MENCIPTAKAN DEMOKRASI LEWAT PERANG


Akhirnya pemimpin Libya Kol. Moammar Khadafi menemui jalan paling terjal dalam 40 tahun kekuasaannya. Seperti halnya suratan takdir bagi tiap rezim, sekarang Khadafi dalam satu waktu harus menghadapi dua lawan sekaligus, kekuatan massa pendukung suksesi dan armada militer koalisi yang membawa mandat resolusi PBB.

Dua bulan lalu Kolonel Khadafi punya beberapa opsi dan pilihan untuk menyikapi arus gelombang demonstrasi yg menuntut dirinya mundur. Tp sekarang ia tak punya banyak pilihan lagi. Apapun keputusan yg akan ia ambil punya resiko masing2. Resiko terberat adlah mengalami nasib seperti dialami mantan presiden Iraq, Saddam Hussein yg dijatuhkan dr kursi kepresidenan akibat agresi USA dan Inggris, sempat diadili dan berakhir dengan hukuman mati di tiang gantungan.

Situasi sulit buat Khadafi bermula dr caranya merespon aksi unjuk rasa. Adalah fakta yg sulit diterima akal sehat, ketika aksi demonstrasi diatasi dengan mengerahkan pesawat2 tempur. Situasi kemudian semakin memburuk karena tentara banyak meninggalkan gudang2 senjata setelah posisinya terdesak oleh tekanan demonstran. Lalu terjadi pergeseran bentuk aksi, dari unjuk rasa biasa berubah menjadi pemberontakan dan perlawanan bersenjata. Ada dua kemungkinan soal gudang2 senjata, pertama memang ditinggal lari para tentara penjaga, kedua sengaja ditinggalkan oleh tentara pemerintah agar tentara punya alasan menindak demonstran dgn jalan kekerasan.

PBB selaku pemegang otoritas penjaga perdamaian dunia lantas merasa berkepentingan melibatkan diri mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap warga sipil pendukung suksesi. Lalu keluarlah resolusi PBB yg menjatuhkan sanksi larangan terbang diwilayah udara Libya. Melalui sanksi ini tujuan awalnya mencegah pesawat2 tempur libya memback up operasi darat merebut kembali Benghaji dari tangan demonstran-pemberontak.

Sanksi ini ditanggapi antusias oleh Amerika Serikat, Inggris, Italia, Perancis, Kanada dan sebagian negara2 arab. Tanpa banyak basa-basi pasukan koalisi bergerak mendekati Libya, dan segera menyerbu posisi pertahanan udara militer Libya bahkan termasuk rumah Khadafi. Amerika dan sekutunya memang punya dendam pribadi dgn Libya, karena dulu pernah melindungi warganya yg terlibat pemboman pesawat komersial milik Amerika.

Itulah makanya tak heran, jauh2 hari pasukan koalisi punya data intelijen yg akurat tentang dimana fasilitas vital milik Libya. Sudah lama mereka menunggu kesempatan ini, dan begitu tiba saatnya dengan semangat pasukan koalisi membombardir garis pertahanan dibibir pantai, termasuk Tripoli, ibukota Libya.

Serangan koalisi ini terbilang aneh, karena mandat PBB hanyalah menegakkan sanksi zona larangan terbang, mengapa yg terjadi lebih mirip agresi dan provokasi perang. Saya tidak pernah percaya ketulusan Amerika, dalam urusan menengahi konflik suatu negara. Mereka punya track record buruk di Vietnam, Somalia, Afganistan dan Iraq. Keterlibatan Amerika di Libya takkan jauh2 dr kepentingan demokrasi, minyak bumi dan bisnis persenjataan.

Amerika dgn dalih mandat PBB akan berusaha mengontrol proses perubahan politik di Libya dgn target pertama menggulingkan pemerintahan Khadafi, kedua, mereka berkepentingan dgn pasokan minyak mengingat Libya adalah salah satu penghasil minyak bumi terbesar di Afrika dan ketiga bisnis senjata. Amerika Serikat punya banyak perusahaan produsen senjata dan mereka membutuhkan konflik agar produksinya bisa meningkat. Setiap rudal dan bom yang diluncurkan oleh militer amerika pastilah disambut gembira oleh perusahaan senjata, karena itu berarti akan ada lagi proposal pengadaan senjata baru.

Saya kira terlalu berlebihan intervensi PBB di Libya (yg realisasinya dimotori oleh Amerika) lalu dikaitkan dgn sentimen agama. Namun begitu, apa yg terjadi di Libya, Iraq dan Palestina sekali lagi membuat kita mempertanyakan eksistensi dan peran Liga Arab. Parahnya, justru dua negara arab malah ikut2an mensupport pesawat tempur untuk digunakan menggempur Libya.

Kolonel Khadafi memang harus jatuh, tp saya tetap tidak suka dgn aksi militer koalisi yg agresif. Dalam sudut pandang ini agaknya kita harus kembali memahami tata cara mengintevensi urusan dlm negeri negara lain.

Saya ingin mengambil contoh, ada suami istri yg cekcok, lalu si suami karena terbawa emosi menampar istrinya, sebagai tetangga pantaskah kita tiba2 masuk ke rumahnya sekalipun dgn niat melerai. Saya sendiri memilih tidak, terkecuali si suami meninju muka istrinya. Mengapa ? Tamparan memang menyakitkan, namun umumnya tidak melukai, sedangkan tinju efeknya bisa membahayakan. Kalaupun memaksakan diri mengintervensi, dgn cara apa kita melerai ? Apakah sekedar melindungi si istri atau mengeroyok dan memukuli suami beramai2.

Itulah yg sekarang ini terjadi di Libya, Khadafi memang telah 'meninju' dan melukai sejumlah rakyatnya, tapi kedatangan pasukan koalisi untuk mengeroyok dan membuat babak belur Khadafi hasilnya cuma akan merugikan rakyat Libya secara keseluruhan. Mengapa ? Okelah kita andaikan Kolonel Khadafi jatuh dan oposisi mengambil alih kekuasaan, apakah konflik sertamerta selesai ? Tidak. Ada banyak pendukung Khadafi yang mencintainya dgn hati, termasuk mereka yg memperoleh kenikmatan selama Khadafi berkuasa. Mereka takkan ikhlas kehilangan segalanya, mereka akan melawan dan terus-menerus menciptakan chaos seperti di Iraq. Semakin banyak nyawa melayang akibat serangan pesawat tempur dan armada laut pasukan koalisi, maka semakin banyak pula dendam yg menuntut pembalasan.

oleh Ainul Huda Afandi pada 22 Maret 2011 jam 1:39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar