GAGALNYA HAK ANGKET PAJAK


Setelah hingar bingar rapat paripurna kasus Bank Century di DPR yg menghabiskan dana 5 milyar rupiah, malam ini kekuatan politik oposisi yg dimotori PDIP, Golkar dan PKS, takluk dgn ditolaknya usulan hak angket perpajakan melalui voting dgn selisih 2 suara saja, 266 berbanding 264 suara.
Saya tak tertarik membahas urgensi atau perlu-tidaknya hak angket pajak di DPR, sebab sebagai lembaga politik..apapun judul-nya ini cuma jd arena terbaru pertempuran antar kekuatan politik semata, tak lebih.

Ada dua penyebab kunci mengapa kelompok oposisi kalah kali ini, pertama ketidakhadiran 10 orang anggota DPR dr PDIP dgn beragam alasan, dan kedua perubahan sikap politik gerindra. Ketidaksolidan anggota Dewan dr PDIP memang patut dipertanyakan, karena dua org diantara yg tidak hadir adalah Taufik Kiemas dan Guruh Soekarno Putra yg notabene anggota istimewa klan dinasti politik Megawati.

Sejak lama Taufik Kiemas memang tidak cukup memiliki komitmen terhadap tugas dewan. Ia dlm beberapa periode keanggotaannya di dewan termasuk anggota dgn tingkat kehadiran rendah. Makanya tak heran, bagi Taufik DPR baginya sekedar panggung memajang nama. Berbekal pengaruh Megawati pula hasil kompromi dgn Partai Demokrat TK terpilih menjadi Ketua MPR. Jasa PD itulah barangkali yg membuat TK setengah hati dlm memposisikan diri berseberangan dgn pemerintahan SBY.

Dipihak lain, Gerindra mencoba mengambil keuntungan atas meruncingnya hubungan koalisi antara PD dan Golkar-PKS. Ada kemungkinan merapatnya Gerindra sebagai langkah awal menyikapi rencana reshufle kabinet. Alasan yg dikemukakan gerindra membelot dr sikap politik oposisi, karena belajar dr hak angket century, saat itu gerindra merasa tdk mendapatkan bargain atau tawaran menguntungkan apapun, sehingga kini mereka memilih lebih cerdik dlm mencoba memainkan manuver yg menguntungkan dr sisi kepentingan partai.

Dinamika koalisi yg dibangun Partai Demokrat dgn sejumlah partai memang aneh, terutama Golkar dan PKS. Secara konsensus ditingkat elit, mereka bergabung dlm koalisi, namun sepak terjang politisi Golkar dan PKS tak ubahnya kekuatan opisisi, selalu menyerang pemerintah. Tidak etis sebenarnya secara norma politik. Jikalau merasa terlalu banyak perbedaan yg prinsip seharusnya mereka keluar dan berdiri sebagai partai oposisi, ini lebih elok dan terhormat dlm konteks pencitraan dimata masyarakat. Bila dlm politik berlaku adagium, "tak ada teman yg abadi, yg ada hanyalah kepentingan semata.", maka nuansa koalisi partai2 tersebut saat ini sudah sedemikian kabur, tak begitu jelas siapa teman dan siapa lawan.

Situasi politik seperti ini membingungkan dan merepotkan Partai Demokrat. Disatu sisi mereka gerah dan muak, namun disisi lain mereka berhitung ulang jika melepaskan Golkar dan PKS dr koalisi. Mereka tengah menimbang2 resiko politiknya, mengingat sekarang posisi pemerintahan secara konstitusional lebih mudah dijatuhkan.

Diluar pergulatan politik partai, bagi kita rakyat biasa apa yg terjadi dalam dinamika org2 politik kadang sudah amat menjemukan dan menjijikkan. Nasib sekian ratus juta jiwa orang indonesia cuma jd bahan perdebatan dan pertarungan politik. Bukan rakyat yg tengah mereka bela, permainan politik itu lebih mereka tujukan untuk kepentingan anggota partai, terutama dilevel elit. Istilah "Rakyat" dipakai cuma sbagai alat justifikasi untuk menarik simpati dan pembenaran. Bagi saya, Tak ada lg partai yg tulus..tp terserah mereka-lah. Mungkin memang itu jalan rezekinya.

Diluar dinamika parpol yg wakil2nya disenayan sempat disebut Gus Dur sebagai taman kanak2, memang inilah buah reformasi dan demokrasi yg telah kita pilih sebagai jalan hidup bangsa. Dulu orde baru sengaja membatasi parpol cuma tiga, dgn pertimbangan agar tidak 'bising', berisik dan mudah dikendalikan. Lalu setelah reformasi kita memutuskan sistem politiknya di negara kita ialah multipartai, dan hasilnya seperti yg kita saksikan sekarang, mirip suasana pasar, ramai dan berisik.

Kita tak pernah tau takdir kita dimasa datang, jangan sampai sekarang kita sinis, mencibir dan mengolok2 prilaku anggota DPR, tp suatu waktu tak disangka2 berkesempatan menjadi anggota Dewan, tingkah laku kita ternyata sama aja dgn mereka, 11-12. Saran saya, hati2 dgn dunia politik praktis, walau terlihat gemerlap lebih baik di jauhi. Tp bila suatu saat 'terpaksa' kecemplung jg, ingat2lah..kita pernah mencaci maki mereka yg sekarang sedang bermain disana.

oleh Ainul Huda Afandi pada 23 Februari 2011 jam 1:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar