GURU


Tiga siswa sebuah SMK di bogor dikeluarkan dr sekolah gara2 facebook. Ceritanya, salah satu siswa tersebut secara iseng memposting status yang berisi "sekolahku korupsi, loh.", satu siswa menulis komentar, "iya, hehee" dan siswa satunya lagi sekedar 'memberi jempol' like this. Respon reaktif yang berlebihan dr pihak sekolah tentu saja aneh, lha wong anaknya ngga nyebutin nama sekolah. Bisa saja to yang dimaksudkannya sekolah zaman ia masih SD. Klo ngga ngerasa korupsi kenapa harus 'kebakaran jenggot'.

Dunia pendidikan indonesia penuh masalah. Persoalan itu dimulai dr banyaknya guru yg tidak memenuhi standar profesional, aspek kesejahteraan guru, kondisi infrastuktur sekolah, manajemen sekolah, kualitas hasil pendidikan, hingga berbagai tindak penyimpangan.

Persoalan guru yg tidak memenuhi standar profesional bisa ditelusuri dr proses masuknya guru2 ini ke dalam lembaga pendidikan. 10 tahun lalu, banyak guru SD dan SMP (bahkan SMA) yang hanya lulusan SMA. Sekedar contoh, kepala SMP saya dulu (menurut cerita beliau) cuma tamatan pesantren dan kelas 5 SD.

Agar memudahkan menentukan kriteria standar basic pendidikan seorang guru, maka pemerintah mengeluarkan aturan guru diupayakan harus minimal lulusan D4 atau S1. Lalu kita lihat banyak guru kemudian rame2 kuliah, ada yg di universitas ternama, di Universitas Terbuka, namun kebanyakan memilih 'asal S1'. Tuntutan guru harus S1 ini selanjutnya membuka ruang bisnis bagi swasta untuk membangun perguruan tinggi yang membuka jurusan pendidikan. Sayangnya banyak kampus ini dikelola alakadarnya.

Saya kira anda sudah paham apa yg sy maksud alakadarnya. Sebagai contoh lagi, saya sempat bergumam kagum melihat titel pejabat di kabupaten saya, hampir seluruhnya bergelar MM. Bahkan guru SMA saya dulu, yg setau saya lulusan IAIN pun bergelar MM. Tp, setelah tau, di daerahku ada sekolah tinggi ekonomi, saya segera mafhum..oo,,ternyata..

Persoalan utama pendidikan di indonesia menurut saya adalah terlalu mudahnya pihak swasta mendirikan sekolah atau perguruan tinggi, tp sebagian diantaranya cuma modal nekat dan semangat. Muhammadiyah punya sekolah dan kampus, okelah ngga terlalu dipermasalahkan, soalnya sekolah dan kampus berlabel muhammadiyah umumnya punya infastruktur relatif baik.
NU punya jg sekolah dan perguruan tinggi. Tp sayangnya berani mendirikan tp kurang berani 'bertanggungjawab'. Ibaratnya seperti orang 'miskin' pengen punya anak selusin. Salah siapa ini ? Sala h pemerintah. Awalnya memang pemerintah membuka kesempatan bg swasta untuk membantu program penyediaan lembaga pendidikan formal. Tp, masalahnya tanpa kriteria ketat.

Mestinya kalo ada swasta, baik pribadi, yayasan atau ormas yg berniat membangun sekolah atau perguruan tinggi, dilihat dulu kesiapan dana (untuk pembangunan infrastruktur yg layak dan gaji tenaga pendidikan), potensi siswa di daerah itu dan standar kompetensi calon tenaga pengajar. Akhirnya, karena udah kadung berdiri, sekolah2 'alakadar'nya ini membebani anggaran negara. Klo ada sekolah yg cuma sanggup menggaji guru 300 ribuan, sekolah2 ini ngga pantas berdiri. Solusinya bagaimana ? Jadikan saja sekolah ini sbagai "kelas2 jauh" yg berafiliasi dgn sekolah2 yg telah mapan.

Proses penerimaan guru pun seyogyanya diperbaiki, tidak lagi diserahkan pd swasta atau pihak sekolah bersangkutan, tp melalui sistem perekrutan oleh negara. Untuk apa ? Untuk menjamin bahwa calon2 guru tersebut memang memenuhi standar profesional dan kompetensi seorang guru. Realitas yg terjadi kan sudah jd guru baru diupayakan untuk memenuhi standar, efeknya terlalu banyak terjadi kompromi dan kasus suap. Sementara, sistem perekrutan tenaga pengajar yg dikelola negara baru sebatas guru berstatus pegawai negeri.

Pemerintah pun salah kaprah dlm menata kualitas sebuah sekolah, diberikan bantuan lab. Komputer, tp bagaimana bs berfungsi jika banyak guru tidak bs mengoperasikan komputer. Diberikan dana perpustakaan, tp tidak dibarengi ketersediaan tenaga pustakawan. Akhirnya program2 tersebut memang rentan penyalahgunaan, klo sekolah mendapat bantuan misalnya 150 juta untuk rehab bangunan atau mendirikan perpustakaan, berapa riilnya dana yg diterima sekolah, mungkin 60 % saja yg sampai. Kemana sisanya ? Yah masuk kantong mafia2 di institusi pemerintah yg mengurusi pendidikan. Inilah kondisinya. Memang tidak seluruhnya begitu, hanya kasuistik. Cuma masalahnya kasuistiknya terlalu banyak.

Ini belum lagi klo kita bicara soal proses dan produk pendidikan disekolah dan perguruan tinggi. Untuk menata kembali sistem pendidikan, kita memang mesti merunut ke akar permasalahan. Pertama, standar kelayakan sekolah atau perguruan tinggi. Klo ada sekolah mencari murid susah payah, satu kelas isinya cuma berapa gelintir siswa ya kudu dikaji ulang eksistensinya. Kedua, bagi sekolah2 yg diusulkan untuk dibangun diliat dulu kesiapannya (siap dana infrastruktur dan dana operasional). Ketiga, sistem perekrutan guru, sebaiknya dibawah kendali negara. Keempat, mengontrol perguruan tinggi yang membuka fakultas pendidikan. Jangan sampai terjadi kesenjangan, ada perguruan tinggi yg punya sistem pendidikan calon guru yg bagus, untuk lulus pun mahasiswa harus meraihnya dgn susah payah, sementara disisi lain ada perguruan tinggi yg menyelenggarakan pendidikan semaunya dgn prinsip asal dapat duit dan meluluskan mahasiswa semudah2nya, sebanyak2nya.

Akhir catatan ini, semoga soal pendidikan ini mampu menjadi perhatian kita, bukan lagi untuk kepentingan kita, tp lebih untuk kepentingan generasi muda mendatang.

oleh Ainul Huda Afandi pada 04 Maret 2011 jam 11:07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar