ADAKAH SIMPATI UNTUK APRIYANI SUSANTI?

Semula saya ingin memberi judul catatan ini yakni “Simpati untuk Apriyani Susanti” untuk menggambarkan bahwa saya masih punya simpati untuk gadis bertubuh tambun ini menyusul vonis 15 tahun penjara atas kecelakaan yg menyebabkan hilangnya 9 nyawa beberapa waktu lain. Namun dalam menulis kita juga harus memperhitungkan sisi sensivitas dan kemungkinan timbulnya kesalahanpahaman (walaupun saya tidak yakin catatan ini akan dibaca banyak orang). Karenanya saya memilih menambahkan satu kata tanya.

22/1/2012 adlah tanggal yang akan dicatat sebagai kecelakaan lalu lintas paling tragis di Indonesia. Tewasnya 9 orang dlm satu peristiwa kecelakaan mungkin bukanlah jumlah korban jiwa terbanyak, masih banyak kejadian yg menyebabkan korban tewas puluhan orang, termasuk pula kecelakaan pesawat atau kapal yg diakibatkan human error. Masalahnya, kecelakaan Tugu Tani dgn tersangka tunggal, Apriyani Susanti membuat shock karena korbannya adlah pejalan kaki dan sekelompok org yg tengah duduk menunggu angkutan di pinggir jalan. Semakin membuat kesal banyak org, karena pengemudi ketahuan saat menyetir dibawah pengaruh narkoba.

Saya termasuk diantara masyarakat yg mengecam perbuatan Apriyani, saya juga setuju2 aja ia dihukum berat sebagai sanksi sekaligus agar memberi efek jera bagi pengemudi lainnya. Maka, opini publik agaknya juga mempengaruhi pilihan polisi dan jaksa dlm menyusun dakwaan buat Apriyani, ia tidak saja dikenakan pasal berlapis tentang Undang-undang lalu lintas, penyalahgunaan narkoba tapi juga pasal pembunuhan berencana. Hakim akhirnya menghukum Apriyani 15 tahun penjara. Di Indonesia bobot putusan ini termasuk berat dan langka, apalagi bila diterapkan pada kasus kecelakaan lalu lintas.

Pengenaan pasal pembunuhan berencana, menurut saya sejak awal sebenarnya agak aneh (ini mungkin sekedar melegakan keluarga korban saja), karena untuk membuktikan dakwaan ini tentu saja susah. Apriyani dan korban tidak saling kenal, tidak punya motif, dan perbuatan dibawah pengaruh narkoba justru malah mengaburkan dakwaan pembunuhan berencana. Pengenaan pasal secara serampangan dalam dakwaan terlepas dr pertimbangan strategi jaksa dlm menjerat terdakwa, buat sy adlah tindakan yg tidak profesional dan tidak cerdas. Keluarga korban barangkali memang lebih senang klo Apriyani dihukum mati (saya klo termasuk keluarga, mungkin jg akan menuntut hal sama atas dasar emosi), tp kalo Apriyani dihukum mati maka korban jiwa musibah Tugu Tani tidak lagi 9 orang, tapi bertambah jadi 10 orang. Mengapa ? karena kecelakaannya sendiri bagaimanapun musibah, tidak ada manusia yg menghendaki itu terjadi.

Apriyani susanti masih terhitung muda, ia juga belum menikah dan kabarnya belum genap dua tahun lalu ayahnya meninggal dunia. Saya akan melihat sosok Apriyani (sekalipun sama sekali ngga kenal) dr sisi kemanusiaan, karena sudut pandang kemanusiaan akan membuat kita lebih jernih dlm melihat satu peristiwa. Minggu tanggal 22/1/2012 adlah hari yg berat buat keluarga korban, termasuk Apriyani, keluarga dan sahabat karibnya, dan nestapa itu tidak hanya berlangsung sehari-dua hari saja, tp akan berlangsung lama.

Bagi keluarga, kepergian para korban tentu saja merupakan kehilangan besar, selalu tidak mudah kehilangan org2 yg kita cintai, apalagi untuk selama2nya. Tapi apa yg tlah hilang tak mungkin kembali apapun hukuman buat Apriyani. Hukuman mati sekalipun mungkin akan memuaskan keluarga korban, tp jika mereka berada pd posisi Apriyani atau keluarganya tentu saja mereka akan berharap sesuatu yg sama, pemberian maaf yg sebesar2nya.

Bagi Apriyani, 15 tahun tentu bukanlah waktu singkat untuk melalui hidup dlm jeruji penjara. Apriyani sendiri mungkin berharap ini semua cuma mimpi, dimana ketika ia bangun semuanya berjalan normal seperti hari2 biasanya. Tapi kenyataan pahit ini adlah fakta dan takdir hidup yang suka-tidak suka, ikhlas tidak ikhlas akan berlangsung sbagai sebuah realita.

Apriyani sebelum tanggal 22/1/2012, seperti tergambar dlm blognya terkesan cewek yg berpembawaan ceria, ia juga barangkali humoris yg menjadi tipikal org2 bertubuh subur. Ia tampak syang keluarga, punya banyak teman dan pekerjaan yang relatif mapan. Hingga tiba2 semua sumber kebahagiaannya seolah direnggut dlm sekejab, padhal beberapa jam sebelumnya ia masih bisa ketawa2, fly sepuasnya bareng2 teman dlm kehidupan kota yg hedonis. Kini ia harus terbiasa dgn status baru sbagai narapidana, berteman dgn sesama narapidana dlm tembok yg terisolir dr gemerlap dunia, dan satu hari nanti (setelah belasan tahun berlalu), saat ia bebas, tidak berarti bebas dr penderitaan, boleh jd cuma berpindah dr satu penderitaan ke penderitaan lainnya (moga2 aja tidak). Akan tidak mudah bagi Apriyani mencari pekerjaan (kecuali saudara2nya yg lain mapan secara ekonomi), tidak mudah mendapatkan pasangan hidup, berjuang bersosialisasi, bergaul n bermasyarakat, mungkin jg Ibunya sudah tak ada lagi, dan ia tetap berada dibawah bayang2 rasa bersalah serta penyesalan yg umumnya susah terhapus dr ingatan. Secara psikologis, membayangkan tentang masa depan, biasanya dlm situasi seperti yg dialami Apriyani, orang akan berfikir, “ealah.., urip kok gur ngge menderita..”

Di dunia ini Apriyani jelas tidak sendirian, banyak org yg mengalami penderitaan hidup yg lebih berat dari yg ia alami. Dari sisi stigma, kita juga terkadang sering merasa tidak habis pikir dgn perbuatan2 orang lain, tentu saja karena kita hanya melihat dr sudut pandang perbuatannya saja. Kita berfikir, kok bisa2nya sih org seperti Gayus, dgn status PNS, istrinya juga PNS dan klo gaji keduanya dikumpulkan dlm satu bulan setidaknya mencapai 15 juta, kok yao..masih serakah juga. Klo kita masih berfikir begini, maka bukan Gayus yg aneh, tp pikiran kita sendiri yg aneh. Lho, kok..Lha suap yg berikan pada Gayus itu nilainya ngga lg jutaan, terkumpul ratusan miliaran. Itu duit klo ditaruh dlm ATM, bisa berjejer puluhan ATM. Kita enteng saja menghujat Gayus, karena kita tidak dlm posisi seperti Gayus. Gayus memang koruptor, ia penjahat negara, tp ia bukanlah pihak yg paling bersalah, karena tersangka utama sebenarnya adlah negara sendiri yg memang membiarkan celah korupsi terbuka.

Saya mau cerita tentang daya tarik duit, jumlahnya ngga besar2 amat, ngga sampai dua juta. Ceritanya setiap tahun pemerintah kabupaten di daerah saya rajin membagi2kan THR pada tokoh2 agama dr banyak kalangan, mulai dr tingkat mudin sampai kalangan yg dianggap terhormat. Biasanya ada ribuan org ngumpul di tempat acara, dan pernah sy menyaksikan bagaimana org2 itu berdesakkan dan sempat mendorong Bapak Wakil Bupati (yg juga seorang ulama) membagikan sendiri uang ‘THR’, suasana berebut tak terhindarkan (padahal pasti dapetnya, lho..kan bawa undangan), mungkin mereka tak sabar karena hari menjelang maghrib dan mereka berpuasa, namun yg jelas begitulah daya tarik benda bernama “uang”.

Hampir tiga tahun lalu kita juga menghujat kelakuan Ariel, Luna Maya dan Cut Tari karena video mesum koleksinya Ariel terekspose. Kita mengecam pornoaksi Ariel cs. sbagai perusak moral bangsa. Padahal Ariel tidak merugikan siapapun, toh ia tidak bermaksud menyebarkan videonya itu (masa sih ia suka perabotan paling pribadinya diketahui oleh jutaan org), dan negara memang tidak secara tegas melarang praktek seks bebas. Klo kita merasa risih dan berfikir dgn sudut pandang agama, maka bagi saya tersangka utama dlm kasus Ariel adlah negara. Tp hingga hari ini sy belum mendengar negara dituntut secara hukum atas kasus Ariel. Coba anda bayangkan, klo kita sendiri satu kamar bersama Luna Maya, dan ia menyerahkan tubuh2nya bulat2 untuk dinikmati secara seksual, kira2 anda memilih meloncat lari keluar kamar atau menerkam keindahan duniawi dgn penuh nafsu birahi sembari berfikir pendek “eman klo disia2kan”.

Kita sering mencela sesuatu atau seseorang yg kita anggap perbuatannya tdk masuk akal. Kita hujat prilaku psikopat Norwegia yg menembak membabi buta puluhan ABG yg tengah berkemah, kita hujat seluruh warga Israel tanpa kecuali, kita benci dgn arogansi malaysia, kita hujat perbuatan ryan penjagal jombang, praktek kanibalisme, kita hujat Hitler dgn Nazi dan kekejamannya. Tapi bila kita mendekati semua rangkaian peristiwa dr sisi kemanusiaan kita akan sampai pada satu kesimpulan, apapun yg dilakukan manusia pada dasarnya manusiawi. Artinya, klo kita ditakdirkan berada pd tubuh org2 yg kita hujat itu, dgn karakter yg sama, dgn perjalanan masa kecil yg sama, org tua yg sama, lingkungan pergaulan yg sama, maka besar kemungkinan kita jg akan melakukan perbuatan yg sama pula.

Pak Harto di tahun 1998-2000 dicap aktivis mahasiswa dan diopinikan media massa sbagai raja koruptor, the smilling general yg korup, kejam, otoriter yg penuh penindasan berdarah. Tapi lantas bagaimana komentar kita atas sekelumit cerita KH. Quraisy Shihab saat 3 bulan berkesempatan jd menteri agama di zaman Pak Harto. “Pak Harto itu seorang yg jawa sekali (jawa tulen), beliau klo mengajak kita makan, maka beliau akan memberikan kesempatan pertama pd tamu, bahkan Pak Harto sendiri yg mengambilkan nasi untuk kita.” Apa yg bisa kita komentari dr cerita KH. Quraisy Shihab ini. Bagi saya, benar kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Klo ingin membenci atau menyukai seseorang, kenalilah org itu terlebih dahulu.

Saya dulu di zaman kuliah (harap maklum, saya sering skali mencantumkan kisah2 masa kuliah dlm catatan karena ini salah satu fase kehidupan paling pahit dlm hidup saya), sy pernah berdebat panjang dgn seorang sahabat. Ia mengecam sy mengapa tidak mampu melepaskan diri dr problem lulus dr bangku kuliah. Intinya, “apa sih masalah kamu, kayaknya banyak kok yg punya masalah seperti kamu, tp toh mereka mampu lulus kuliah dlm durasi semester yg wajar”. Mungkin si kawan dlm hati mikir juga, “Klo soal jauh dr org tua, di sini banyak mahasiswa dr luar pulau jawa, klo soal duit pas2an, banyak mahasiswa yg duitnya lebih mepet dr kamu, klo soal kecerdasan..kan katanya kamu mulai SD sampai SMA dapat nilai terbaik, mestinya ngga geblek2 amat”, singkat cerita si kawan berfikir bahwa pada dasarnya sy tidak punya alasan kuat untuk tdk segera selesai tamat kuliah. Kecuali hal2 yg menurut sy tidak penting untuk diceritakan, saya orgnya terbuka, apalagi pd org yg sy anggap sobat karib. Cuma, tetap saja si kawan tidak tahu bahwa permasalahan itu seringkali tidak sesederhana yg terlihat atau terpikirkan. Intinya saya cuma ingin mengatakan, “klo kamu ditakdirkan berada didalam tubuh saya, dgn perjalanan hidup sebelumnya yg persis sama, maka apa yg akan kamu lakukan jg sama seperti yg pernah sy lakukan.” Hanya hal2 ajaib saja yg akan jd pembeda.

 Dgn kata lain, sy ingin mengatakan, “Seandainya kita ditakdirkan berada dlm diri Abu Jahal dan Abu Lahab, pada zaman yg sama, kualitas otak dan hati yg sama, maka besar kemungkinan kita akan bertindak se-kafir dia”.

Itulah mengapa sy tidak heran mengapa dalam sejarah umat manusia selalu ada kontroversi, misalnya mengapa terdapat perbedaan pemahaman dalam mengenali Tuhan Yang Maha Pencipta. Kita sbagai muslim sering merasa heran, mengapa bangsa Eropa, Amerika, juga bangsa Asiatimur yg terkenal kecerdasan dan rasionalitas berfikirnya justru memiliki kontradiksi keyakinan dgn umat Muslim, begitu pula sebaliknya mereka umat non muslim pasti heran juga dgn cara keberagamaan umat Islam. Mengapa?

Jawaban sederhananya, karena modal kehidupan kita sbagai manusia memang berbeda2. Sebagai muslim, tentu saya bersyukur lahir dr orang tua yg muslim, di didik dgn pengetahuan keagamaan yg memadai, lingkungan pergaulan yg agamis, dan modal hidup ini tentu saja sangat membantu saya dlm menemukan hidayah sesuai dgn rasionalitas dan sisi spiritual manusiawi yg sy miliki. Modal hidup seperti ini tidak dimiliki oleh umat non muslim, sehingga rasionalitas mereka dlm memandang agama akhirnya dipengaruhi oleh modal hidup yg ditakdirkan atas mereka.

Tantangannya adlah, seberapa keras kita dlm mengenali dan memahami modal kehidupan kita sendiri sekaligus modal kehidupan org lain, bila kita telah mengenalinya dgn baik, maka kita akan lebih bijaksana terhadap segala realita dan lebih terbuka terhadap kebenaran.

oleh Ainul Huda Afandi pada 30 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar