ARTI PROFESIONALISME DAN KOMPETENSI GURU

NASIB SI GUGUTIRU


[Kisah yg saya tuturkan mengawali catatan ini sekedar contoh nyata, tak perlu sebut nama sekolah atau guru, tak perlu jg saya sebutkan dr mana sumber ceritanya, karena yg terpenting adalah substansi masalahnya]. 


21 April 2012, disebuah sekolah. Pagi itu sekelompok guru dipimpin seorang kepala sekolah tengah menggelar rapat persiapan UN. Rapat berjalan normal, seperti biasanya. Kalaupun ada hal yg tidak wajar, karena dr acara yg mirip pembekalan itu, kepala sekolah membuka ’rahasia’ trik sukses UN, dikalangan guru rahasia ini sebetulnya bukan kejutan, dah tau sama tau. Di akhir rapat sang kepala sekolah berpesan kepada para guru yg ditugaskan untuk mengawasi ke sekolah lain agar membiarkan bila ada panitia yg ditengah2 ujian masuk ke ruang kelas. 

23 April 2012, di sebuah sekolah berbeda. Sebelum pukul 7 seluruh peserta ujian telah hadir di sekolah. Sebagian pengawas juga tampak ngerumpi di ruang kantor sekolah. Suasana tampak tenang dan santai, tak ada sedikitpun kesan menegangkan sebagaimana beberapa tahun lalu. Tak ada polisi, tak ada tim independen, hanya seorang monitoring dr kabupaten. Skenario berjalan tanpa ada hambatan. Pukul 09.00. Sejumlah guru (panitia) mulai masuk ke setiap ruang kelas, lalu izin pada pengawas menemui siswa tanpa mengutarakan maksudnya, tp toh ngga penting juga, pokoknya ”tau sama tau”. Lalu dgn tenang panitia menghampiri satu demi satu siswa, memberi kunci jawaban sesuai paket soal yg diterima siswa. Sementara siswa-siswa lain mengarahkan pandangannya dua guru pengawas, dgn pandangan penuh tanda tanya. Mungkin mereka heran, kok dibiarkan ya sama pengawasnya...Tak sampai jam setengah 10 siswa sukses menyelesaikan tugasnya. 

Esok harinya, situasi masih sama. Wajah2 santai siswa tampak tergambar jelas dr raut muka mereka yg kelihatan ceria. Saking santainya, ketika pertama kali membagikan lembar jawaban lebih dulu, agar siswa mengisi identitas, ada seorang siswa tak kunjung mengisi nama pelajaran yg sedang diujikan , ”Lho kok belum di isi, apa pelajaran hari ini? Si siswa gelagapan, maklum soalnya memang belum dibagikan, ”ehh..lupa pak.” Ironis memang, bahkan siswa pun dah gak perduli dgn jdwal mata pelajaran yg diujikan. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, memang beginilah wajah dunia pendidikan kita saat ini. 

Kisah memilukan dan memalukan fenomena UN hanyalah puncak dr kelanjutan proses ’menyukseskan’ program 100 % kelulusan yg diawali dgn surat edaran agar guru tidak memberikan nilai raport dibawah KKM, segeblek dan se-solopok apapun siswanya. 

Apa yg bisa kita komentari dr kisah di atas? Bagi saya ada 3 hal, pertama dosa besar penanggungjawab pendidikan nasional. Kedua, hilangnya esensi pendidikan, dan ketiga, lunturnya idealisme sejumlah besar guru. Katanya guru itu digugu dan ditiru. Apalah artinya 3 tahun mengajarkan siswa soal agama, moralitas, kejujuran, ”ojo nyontek ya..”, tp di endingnya justru mengajarkan kecurangan, mafia dan persekongkolan. Su’ul khotimah. 

Namun, sekali lagi saya tidak ingin menyalahkan guru, bukan pula salah siswa dlm kasus UN. Mereka cuma korban dr kebijakan negara, mereka tidak berdaya untuk melawan dan akhirnya merelakan dirinya berdosa. Mendikbud dan Menteri Agama mungkin benar org baik, figur cerdas dan selalu punya niat baik. Tapi niat baik saja tak cukup, bila kebijakan yg diambil itu justru membawa kemadharatan yg jauh lebih besar dr kemanfaatannya. 

Kasus UN hanyalah isu populer yg mencoreng kredibilitas dan martabat dunia pendidikan kita. Belum lagi masalah suap dan korupsi, belum lagi rekayasa proyek, mark up dan manipulasi. Termasuk pula praktek ’jual-beli’ murid. Dulu ada mekanisme BOS, ada kebijakan pembatasan sekolah negeri menerima siswa. Sehingga siswa di sekolah negeri memang benar2 tersaring, terutama dr sisi nilai murni ijazah siswa (sekalipun permainan duitnya tetap ada). Tapi kini, sekolah2 negeri bebas menerima siswa semaunya, yg penting gedungnya masih muat. Akibatnya, persaingan dan rebutan siswa menjadi fenomena baru. Banyak sekolah2 swasta yg menjerit karena jumlah siswa menurun drastis dr tahun ke tahun yg mengancam eksistensi sekolah tersebut. Akibatnya menggejala ’jual beli’ siswa. Prakteknya sejumlah sekolah menjelang tahun ajaran baru menganggarkan uang pada kepala sekolah di jenjang pendidikan yg lebih bawah agar giat mempengaruhi siswa supaya mau masuk ke sekolah2 tertentu. Jumlah uang bervariasi dan dihitung per siswa. 

Kita sering mengutuk pemerintahan orde baru sengaja membudayakan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, pemerintahan yg berkuasa saat ini pun tingkah lakunya tidak lebih baik, malah cenderung makin ’edan’. Ketidakbenaran yg terjadi dilembaga formal sudah menjadi realita. Kita berharap lembaga2 non formal, apalagi kayak pesantren tidak terjebak pada kooptasi negara. Sudah lama negara yg diwakili Kemendikbud dan Kemenag bernafsu memasuki area abu2 bernama pesantren, dgn berbagai strategi dan cara. Entah bentuknya Badan Koordinasi Pondok Pesantren, entah melalui bantuan2, belum sepenuhnya berhasil. Salah satu sebabnya, karena ijazah pesantren memang tidak bernilai secara legal formal di negara ini. Biarpun mondok puluhan tahun ijazahnya tetep gak bisa buat jd pegawai negeri. Masih banyak pesantren2 yg hingga kini menolak mendekatkan diri pada penguasa, apalagi bila negara bermaksud mengintervensi kurikulum pendidikan yg diterapkan dipesantren. Sebagian lainnya mencoba bersikap realistis, sekalipun dampak negatifnya terjadi komersialisasi pesantren. Dulu siapapun bisa leluasa belajar di pesantren, semua serba lillahi ta’ala. Tapi zaman sekarang susah cari pondok yg gratisan. Malah ada yg biaya masuknya ngga kalah besar dr biaya masuk perguruan tinggi. 

Kita patut bersedih atas segala fenomena ini, tapi mau apa lagi. Kata Mourinho, beginilah hidup. Kita hidup di zaman yg sulit sekali melepaskan diri dr dosa. Bahkan saat kita tinggal di dalam rumah kita sendiri seharian potensi dosa itu tetap ada, lewat ngegosipin tetangga atau rekan kerja, menonton acara TV yg sehari semalam berbalut tayangan yg oleh agama dihukumi dosa. Seperti beberapa hari lalu, saya termasuk jarang memperhatikan kumandang adzan di TV. Tapi hari itu saya terhenyak, karena melihat baru saja selesai sebuah stasiun TV menyiarkan adzan lalu disambung dgn iklan yg menayangkan adegan wanita berpakaian minim. Okelah, ini perkara duit dan keuntungan komersial, tp mbok tirulah TVRI era 80-an dan-90-an yg selesai adzan ada tayangan qasidahan. Klo ngga mau begitu, sekalian aja TV ngga usah nyiarin adzan. 

Akhir dr catatan ini, kadangkala hidup ini membuat kita kehilangan gairah untuk berdo’a semoga dipanjangkan umur kita, apalah artinya umur panjang jika itu artinya hanya berarti potensi menambah daftar dosa-dosa yg harus kita pertanggungjawabkan kelak di hadapan Tuhan. Semoga saja, ampunan Tuhan menyertai hidup kita dan mennganugerahkan keberuntungan husnul khotimah saat nyawa direnggut dr raga. Amin. 


oleh Ainul Huda Afandi pada 26 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar