NEGARA ISLAM


Beberapa minggu saja tak memposting catatan rasanya seperti sudah berbulan2 lamanya. Kini mencoba lagi rutinitas membuat tulisan tentang apa saja, mumpung masih punya kesempatan, masih cukup sehat, masih hidup.

Ide kali ini emang ngga begitu up to date lagi, menyoal Negara Islam Indonesia. Belakangan ini kembali marak diperbincangkan menyusul kasus hilangnya sejumlah mahasiswa di malang. Bagi saya, fenomena NII bukanlah hal yang aneh. Justru menjadi aneh bila orang islam ratusan juta seindonesia ngga ada yang punya pemikiran atau gagasan tentang negara islam. Hidup ini memiliki banyak kemungkinan dan pilihan-pilihan, termasuk dalam hal memilih corak dan konsep bernegara. Sebagai muslim, saya tentu terbuka akan gagasan negara islam sejauh masih berupa wacana dan gerakan kultural. Karena dalam islam formalitas bukanlah esensi, apalah artinya menjadi negara islam jika secara riil kita menghadapi persoalan pelik yang segera menyeret kita pada jurang konflik dan benturan berkepanjangan.

Hidup kita saat ini sudah berbeda jauh sekali dengan situasi dimasa Rosulullah dahulu kala, 14 abad silam. Zaman yang kita hadapi sekarang lebih rumit dan kompleks. Apalagi dalam konteks keindonesiaan. Jikalau negara kita hanya sebesar Pakistan, Mesir atau Arab Saudi, bolehlah kita berandai2. Pertama, negara2 tersebut hanya terdiri dari satu ras bangsa yang dominan. Kedua, secara kultur keagamaan, masyarakat muslim di negara2 itu memang religius. Ketiga, secara geografis negara2 tadi hanya terdiri dari satu daratan. Sementara indonesia punya situasi amat berbeda. Benar bahwa mayoritas penduduk indonesia adalah muslim, tapi sebenarnya sebagian besar tidak terlalu fanatik terhadap agama yang dianutnya. Dengan mudah kita bisa menengok ritual shalat jamaah di masjid2, berapa banyak masyarakat setempat yang rajin hadir di masjid tiap kali shalat jamaah diadakan. Ini indikator yang sederhana untuk membuat klasifikasi tentang tingkat religiusitas warga negara.

Kemudian kemajemukan ras bangsa. Indonesia memiliki aneka ragam ras, suku dan kultur berbeda. Tiap pemaksaan generalisasi konsep kenegaraan pasti memicu penolakan dan akhirnya pecah konflik. Potensi ini sudah sejak lama disadari founding fathers negara ini ketika menentukan seperti apa dasar dan bentuk konstitusional negara. Itulah mengapa bila NII tetap saja berlanjut dan dampaknya kian meluas, resiko yang harus kita terima adalah bubarnya negara indonesia.

Sejujurnya, saya bukanlah termasuk orang yang menganggap adanya negara ini (indonesia) sebuah 'harga mati' yang tak bisa ditawar2 lagi eksistensinya. Dalam sejarah peradaban umat manusia, pernah ada negara2 besar yang karena 'takdir' hilang ditelan perubahan. Ditanah air kita sendiri, dulunya pernah ada negara sriwijaya, majapahit, pasundan, demak dan sederet negara2 berbentuk monarkhi lain yang kini hanya mengisi lembar catatan sejarah. Sekali lagi, inilah hidup, selalu ada kemungkinan. Semua kembali pada konstelasi yang terjadi dalam dinamika bernegara. Suatu waktu indonesia boleh jadi bernasib sama jika pemerintah yang berkewajiban menjaganya alpa untuk menyadari apa fungsi dan tujuan adanya negara bagi tiap warganya. Kalaulah bernegara tidak lantas mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mayoritas penduduknya, niscaya akan selalu muncul pergolakan dan pergulatan yang mencoba berjuang menggapai wajah negara yang berbeda.

Fenomena NII dan terorisme adalah warning nyata bagi pemerintah tentang akar permasalahan dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Respon represif adalah salah satu solusi tersendiri, tapi betapa melelahkan jika tiap kali Densus 88 membunuh beberapa tersangka, ternyata disisi lain justru menumbuhkan nama2 baru pelaku terorisme yang lebih banyak, lebih cerdas dan semakin terorganisir. NII dan terorisme memang punya 'dalang' dan 'aktor intelektual' dalam wujud manusia, tapi 'aktor intelektual' yang sebenarnya adalah realitas sosial keagamaan masyarakat indonesia yang kemudian melatarbelakangi munculnya gerakan2 yang meresahkan tersebut. Realitas perjudian, prostitusi, seks bebas, pornografi dan berbagai realitas lain yang menimbulkan kegelisahan bagi sejumlah orang, yang akhirnya berujung pada tindakan dan gerakan.

Sejauh yang saya lihat dari reaksi pemerintah, saya melihat elit pemerintahan masih terlihat kebingungan dalam mendeteksi, mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan awal. Mereka memang sudah banyak memiliki informasi adanya gerakan, belum juga memiliki konsep yang terukur dan sistematis untuk mengatasi. Mungkin saja, karena pemerintah terlalu dekat dengan kelompok islam moderat semacam NU dan Muhammadiyah sehingga tidak cukup mencoba mengakomodasi kepentingan dan kemauan kelompok lain, yang lantas memilih bertindak sendiri (bersambung).

oleh Ainul Huda Afandi pada 10 Mei 2011 jam 17:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar