POSISI SEJARAH MASA LALU INDONESIA DALAM PERADABAN MASA KINI


Biarpun sepintas kayak judul ilmiah, anda tak perlu kaget bila isi catatannya ternyata biasa2 saja. Yah, karena yg nulis memang org awam dan tak masuk kategori ‘wong pinter’ (mungkin dulu aja ngerasa keminter, hehe..).

Sy cuma ingin bersimpati  sama Sri Sultan Hamengkubuwono X yg sedang prihatin (makanya belum lama ini memaklumatkan sabdatama sebagai sindiran sekaligus mengirim warning buat pemerintah pusat), karena RUU Keistimewaan Jogja ngga dibahas2 sama DPR. Tentu penyebabnya bukan soal kesibukan, murni masalah politik dan perspektif kenegaraan.  Karena RUU itu memang rumit untuk dibahas pada saat negara ini diarahkan pemerintah menuju demokrasi modern (formalnya aja namanya demokrasi pancasila). Pemerintahan dgn ideologi demokrasi meniscayakan suksesi kepemimpinan melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat, bukan penetapan atau turun temurun khas monarkhi. Dari sudut pandang ini, pemerintah benar karena seyogyanya memang tidak ada satu wilayahpun di Indonesia yg berbeda dr sisi pemilihan pemimpin. Keistimewaan dipandang sebuah diskriminasi politik. Karena problemnya rumit dan kompleks,  maka pemerintah dan DPR saat ini kayaknya mengambil kebijakan status quo alias lepas tanggungjawab, biarlah itu jd urusan pemerintahan periode mendatang.

Tak heran, bila Ketua DPR, Marzuki Ali menyatakan tak setuju ada undang-undang keistimewaan Jogja, bahkan secara serampangan ia mengandaikan gimana klo Sultan nanti tersangkut masalah hukum, kan bikin repot. Maka memang semestinya ada titik temu, dimana disatu sisi kita tetap menghargai konsensus dimasa lalu, namun tidak mengabaikan prinsip2 demokrasi yg telah terlanjur kita jdkan cara bernegara dan berbangsa.

Klo kita membaca ulang sejarah, maka jelas jogja memiliki posisi strategis pd saat situasi kritis setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kesultanan Jogja adlah sedikit kerajaan yg saat itu kekuasaan politiknya diakui dan dibiarkan ada oleh Belanda. Jogja adlah wilayah berdaulat sampai kemudian memutuskan bergabung dan memperkuat posisi Indonesia sbagai negara baru. Secara sejarah, Indonesia bukanlah negara yg telah ada kemudian terjajah, namun faktanya Indonesia sebagaimana yg kita kenal sekarang awalnya adlah wilayah tercerai-berai yg dikuasai pemerintahan lokal mulai sabang sampai merauke. Adanya sejumlah pemuda yg belajar ke eropa, dipengaruhi dan terinspirasi dgn konsep tentang negara republik, selanjutnya memiliki jasa besar mempersatukan wilayah kepulauan nusantara. Prosesnya tentu tak semudah membalikkan tangan, tidak semua wilayah itu sukarela dan kompak bergabung, perlu menyatukan pandangan dan gagasan, kadang perlu bujukan, rayuan, hasutan, termasuk pula strategi klaim, aneksasi dan keberuntungan (sy menyebutkan keberuntungan karena pd masa 1940-an karena penjajahan belanda ratusan tahun telah memperlemah kekuasaan politik lokal, tak ada kerajaan di Nusantara yg benar2 kuat dan berdaulat).

Jogja sendiri sy kira tidak perlu dibujuk untuk bergabung, dan pemberian keistimewaan itu sendiri bukan bagian dr janji, tp lebih sebagai reward atas besarnya dukungan, perjuangan dan back up semasa revolusi fisik. Pak Harto pun sbagai figur asal Jogja tidak pernah mempermasalahkan kepemimpinan turun temurun di Jogja, selama puluhan tahun. Tentu karena beliau memang bagian dr sejarah berdirinya negara ini. Daerah lain seperti aceh perlu pendekatan lain, karena daerah ini tak punya hubungan historis ataupun keinginan bergabung dgn NKRI. Pendekatan pribadi Bung Karno dan kedekatan ras akhirnya mampu meyakinkan tokoh2 Aceh bahwa bersatu dibawah satu negara akan membawa implikasi kesejahteraan yg lebih baik. Sebagai reward dan stimulus, daerah aceh disematkan titel “Daerah Istimewa”. Toh realitas bergabung dgn Indonesia tak seindah harapan, makanya sempat puluhan tahun disana muncul pemberontakan bersenjata.

Papua punya kasus berbeda, ini adalah daratan nyaris ‘tak bertuan’ setelah secara politik dan militer, Belanda tinggal menunggu waktu meninggalkan wilayah ini. Bung Karno melihat peluang menganeksasi Papua (dulu untuk mengaburkan identitas, namanya diubah menjadi Irian Jaya), makanya dilancarkan operasi Mandala untuk merebut Papua. Tidak ada penolakan serius dr masyarakat lokal yg terkotak2 oleh kekuasaan suku2. Sesuai peta konsep bahwa negara Indonesia adlah bekas wilayah jajahan belanda di Nusantara, makanya Papua Nugini tidak termasuk daerah yg perlu dianeksasi karena belanda tak pernah menjajah wilayah ini. Gejolak pemberontakan yg ada di Papua saat ini lahir karena mereka merasa saat ini dijajah oleh Indonesia dan merasa berhak untuk memisahkan diri.

Timor Timur (sekarang negara Timor Leste) adlah fakta lain dr upaya NKRI memperluas wilayah. Masuknya Timor Timur ke wilayah NKRI juga tidaklah selancar yg dibayangkan. Memang disana ada partai semacam apodeti cs. yg berhaluan bergabung di Indonesia, tp fretilin juga cukup punya pengaruh kuat untuk mendirikan negara sendiri berdaulat, itulah mengapa rezim orde baru perlu melancarkan agresi militer dan intelijen dgn sandi operasi seroja yg mengorbankan ribuan prajurit kita. Nyatanya bibit pemberontakan terlalu sulit dikikis sampai ke akar2nya, karena sejumlah kaum intelektual Timor Leste sadar bahwa mereka berhak berpisah, karena dlm sejarahnya Timor Leste bukan termasuk jajahan belanda. Realitasnya kini Timor Timur tak kuasa kita pertahankan.

Apakah Jogja akan melakukan langkah keras bila hak keistimewaan dan kedaulatan Jogja dipungkiri dan diingkari oleh pemerintah pusat? saya tdk yakin. Pertama, tentu menimbang reaksi pemerintah Indonesia jika muncul wacana dr pihak kesultanan untuk memisahkan diri dr Indonesia. Resikonya terlalu besar jika reaksinya berbentuk pembekuan kesultanan dan pengerahan kekuatan militer untuk mempertahankan Jogja dlm NKRI. Kedua, kalaupun berpisah, peluang timbulnya konflik terlalu besar karena jaraknya praktis diapit kabupaten2 seperti Pacitan, Klaten, Magelang dan Purworejo. Klo pun itu terjd, akan jd ironi sejarah. Maka, menurut saya hak keistimewaan itu bagian dr penghormatan terhadap sejarah masa lalu dan konsistensi kebijakan. Kita tidak perlu khawatir, karena hak istimewa itu sekalipun tertuju pd pribadi sultan, namun hakekatnya dimiliki juga oleh seluruh warga Jogja, selama puluhan tahun tdk ada daerah iri karena kekhususan itu sifatnya politis. Seandainyapun kelak Sultan menyalahgunakan, biarkan rakyat Jogja sendiri yg memutuskan apakah hak keistimewaan itu tetap  dipertahankan atau diakhiri saja. Maka, belajarlah sejarah agar kita dewasa dan bijak dalam bernegara.  

oleh Ainul Huda Afandi pada 20 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar