LAYU SEBELUM BERKEMBANG


     Saya tidak merasa senang, gembira, lega atau semacamnya mendengar ini, bahwa ketua umum partai Demokrat, Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi proyek hambalang. Saya justru merasa masygul, karena berharapkan berita sebaliknya. Apapun, KPK tentu punya bukti2 kuat untuk menjerat Anas, walaupun kita tak bisa menepiskan kesan, KPK agak memaksakan diri melanjutkan proses hukum terhadap Anas menjadi penyidikan, karena nominal yang disangkakan di bawah komitmen KPK sendiri yg hanya mengurus perkara dgn nilai di atas 1 Miliar.

      Mengapa sy merasa masygul? Pertama, Anas berlatar belakang aktivis kemahasiswaan, HMI. Kita berharap, menjadi matang di lembaga kemahasiswaan yg kental dgn nilai-nilai idealisme, akan terefleksikan saat yg bersangkutan tinggal dlm realitas berbangsa dan bernegara. Kedua, Anas adalah menantu pengasuh pesantren besar di Yogyakarta, pesantren adlah motor dinamika aktivitas keagamaan. Tempat yg sarat dengan ketaatan pd norma dan hukum agama. Kasus yg menimpa Anas tak pelak menampar wajah keluarga besar Krapyak, memalukan, aib dan akan menjadi bahan perbincangan, karena kita kemudian tak bisa menolak prasangka miring masyarakat tentang kemungkinan adanya dana dari Anas ke pesantren tersebut. Sebagai warga pesantren, situasi seperti ini bagaimanapun memprihatinkan. Ketiga, sosok Anas sendiri sebenarnya merupakan figur pemimpin masa depan Indonesia, penampilannya yg tenang, cerdas dan mengesankan agamis merupakan gambaran nyaris ideal tokoh muda yg didambakan. Sayangnya, lejitan karir cemerlang yg terlalu cepat akhirnya seolah menjadi jebakan bagi Anas sendiri, boleh jd masa depan Anas di politik untuk pencapaian paling optimal sudah selesai dgn kasus ini, hancur.

     Kini, Anas harus melalui hari-hari terkelam dlm kehidupannya, saat roda nasib belum juga mencapai puncaknya, mendadak menggelinding turun pada posisi dibawah, posisinya segera digantikan org lain. Keluarga dan sahabat karibnya mungkin sekarang terpikir juga menyesali keputusan Anas terjun ke dunia politik praktis yg kejam. Tapi kenyataan adlah kenyataan, satu hal yg mungkin tak disadari Anas, meraih posisi kunci didunia politik memerlukan cost yg kelewat besar. Pada posisi rumit seperti itu, lalu pikiran2 jahat dan picik kerapkali mengacaukan akal sehat. Lalu otak akan diajak berfikir keras bagaimana caranya mengatasi masalah dan segala macam tuntutan, termasuk budaya korup dalam segala ajang pemilihan yg prestisius di negeri ini. Pada titik ini, rasionalitas berfikir masyarakat yg memojokkan Anas menemukan argumentasi kuat, bahwa rasanya hampir tak mungkin Anas berhasil mencapai jabatan ketum partai berkuasa secara gratisan, cuma bermodal niat dan tekad thok. Di sisi lain, kita juga diragukan oleh performa Anas yg sangat misterius untuk dipastikan. Bahkan Jum’at siang tadi, sekalipun ia kemungkinan sudah bisa menebak akan ditetapkan jd tersangka, kita tidak melihat ada kegalauan, wajahnya datar, pilihan kata yg diungkapkan tetap tertata dan konsisten seperti biasa, gurauannya normal, seperti tanpa beban, padahal dihadapannya terbuka setumpuk masalah yg bagi org normal sudah pasti bikin stres minta ampun.

     Sekarang, masyarakat serempak menghujat Anas, akan menyindir kata2 Anas yg klo terbukti korupsi serupiahpun silakan menggantung Anas di monas (ya iyalah mana ada korupsi serupiah, hehe..). Kini ungkapan itu akan jadi salah satu kalimat terpopuler yg berbalik menyerang Anas.

    Anas sempat membuka satu kata kunci, mengapa ia tidak perlu risau dan galau, walaupun jeruji penjara tampaknya akan segera membelenggunya. Kata kunci itu ialah: keyakinan. Kalau anda yakin tidak bersalah, mengapa harus serisau org yg memang bersalah, kalau anda tidak terlibat satu kejahatan, mengapa harus takut dihukum, toh ujung dr kehidupan kita sejatinya bukanlah pandangan org, sejuta miliar menganggap anda salah, tapi jika Tuhan tidak memutuskan anda salah, mengapa harus gundah gulana. Biasanya saya yakin 100 % dengan tindakan KPK, tapi kali ini untuk kasus Anas, kok tidak ya, entahlah.

     Dalam kasus berbeda, saya sama sekali tidak kenal bekas presiden PKS, Lutfi Hasan. Bahkan namanya saja baru hafal setelah ia ditangkap KPK di kantor PKS. Kalau benar ia terlibat kasus percobaan korupsi, saya percaya ia pernah dan masih jd org baik2, walaupun citranya tak sebaik dulu. Penangkapan Lutfi Hasan didahului adanya pengaduan yang dalam ‘bahasa hukum’ umumnya cukup disebut laporan masyarakat. Masyarakat mana yang ‘tega’ melaporkan Lutfi ke KPK, susah untuk dipastikan siapa orgnya, namun tak sulit untuk ditebak. Tebakan paling rasional tentu tak jauh-jauh dr org2 di sekitar Lutfi, mungkin org2 PKS sendiri, mungkin org2 di sekitar lingkungan kerjanya sebagai anggota DPR, boleh jadi dari orang2 di pihak penyuap, yg punya dendam pribadi dengan penyuap, segala kemungkinan bisa2 aja, nyatanya presiden partai paling kalem itu sudah hampir terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

      Kalau benar ada laporan masyarakat, sebetulnya KPK dua opsi sepanjang dugaan tindak pidana itu belum terjadi. Pertama, melakukan tindakan pencegahan dan kedua, melakukan penangkapan. Ketika dihadapkan pada dua pilihan, keputusan selanjutnya lebih merupakan keputusan politis dan strategis. Kira2 buat KPK dan Negara lebih bermanfaat mana? Dicegah saja atau biarkan saja lalu ditangkap pelakunya. Tindakan mencegah, sederhananya misalnya dengan mengirim petugas kepada Lutfi Hasan untuk membatalkan niat menerima suap, karena laporan yang diterima KPK sudah cukup akurat dan kredibel, katakanlah informasi dengan klasifikasi “A”. Dengan warning seperti ini, maka besar kemungkinan tindakan suap itu tak terjadi, dan takkan ada gunjang-ganjing PKS seperti yang kita saksikan sekarang. Kita juga tak perlu menyaksikan adanya tokoh publik yang karirnya melejit, berjasa besar bagi PKS, tiba-tiba dalam sekejab seluruh citra baik yang telah dibangun bertahun-tahun itu hancur berantakan.

     Pilihan kedua, yakni menangkap tentu saja secara teknis lebih sederhana lagi sekalipun membawa dampak yang rumit bagi pihak-pihak lain yang terkena imbas. Menangkap seorang petinggi partai tentu saja seharusnya dapat menjadi shock therapy bagi kalangan elit partai untuk tidak bermain-main dengan kasus korupsi. Keuntungan lain, tentu saja ukuran prestasi. Menangkap seorang ketua partai yang terlibat kasus hukum adalah prestasi besar, daya tariknya lebih besar bahkan bila dibandingkan menangkap pejabat negara sekelas bupati atau sekaliber gubernur sekalipun.

    Selama ini, yang kita tahu KPK banyak memilih opsi kedua. Ini pilihan yang lebih mudah. Khusus Anas, tampaknya KPK sedikit sedang ‘bermain-main’, bukan soal pembuktian (sekalipun alasan2 normatifnya selalu begitu), tapi lebih pada keputusan politis dan strategis. Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa membuktikan seseorang bersalah itu mudah. Bagi orang awam jelas susah, tapi KPK punya sederet penyidik berpengalaman dan berkualitas. Semuanya tinggal ditelusuri, dicari saksi, calon tersangkanya minta dipanggil ke pengadilan supaya terbuka mekanisme sumpah atas nama hukum, dilakukan konfrontasi sambil mencari bukti2 fisik. Pengalaman KPK selama ini bukan hal rumit. Bahkan Anggie dan Miranda Gultom sebetulnya dijadikan tersangka lebih banyak didasarkan saksi dan asumsi, minim sekali bukti fisik yang didapat, toh di pengadilan bisa dinyatakan bersalah.

Saya tidak bermaksud (sekali lg) mendorong KPK cepat2 menetapkan Anas menjadi tersangka. Bukan itu poin utamanya, namun kita tidak ingin terjadi pendzaliman atas nama hukum. Media sejauh ini sudah menebarkan rumor dan berhasil membentuk opini publik untuk meyakini bahwa Anas Urbaningrum bersalah. KPK punya tanggungjawab moral untuk tidak membiarkan suatu isu yg tidak kunjung diperjelas kemudian berlarut-larut dan terlanjur menghancurkan seseorang. Misalnya, seandainya Rapimnas kemarin memutuskan Anas diberhentikan, lalu ditetapkan penggantinya kemudian satu minggu kemudian KPK menyatakan tidak ada bukti dan kesaksian yg kuat untuk membuat tuntutan hokum atas diri Anas, maka apa artinya? Sesuatu yg sudah terlanjur hancur, maka takkan pulih seperti sedia kala. Misalnya ada terdakwa yg dinyatakan bersalah, telah menjali hukuman penjara bertahun2, lalu bukti2 yg muncul kemudian justru menunjukkan ia tidak bersalah, negara lalu memutus merehabilitasi namanya, apakah dengan demikian semua itu berhasil mengkompensasi segala macam penderitaan dan mampu mengembalikan potensi kenikmatan hidup yg telah dipaksa hilang?

    Satu hal yg saya khawatirkan adalah kemungkinan oknum2 KPK sedang ‘bermain2’, punya tujuan lain (dgn maksud) ‘balas dendam’ dengan target utama adlah presiden SBY. Kasus Anas dan sederet kasus lain yg melibatkan politisi demokrat adalah sasaran antara saja. Mengapa harus ‘balas dendam’ dgn SBY? Karena SBY sendiri juga beberapa kali ‘bermain-main’ dgn KPK walaupun dlm bentuk yg sangat samar. Kasus pemenjaraan besan SBY, Aulia Pohan, kasus Antasari, kasus cicak-buaya, Polri vs KPK, Andi Mallarangeng, dan operasi2 intelijen dua pihak yg tidak diketahui publik ini adalah indikator yg memang boleh2 saja diperdebatkan. Kita harus ingat, org2 cerdik itu cenderung suka berpolitik, baik untuk tujuan melakukan aksi atau bereaksi terhadap aksi pihak lain. Semua pihak yg kita sebut di atas, bukanlah robot yg jalan pikirannya murni, semuanya manusia yg normal punya naluri2 manusiawi. Semoga segala kekhawatiran saya tidak terbukti, dan untuk membuatnya ‘serba pasti’ KPK-lah yg punya potensi terbesar untuk menepis segala macam prasangka buruk.

     Soal Lutfi Hasan, walaupun ia belum diajukan ke pengadilan, saya percaya ia bersalah. Bahasa tubuhnya ketika memberikan konferensi pers sesaat sebelum ditangkap, maupun hari2 setelah ditangkap menyiratkan reaksi org yang bersalah, bukan reaksi kesabaran dan ketabahan. Saya mengandaikannya dgn diri saya sendiri, seandainya saya yakin saya ngga bersalah, maka sesabar2nya saya, saya akan melawan, raut muka saya berubah menjadi masam, dan nada suara saya pada awal2 kasus akan meninggi. Tp yg terjadi, tak berselang lama setelah ditangkap, Lutfi menyatakan mengundurkan diri (dgn mudah dan seperti tanpa beban). Memang sisi etika berorganisasi, apa yg dilakukan Lutfi adalah sikap yg patut dr diteladani, tapi sebagai manusia yg memiliki harga diri dan prinsip2 hidup, seandainya Lutfi memang tidak bersalah, sikap seperti itu hanya menunjukkan ia manusia lemah. Jadi, yg saya tangkap sebenarnya Lutfi Hasan memang merasa ia bersalah, lalu pasrah dan selanjutnya mengambil sikap yg paling bijak, itu saja.

Sikap Anas hampir setali tiga mata uang dengan Lutfi Hasan. Ia berkali2 menyatakan tak bersalah, namun suara kerasnya baru sebatas, “gantung saya di monas”. Anas tidak menunjukkan sikap seperti yg saya harapkan. Sikap yg kita inginkan adalah ketegasan menurut selera publik, ketegasan diluar batas karakter asli Anas sendiri. Ia memang berpembawaan tenang, kalem, pokoknya so cool. Tapi serangan yg ditujukan pada anas sungguh keras dan kejam, respon dan reaksi yg tidak sesuai akan menghancurkan Anas, bahkan sebelum ia jadi  diajukan ke muka pengadilan. Kalau pun dalam hati Anas mengakui ia memang terlibat urusan korupsi, maka sifat ksatria dan jiwa kepemimpinan harus muncul. Secara spontan, publik akan menghujat, tapi selang bertahun kemudian semuanya akan terlupakan, dan begitu bebas dr hukuman, Anas dpt mencoba memulihkan nama baiknya lagi. Salah satu cermin dr seorang pemimpin adlah rasa bertanggungjawab, sepahit apapun resikonya. Manusia itu normal kalau khilaf, praktek korupsi sekalipun dianggap kejahatan luar biasa, sebetulnya juga manusiawi. Cuma soal adanya kesempatan, niat dan keserakahan.

    Intinya, amat tidak baik mengembangkan isu dan rumor yang menggelinding jd bola liar. KPK harus tegas dalam menyikapi setiap kasus yg menjadi perbincangan masyarakat (baca=media). KPK boleh jd tidak mempedulikan aspek2 diluar hokum, namun perbincangan tentang hukum jika terlalu bebas juga rentan terjadi pelanggaran hukum (misalnya pencemaran nama baik atau perbuatan yg tidak menyenangkan), maka informasi yg tegas akan mereduksi segala macam rumor. Untuk kasus Anas, dari dulu seharusnya KPK sejak dulu tegaskan saja, “belum ditemukan alat bukti yg sah, karena itu status Anas adlah org bebas sampai suatu saat ditemukan alat-alat bukti yg dimaksud, sementara ini masyarakat silakan menunggu persidangan org2 yg menyebut2 keterkaitan Anas selesai dan diputuskan. Keterangan atau kesaksian yg diputuskan hakim sebagai kebenaran, sbagai fakta akan ditindak lanjuti”. Ketegasan contoh seperti ini, akan lebih melegakan, ketimbang membuka sedikit ruang dan bahan perbincangan, namun menunda2 penyelesaian.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 22 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar