NEGARA UNTUK SI[APA]?


Rasanya, tidak ada catatan yg paling sering saya baca kecuali catatan saya sendiri. Bukannya soal narsis, karena hal ini lumrah terjadi pada pribadi yg hanya punya sedikit kebanggaan. Alasan lain yg tidak kalah jujur, tulisan itu butuh perhatian dan kepedulian untuk dibaca, klo penulisnya aja malas membacanya, apalagi orang lain (hehe..).

Saya sebetulnya hari2 ini sedang lelah di’serang’ kesibukan, istilah sepelenya ’sok sibuk’, namun  saya tak ingin melewatkan momen2 penting ditengah kehidupan kita, karena masa sekarang adalah milik kita, bukan milik mereka yg sudah tinggal nama atau manusia masa depan yg belum nyata wujudnya. Seperti biasa ngomongin masalah berbangsa dan bernegara (klo masalah pribadi rasanya tak penting diketahui orang lain).

Berita yg sedang booming adalah rencana kenaikan BBM. Tema yg menjadi hajat hidup orang banyak. Klo BBM bener2 naik dampaknya akan dirasakan semua lapisan masyarakat, cuma berbeda tingkat kesulitan. Bagi orang dengan penghasilan diatas 5 juta, kenaikan BBM tak akan terlalu terasa memberatkan, tp bagi warga negara yg penghasilannya hanya beberapa lembar uang ratusan ribu perbulan,  yg pemasukannya cuma satu-dua juta, kenaikan BBM senantiasa jadi momok.

Mengapa BBM tiapkali harganya dinaikkan pemerintah, selalu saja muncul gejolak sosial? Minimal ada dua hal yg menjadi faktor penyebab. Pertama, karena harga BBM yg beredar dimasyarakat hampir bisa dipastikan umumnys lebih tinggi dr harga resmi, kecuali klo akses ke SPBU lancar. Saya sendiri termasuk warga masyarakat yg tidak mudah meluncur ke SPBU karena letaknya 15-20 KM dr rumah, males antri, males capek. Apalagi  tidak setiap saat stok BBM di SPBU-nya tersedia. Jangankan motor, bahkan mobilpun sesekali terpaksa harus ’ngecer’ yg takarannya jelas bukan literan (walaupun ngomongnya tetep aja perliter). Klo bensin jadi 6 rb rupiah perliter, maka pasaran bensin disini akan berkisar 7 ribu-8 ribu (lha wong sekarang belum naik aja sudah 8500-10.000.) Ini bila dalam situasi normal. Dua bulan lalu saat situasinya ngga normal, ada kelangkaan bensin, harga perliternya mencapai 13-15 ribu perliter (padahal resminya 4500). Jd bisa dibayangkan berapa harga yg harus ditanggung masyarakat yg rumahnya terlalu jauh dr SPBU klo BBM bener2 dinaikkan, entah berapa puluh ribu perliter.

Kedua, kenaikan BBM pasti memicu kenaikan barang-barang pokok. Ini sudah tradisi tak terelakkan. Beras naik, kangkung naik, tarif angkot naik, pokoknya serba naik. Siapa yg tak susah saat pemasukan yg didapat tak bertambah, sementara pengeluaran susah dikendalikan, alias ”besar pasak daripada tiang” (apa jadinya ? ambruk donk!!).
Itu dr sisi masyarakat yg terus terang menolak kenaikan harga BBM.

Klo BBM ngga dinaikkan, duit negara jd jebol, itu kan alasan pemerintah, tapi bagi kita..”emang kita pikirin!!!”. Mau jebol kek, mau bobol,..mau ambrol kek..mau dhobol kek, sebodo amit!

Lho, kok ngga peduli tho sama kesehatan uang negara sih ? Lah, soalnya kpn negara mau peduli sama kesehatan perekonomian rakyatnya? Sebab klo pun duit negara banyak, bertumpuk2, singkatnya termasuk negara tajir sekalipun kita ngga yakin ikut kecipratan senengnya. Jd, BBM pokoknya jangan dinaikkan. Klo SBY ngga sanggup ngurusi BBM dah ngga usah pake lama, mundur! biar diganti sama orang lain yg mengaku sanggup. Kalian para pejabat, itu dibayar mahal memang untuk pusing ngurusi perkara rakyat, bukan sekedar cari solusi gampangnya aja..

Kata2 boleh terkesan panas, tp pikiran harus tetep adem. Mari kita telisik asbab musababnya. Pemerintah memberi argumentasi dgn meyakinkan kita bahwa kita sekarang bukan lagi termasuk negara produsen utama minyak bumi dunia, karenanya kita sejak beberapa tahun silam keluar dr OPEC. Cadangan minyak bumi kita akan habis 12 tahun mendatang. Benarkah demikian ? susah menverifikasi dan menvaliditasi informasi ini, jawaban paling rasional adalah entahlah..mengapa? ya ialah, wong bahan bakunya ada di perut bumi dan kita ngga tau apakah bahan baku minyak dibelahan bumi yg kita tinggali ini jumlahnya tak sebanyak yg ada di timur tengah. Biarpun diteliti tetap saja susah dipastikan, tapi setidaknya kita harus tau sejauhmana kinerja pertamina melakukan rangkaian kegiatan eksplorasi untuk melihat potensi cadangan minyak bumi baru. Klo selama puluhan tahun kita hanya mengandalkan kilang minyak yg itu2 saja, logislah klo pada waktunya akan habis.

Masalah utama akar masalah tidak terletak pd cadangan minyak kita yg menipis, karena itu tidak dipastikan kecuali ada data valid bahwa telah dilakukan kegiatan deteksi (saya lupa istilah yg biasa digunakan), disetiap bagian wilayah indonesia dr sabang sampai merauke, baik dilautan maupun daratan untuk melihat apakah ada kemungkinan ditemukan sumber minyak bumi baru, atau memang kecil.kemungkinannya. Lah, pekerjaan semacam ini kan butuh waktu lama, benar..makanya butuh konsep pengelolaan sumber daya alam yg sistematis dan terencana.

Itu baru satu akar masalah, akar masalah yg lain adalah adanya ketergantungan yg begitu tinggi terhadap minyak bumi. Pada titik ini kita mempertanyakan dukungan pemerintah terhadap lembaga riset bahkan tradisi riset dimulai sejak sekolah. Indonesia punya banyak profesor-doktor, tp mungkin mayoritas cuma pakar teori. Kita butuh pakar2 sekaliber Einsten, James watt dkk. Yg hidup penuh keterbatasan beberapa abad lampau. Kita sudah lebih dr 60 tahun bebas dr penjajahan militer jepang, tp kita tak pernah berdaya keluar dr penjajahan ekonomi mereka, tiap hari kita menggunakan produk2 jepang. Sampai2 ketika kita bikin mobil yg mirip dgn produk mereka, itu cuma jd bahan ejekan..modelnya ngga kreatif, mesinnya impor, ngga lulus uji emisi lagi..Atau dulu kita pernah gagal dgn mobnas ala Timor dan Bimantara yg sebenarnya kerjasama dgn Kia dan Hyundai Korea.

Membangun negara sebesar indonesia itu butuh pemimpin dan pejabat visioner, punya visi dan konsep brilyan (ngga sekedar konsep ’lipstik’ dan formalistik). Apakah kebijakan cerdas jika pemerintah teriak2 pembatasan BBM, konversi gas atau yg sifatnya spontan kayak kenaikan BBM, sementara disisi lain org boleh punya mobil sebanyak2nya, boleh membeli BBM semaunya (cuma dibatasi klo lg mo naik harganya aja)..Jangan terlalu menyederhanakan bahwa masyarakat pengguna BBM bersubsidi itu mayoritas org mampu? Apa indikator mampu secara ekonomi? Punya motor? Punya mobil?. Klo indikator kemampuan cuma diukur dr kemampuan bertahan hidup..org gila aja yg ngga punya pekerjaan masih sanggup hidup puluhan tahun. Kemampuan itu harus dipahami sebagai hidup layak dan manusiawi. Klo sakit sanggup berobat dirumah sakit, sanggup mensekolahkan anak hingga perguruan tinggi, sanggup membeli makanan bergizi, punya rumah dgn sejumlah kamar, dan semacamnya yg standarnya jgn dibuat rendah. Kita ngga perlu malu kalau ternyata bila ada sensus yg obyektif dan menyeluruh hasilnya masih banyak yg hidup miskin.

Kemauan itu subyektif, tp kemampuan itu bersifat obyektif, dapat diukur secara ilmiah. Karenanya, tidak pantas pemerintah secara serampangan mengobral data soal kemampuan ekonomi warga negara. Dari waktu ke waktu kita ragu, negara indonesia itu milik siapa? Siapa pula yg saat ini mengambil tanggungjawab atas janji yg tertuang dlm bait2 indah UUD 45, bahwa negara ini didirikan demi kesejahteraan ekonomi, demi kemakmuran, demi keadilan sosial...,60 tahun sudah segala janji tinggal janji..harapan yg lambat laun lebih mirip impian ketimbang cita2. Kenaikan BBM per-1 april yg membangunkan kesadaran kita akan fungsi dan tujuan negara, tp toh tak ada yg bisa kita lakukan. Makanya, saya heran dgn mereka yg masih yakin NKRI adalah harga mati. NKRI adalah pilihan terbaik dr semua opsi..

Betul bahwa persatuan adalah kekuatan, tp sayangnya kita sering tidak senasib-seperjuangan. NKRI bagi saya bukanlah harga mati, negara bukan bagian terpenting bagi hidup kita. Kemanusiaan ada di atas negara, diatasnya lagi ada ajaran agama. Tapi jangan anda bayangkan klo saya tergerak atau mendukung pergerakan memisahkan diri dr Indonesia, tentu karena saya dan anda termasuk bagian dr masyarakat indonesia yg ikut menikmati hasil pembangunan. Gerakan semacam itu hanya layak bagi mereka yg selama puluhan tahun tidak tersentuh manfaat bergabung dengan indonesia. Pikiran2 semacam ini akan muncul sebagai wujud rasa frustasi kita terhadap wajah indonesia yg terlalu lamban menampilkan kemajuan. Istilah Bung Karno, ngga progressif. Kita selalu berbangga diri dgn kemajuan makro diatas kertas, tp lalai menengok sisi lain dr kehidupan berbangsa dan bernegara. Sisi kemelaratan dan sarat penderitaan.

Akhirnya, kalau kita ikut2an mikir urusan negara, jdnya ikut2an mumet. Kadangkala terasa muspro, apalagi bila yg dipikirkan tak mau perduli apa yg kita pikirkan dan kita inginkan. Tp yg namanya hidup itu memang begitu, dan lazimnya begitu. Semua berjalan dinamis, penuh perubahan, pasang-surut dan dinamika...tp klo soal negara, biarlah...saya percaya tiap bangsa punya masa kejayaan..masa itu akan tiba pada saatnya..

oleh Ainul Huda Afandi pada 29 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar