BERPOLITIK ALA SANTRI


Saya tidak ingat lagi kapan terakhir kali update status atau sekedar memberi komentar atas status teman (kecuali mengomentari berita detik.com). Ceritanya dulu waktu zaman kuliah aktivitas sy lebih banyak nganggur (dalam arti ngga punya rutinitas yg bernilai produktif), sampai2 sering saya berdo’a, ”Ya Allah, berilah daku kesibukan”, setelah lulus dan pulang kampung do’a itu pun terkabul, bahkan kesibukan itu rasanya terlalu berlebihan, hingga sesekali sempat terpikir juga, mungkin saya tak berumur panjang klo terus-menerus terjebak dlm kesibukan dimana menit demi menit begitu berharga (sekalipun dr sisi materi sebenarnya tak seberapa). Agaknya saya harus merevisi doa  kembali, ”Ya Tuhan, mbok ngasih kesibukannya yg biasa2 aja, to..”

Kesibukan itu pula salah satu alasan mengapa saya seakan2 melupakan sahabat2 lama nun jauh disana, entah dimana, sedang apa, bersama siapa..tp diam2 sebetulnya sesekali saya sengaja membuka profil facebook mereka. Memang, bagaimanapun teman mudah datang dan pergi, silih berganti namun para sobat karib tetaplah taktergantikan. Selalu ada dlm kenangan.

Beberapa waktu lalu, sy diikutkan group Nurul Ummah Community. Salah satu group fbnya santri dan alumni PP. Nurul Ummah. Walaupun berkali2 melongok apa sih isinya, tp lg2 ngga pernah ikut komentar juga. Dr group ini pula, saya tau klo PP. Nurul Ummah, punya hajatan pemilu (dulu istilahnya suksesi lurah pondok). Ketika masuk ke pesantren ini lebih dr satu dasawarsa lalu, kayaknya dah ada tradisi pemilu. Pemilu di pesantren punya makna bahwa santri ngga lagi gagap dgn demokrasi dalam tataran praktek, sekaligus pula soal bagaimana belajar politik.

Setau saya, sebagai pesantren dgn mayoritas santri mahasiswa kesadaran santri untuk belajar berpolitik di Nurul Ummah sudah tumbuh sejak lama. Bahkan ketika saya pernah mondok disana, sering dijumpai gerakan2 bernuansa politis, terutama dr kalangan santri ’aktivis’ (maksudnya aktivis, sejumlah santri ini aktif di lembaga2 yg dikelola santri dan terkadang bersikap kritis pada pengurus pesantren).

Sebagai contoh, pernah ada santri hampir satu kelas yg terkena skorsing tidak boleh tinggal di pondok selama satu bulan, karena kompak ngga hadir mengikuti diniyah. Kasus ini sempat jd polemik dikalangan santri, terutama karena sebagian yg terkena skorsing berstatus ’aktivis’. Terlepas dr soal benar atau salah, apa yg terjadi sebetulnya bagian dr dinamika. Yg menarik, sebetulnya bukan soal pokok permasalahan, tp bagaimana kekompakan para ’terpidana’ kos di rumah kos didekat rumah, bagaimana mereka membangun opini publik dan menggalang dukungan simpati. Nyatanya, proses keberangkatan keluar dan kembali masuk pesantren diwarnai dan diramaikan oleh para simpatisan. Dr sisi gerakan santri, realita seperti ini merupakan gejala dan geliat politik walaupun dlm skala yg kecil.

Contoh lainnya, ditahun 2001 ada seorang santri (tak etis disebutkan namanya), katakanlah si fulan yg bolehlah dikategorikan sebagai ’aktivis’, menggalang gerakan ’bawah tanah’, dgn meng’agitasi’ ketua kelas dan ketua kamar untuk mendeklarasikan apa yg disebut dgn ”Dewan Perwakilan Santri”. Gagasan ini bermula dr idealisme bahwa pesantren semestinya dapat menjadi miniatur negara dan ’persatuan’ itu akan melahirkan ’kekuatan’. Intinya, tujuan utama gerakan ini menaikkan nilai tawar santri dihadapan pengurus pesantren ketika terjadi kebijakan2 tertentu yg tidak disetujui santri. Gerakan rahasia akhirnya cepat terbongkar, dibubarkan dan singkatnya gagal.

Namun setahun kemudian, si fulan cs. berhasil membalas kegagalan manuver politik bertema ”DPS” dgn pukulan yg cukup telak. Kali ini, mereka memanfaatkan jalur legal, pemilu lurah pondok. Berbekal koneksi dan pertemanan dgn ketua2 kamar dan kelas, terjadilah gerakan menyatukan suara santri. Kalau melihat cara kerja ’aktivis’2 ini, apa yg terjd sesungguhnya murni politik praktis. Bagaimana mereka menjadikan kamar A9 sebagai basecamp untuk berdiskusi, menyusun strategi dan saling menjaga motivasi. Keseriusan mereka terlihat dr pembagian tugas, siapa yg membina dan menggarap komplek A, komplek B, C, dan kelas2, setiap hari progressnya dievaluasi. Senantiasa membuat peta kekuatan berdasarkan orientasi politik dan kecenderungan pilihan dr seluruh pemilik suara.

Beberapa hari menjelang hari ”H”, si fulan cs. bermaksud menguji seberapa riil kekuatan politik yg mereka miliki, melihat sejauh mana keberhasilan menanamkan pengaruh dan keyakinan pd pemilik suara serta bagian dr strategi ”show of force”. Caranya, dgn mengumpulkan semua pemilik suara dr kalangan santri, nyatanya memang sukses. Di pertemuan itu, tema yg dibahas dan mencapai konsensus adalah menentukan tokoh yg layak menjd lurah pondok dgn ”plus-minus”nya, dan fulan cs. sekali lg berhasil mengegolkan nama figur yg tepat menurut perspektif mereka. Calon itu seorang pengurus muda yg belum lama lulus Diniyah. Sementara, tradisi yg sudah berjalan sejak lama melulu pengurus2 yg sudah senior yg terpilih jd lurah pondok. Sebuah upaya mendobrak tradisi.

Sehari sebelum hari ”H”, si fulan yg dianggap sebagai penggerak didekati oleh seorang santri senior yg mengungkapkan ada keresahan dikalangan pengurus dgn gerakan yg dilakukan fulan cs, dianjurkan agar dibatalkan saja, si fulan tetap bersikukuh. Dan di hari ”H”, seperti yg sudah diprediksi, gerakan politik satu suara kelompok santri mencapai klimaks, malam itu mereka menang, dgn keunggulan telak. Hingga hari ini, klo ngga keliru masih ada tokoh2nya yg aktif di PP. Nurul Ummah. Tentu dgn peran dan status berbeda.

Gerakan politik santri selanjutnya mengalami pasang surut, sempat kembali muncul saat ada Tim Pencari Fakta (TPF) kelas I Ulya atas kasus dikeluarkannya salah seorang anggota kelas I Ulya. Puncak gerakannya adlah meminta klarifikasi dr pengurus pesantren melalui pertemuan dgn seluruh perwakilan ketua kelas dan ketua kamar. Sayangnya aspirasi ini tak terakomodasi, dan oleh pihak pengasuh secara persuasif kasus ini dapat diselesaikan menurut kultur ala pesantren. Si fulan sendiri, setau saya memang tipikal santri ’aktivis’, di pesantren sebelumnya pun ia pernah berbenturan dgn pengurus pusat pesantren, saat sebagai ketua wisma ia berhasil menggalang kesepakatan dgn ketua dan pengurus wisma lain untuk melakukan pemboikotan, ketika rencana pengurus wisma mengadakan pengadilan kompleks dan ’otonomi’ tak disetujui pengurus pusat.

Dr sisi kultur pesantren tradisional, dinamika gerakan politik ala santri seperti yg dilakukan fulan cs. mungkin tak lazim, nyleneh, dan kurang sesuai etika pesantren. Namun, dr sudut pandang pesantren modern, apalagi banyak santri adlah mahasiswa, fenomena ini sebenarnya wajar saja. Kita pun tau figur Cak Nun pun pernah dikeluarkan dr pesantren karena bersikap kritis. Apalagi gerakan politik seperti ini konteks permasalahannya adlah tentang hubungan antara warga dgn pengurus pesantren, berbeda konteks dgn hubungan santri-ustadz. Artinya, gerakan politik yg dilakukan terlepas dr kepentingan antar pribadi, benturan yg terjd tidak bersifat pribadi, tp lebih pd dinamika kehidupan pesantren sebagai sebuah organisasi, dimana adakalanya terjadi perbedaan cara pandang dlm mengurus pesantren, menerapkan aturan, dan sikap atas kebijakan2.

Diluar dr kepentingan secara politis, hubungan mereka tetaplah ustadz dan santri, dimana santri menaruh rasa hormat yg demikian tinggi pd ustadznya. Senantiasa terselip do’a untuk para ustadz dan guru yg banyak berjasa dlm proses tranformasi keilmuan, selalu muncul keinginan menjalin silaturahmi. Mungkin mirip dgn rivalitas pemain madrid-barcelona, ketika mengenakan kaus tim, mereka dlm posisi berhadapan, tp diluar lapangan kebanyakan berteman akrab secara pribadi.

Saya sendiri ingin melihat wajah pesantren yg dinamis tanpa kehilangan kultur dan ciri khasnya, karena roda zaman memang berubah cepat dan perlu perjuangan keras untuk bertahan menjaga eksistensi. Siapa yg tidak menyesuaikan diri dgn dinamika zaman, berarti hanya menanti giliran tinggal nama, mengisi lembaran sejarah. Hal ini penting untuk disadari, karena lulusan pesantren adlah harapan besar bg eksistensi NU, sebagai ormas penganut madzhab Syafi’i. Sejujurnya, bagi saya yg tinggal di sumatera, NU saat ini semakin lama kok kayaknya kehilangan popularitas dan loyalitas. Penganut madzhab Syafi’i tetaplah masih banyak, namun mereka tak terkoordinir secara organisasi. Pada santri2 yg kini masih belajar di pesantren kita banyak berharap, melihat NU sebagai ormas2 terbesar di Indonesia nantinya akan benar2 kembali riil dan dirasakan dinamikanya. Setelah itu, barulah kita boleh menaruh harapan pada parpol yg mewakili aspirasi jamaah Nahdlatul Ulama di senayan.

oleh Ainul Huda Afandi pada 10 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar