pimpinan KPK, Yasin ketika ada rumor dirinya turut
menerima suap. Siapa yg berani menggunakan symbol keagamaan akan lebih
meyakinkan rakyat disbanding sibuk berapologi dan berlindung dibalik
bahasa hokum formal semacam “berdasarkan fakta, bukti, saksi” dan lain
sebagainya. Karena kita percaya, sejahat-jahatnya Nazarudin atau Anas
{kalaupun benar telah melakukan kejahatan terhadap Negara}, keduanya
mestinya takut dgn resiko adzab Tuhan bila bermain2 dgn bahasa agama.
Keberanian bersumpah, bahkan kalau perlu sanggup bila ditantang
melakukan ritual “sumpah pocong” misalnya, akan lebih dihargai oleh
masyarakat.
Saya juga melihat Anas tidak cukup piawai
dalam merespon rumor dan mengelola konflik dlm kasus ini, ia memilih
bersikap tenang, tidak terpancing dan menyerahkan nasibnya pada
penegakan hokum. Padahal ia mestinya sadar, lawan-lawan politik terbesar
democrat memiliki amunisi efektif berupa media massa. TV One telah
menjadi salah satu alat politik bagi Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakri
dan Metro TV menjadi alat politik Ketua Nasdem, Surya Paloh. Kedua media
ini sangat lihai memanfaatkan rumor dan isu. Tadinya saya berharap
kalau memang Anas Urbaningrum bersih dr prilaku politik kotor,
seyogyanya ketika skandal Nazarudin meledak dan turut menyeret namanya,
Anas menggelar konferensi pers, menjawab tuduhan secara komrehensif,
diperkuat dengan pemakaian bahasa Agama, misalnya dgn kalimat seperti
ini, “Demi Allah semua tuduhan Nazarudin atas diri saya tidak benar,
tidak sesuai kenyataan dan karena ini menyangkut masalah hokum, maka
setelah setelah ini, mohon maaf rekan2 pers, saya tidak bersedia lagi
menanggapi atau mengomentari apapun pertanyaan yg berhubungan dengan
tuduhan Nazarudin menyangkut diri saya, kecuali saya telah dinyatakan
sebagai tersangka oleh penegak hokum.” Keberanian untuk tegas, pintar
dalam menentukan substansi dan pilihan kata-kata akan menolong Anas
menjawab kemungkinan krisis kepercayaan public atas dirinya.
Komitmen
untuk berbuat sesuatu itu sebaiknya memang dipadukan dgn kemampuan
komunikasi massa itu amat penting disebuah Negara demokrasi, KPK
sekarang tengah disorot integritas dan independensinya karena kurang
menunjungkan pada rakyat adanya sebuah komitmen. Contoh, dlm kasus
century telah diputuskan rapat paripurna DPR adanya sejumlah pejabat
Negara yg ditengarai bersalah yg mengakibatkan timbulnya kerugian
keuangan Negara. Namun, begitu prosesnya diserahkan pada KPK, hingga
kini tidak jelas juntrungannya. Saya berpendapat, harusnya begitu
memeriksa kasus ini, petinggi KPK mengumumkan masa penyelidikan dan
pemeriksaan berdasarkan temuan Pansus DPR dan sumber informasi lain
misalnya selama 1 tahun. Setelah 1 tahun KPK harus mengumumkan dgn
bahasa dan argumentasi yg jelas hasilnya apakah ditemukan indikasi
pelanggaran sehingga proses hokum dilanjutkan atau tidak ada indikasi
kuat adanya pelanggaran hokum sehingga kasus century diputus clear,
tidak dilanjutkan sampai ditemukan alat bukti baru yg mencukupi. Sikap
seperti ini akan memuaskan masyarakat.
Contoh lain, kasus
korupsi Gayus Tambunan, Gayus dgn terbuka menyatakan bahwa uang yg
diperolehnya berasal dr seratus sekian perusahaan sebagai upah
memanipulasi pajak perusahaan2 itu. Keterangan gayus sudah jelas, ia
juga pegawai Negara yg berwenang, ada uang yg ditemukan serta dokumen2
negara yg bias dijadikan alat bukti. Tapi nyatanya tidak jelas juga
kelanjutan kasus ini, dan sayangnya lagi KPK tidak pernah mengumumkan
sampai dimana perkembangan proses hokum, karena kita tidak mendengar
adanya progress yg berbentuk agenda pemeriksaan pada perusahaan2 tadi.
Begitu pula dgn kasus travel cek yg membuat puluhan anggota dan mantan
anggota DPR dipenjara. Saya heran mengapa yg besar dibicarakan pelarian
Nunun Nurbaeti, sementara actor utama penyuapan yakni Miranda Gultom
justru masih bebas. Kalau KPK merasa kesulitan membuat sangkaan pada
Miranda misalnya karena ada factor missing link, mengapa mereka mudah
membuat surat dakwaan pada para penerima suap. Saya tidak hendak menaruh
kecurigaan pada KPK, tp bila mereka mampu mengkomunikasikan pada public
sebuah komitmen dgn argumentasi dan tindakan yg sewajarnya maka segala
prasangka miring terhadap KPK bias dihindari.
Masih banyak
hal yg perlu dibenahi kita semua masih berkesempatan melihat wujud
Indonesia sebagaimana yg kita idam-idamkan, baldatun thoyyibatun wa
robbun ghofurun.
oleh Ainul Huda Afandi pada 23 Juli 2011 pukul 0:09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar