Sabtu kemarin
(18/6), TKI terpidana kasus pembunuhan, Ruyati meninggal setelah harus
menjalani hukuman mati dgn cara dipancung di Arab Saudi. Mari coba kita
bayangkan bagaimana harapan indah Ruyati mengais rezeki di negeri orang
berakhir tragis. Ia berangkat ke tanah arab tahun 2008 dan dua tahun setelahnya
ia mengalami peristiwa pahit, ketika nasib membawa ruyäti pädä majíkan yäñg
memperlakukannya dgn buruk. Ia mengalami tekanan fisik dan psikis berulang2,
sampai suatu ketika saat kesabarannya melewati batas, bersatu dgn dendam dan
rasa sakit hati, ia pun melawan. Ruyati tlah membunuh majikan perempuan dgn
golok.
Ruyati pun di
tangkap dan dihadapkan ke muka pengadilan yg dgn segera menjatuhkan hukuman
qishas padanya, ia telah membunuh jiwa seseorang, dan karenanya hukum
memutuskan dirinya berhak untuk dibunuh. Saya tak tahu apakah ibu Ruyati
menyesal telah menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, menimbulkan duka mendalam
bagi keluarga yg ditinggalkan, tapi saya yakin ia menyesal telah berada pada
tempat dan waktu yg `salah`, tp begitulah namanya takdir. Hampir satu setengah
tahun lamanya ruyati hidup dalam penantian yg amat menyiksa dlm penjara, jauh
dari keluarga dan org2 yg menyayanginya.
Arab saudi masih
setia menggunakan metode hukuman mati menurut syariat islam tempo dulu. Sebagai
muslim, tentu saja saya sepakat pemberlakuan hukuman mati, hanya saja metode
dan teknisnya perlu dimodernisasi sehingga tidak terkesan `kejam`. Bagi saya,
syariat islam harus dilihat substansi, dan substansi hukuman mati dlm islam
adalah kematian bagi terhukum, soal teknisnya dgn cara apa diserahkan menurut
cara yg bisa diterima oleh masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan.
Contoh lain,
perbuatan mencuri dalam khazanah hukum islam dijatuhi hukum tangan, mengapa
potong tangan ? karena itu merupakan hukuman terberat yang sekaligus pula
menutup kemungkinan yang bersangkutan mengulangi perbuatannya. Namun, dimasa
sekarang dimana problematika kemanusiaan semakin kompleks, penyebab seseorang
melakukan tindak pidana juga semakin bervariasi, dan ada kecenderungan
peradaban global semakin sensitiv terhadap hukuman yang mengakibatkan bekas
fisik pasca hukuman dijatuhkan, maka metode hukuman boleh saja berubah
sepanjang substansinya sama, yakni adanya efek jera serta terciptanya keadilan
dan keamanan masyarakat.
Dalam kasus Ruyati,
respon masyarakat beragam, namun ada juga yg salah kaprah. Misalnya menuntut
Ruyati atau TKI yang dijatuhi hukuman mati dinegara lain harus bisa dibebaskan.
Kita harus ingat bahwa Arab Saudi menerapkan syariat islam, menolak sistem
hukum Arab Saudi sama halnya meragukan sistem hukum syariat islam itu sendiri
yang menjunjung tinggi rasa keadilan. Ruyati telah dinyatakan bersalah terbukti
membunuh seseorang dipengadilan. Sebagai bagian dari warga indonesia , yang kita inginkan adalah melihat
bahwa pemerintah indonesia
sebelumnya sudah berusaha, dgn berbagai cara memperoleh pintu maaf dari
keluarga korban yg menjadi syarat adanya pengampunan. Kalau toh, sudah
diusahakan tetap saja keluarga korban bersikukuh menolak, maka kita harus bisa
berlapang dada menerima konsekuensi perbuatan Ruyati yg telah melawan hukum.
Sehingga persoalan utamanya bukan terletak pada sistem hukum yg ada di Arab
Saudi, tapi benarkah pemerintah kita sudah bekerja secara maksimal atau lalai
memberi atensi pada kasus hukum yg membelit Ruyati ?
Ada indikasi kuat
bahwa ada kelalaian, sayangnya dikalangan pejabat negara kita belum mentradisi
budaya malu. Di berbagai negara yg lebih beradab, atas kasus seperti ini
pejabat terkait biasanya mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban
moral karena telah lalai yg berdampak fatal atas nasib salah satu warga negara.
Yg terjadi selama ini justru sibuk mencari apologi dan melempar kesalahan pada
pihak lain. Semoga mereka yg berkuasa dibukakan pintu hidayah seluas-luasnya.
oleh Ainul Huda Afandi pada 19
Juni 2011 jam 19:02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar