KEIKHLASAN KELUARGA DALAM HUKUM

Tempo hari kebetulan sy juga tengah berada di tol lingkar dalam jakarta, saat selang beberapa jam kemudian putera bungsu Hatta Radjasa (Rasyid Amrullah) terlibat insiden kecelakaan di ruas tol jagorawi. Di jalan2 utama kota Jakarta suasana setelah tahun baru memang masih ramai, tapi pagi menjelang subuh di hari pertama tahun baru lalu lintas jalan tol justru agak ‘lengang’. Sama sekali tak ada kemacetan, hingga siapapun pengendara mobil leluasa melaju dgn kecepatan nyaris maksimal (asal punya nyali plus mobilnya masih sehat). Saya pikir situasi sama terjadi pula di ruas jagorawi, makanya Rasyid memacu BMW X5 nya dengan kecepatan sejauh 140-an km/jam yg mungkin hampir separuh dr kecepatan maksimal mobil buatan eropa trsebut. Wah, ngebut banget klo begitu..iya, tp di jalan tol buat mobil2 pribadi malah jadi bahan tertawaan pengemudi lain, klo anda cuma jalan 50-60 km/jam. Artinya, mobil BMW milik Rasyid amat layak untuk melaju dgn kecepatan di atas 100 km (cuman klo menurut aturan yg dibikin jasamarga, sbetulnya g boleh melaju sampai 140 km di tol).

Persoalannya, jalan tol sbetulnya area berbahaya jika kita tdk terbiasa mengemudi di jalan bebas hambatan ini. Musuh utama pengemudi, di luar pengendara lain adalah ngantuk dan kondisi mobil. Jalanan yg relatif lengang, lurus dan mulus justru mudah mengundang kantuk tiba2, terutama saat berada di ruang berAC, ditemani musik slow dan duduk di kursi super lux milik BMW X5 seharga 1,4 M. Rasyid besar kemungkinan belum tidur setelah larut dgn histeria perayaan tahun baru. Saya sendri praktis tak menikmati suasana tahun baruan, setelah siang sbelumnya terlalu capek berkeliaran di sekitar pertokoan senin. Maka cukup tidur adlah modal utama bagi setiap pengendara. Karenanya, sungguh masuk akal bila ngantuk menjadi penyebab utama terjadinya musibah yg melibatkan Rasyid Amrullah.

Kabar terakhir menyebutkan pihak keluarga korban tak berniat menuntut Rasyid, tapi menuntut atau ngga, kecelakaan lalu lintas bukan termasuk delik aduan, jd kasusnya harus tetap diproses secara hukum, biasanya sih sangkaan yg dikenakan seputar kelalaian. Klo kejadiannya di daerah kadang peristiwa kecelakaan sekalipun menyebabkan jatuhnya korban jiwa sejauh tidak diketahui polisi terkadang diakhiri dgn penyelesaian secara kekeluargaan. Umumnya kompensasi uang dlm jumlah besar  dianggap sbagai langkah win-win solution bagi kedua belah pihak. Bila langkah ini yg ditempuh pihak keluarga, pertimbangannya umumnya sderhana saja, “ngapain ngadu ke polisi, bikin ribet, toh yg meninggal ngga mungkin balik lagi, mending mikir masa depan anak2 yg ditinggalkan”. Akhirnya, kompensasi uang menjadi faktor yg lebih diharapkan dr pada proses hukum dan hal ini memang menjadi reaksi yg paling realistis. Kalau anda kebetulan bepergian ke daerah tertentu yg agak sepi di Sumatera, jangan kaget bila ada motor yg tiba2 menyerempet mobil anda dan aksi disengaja ini lantas menjadi alasan pembenar untuk melakukan pemerasan.

Penyelesaian dgn cara damai atau secara kekeluargaan memang menurut hukum postif yg berlaku di negara kita memang ada, namun ruang lingkupnya terbatas, biasanya terhadap kasus2 delik aduan seperti perzinahan, kekerasan dlm keluarga, pencemaran nama baik dan perkara2 yg bersifat pribadi. Sementara dlm hukum Islam, kemungkinan perdamaian atas perkara hukum justru lebih baik, bahkan menyangkut perkara2 pidana murni, seperti pembunuhan sekalipun proses hukum. Misalnya seseorang yg di pengadilan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan, lalu oleh hakim dijatuhi hukuman qishas berupa hukuman mati, maka kewenangan tertinggi soal jadi atau tidaknya pelaksanaan diserahkan pada keputusan keluarga. Mengapa? sebab pihak yg paling dirugikan dan paling berhak menuntut atas terbunuhnya seseorang adlah keluarganya. Negara hanya bertindak sebagai fasilitator untuk memastikan kebenaran adanya suatu peristiwa hukum, pembuktian dan menjamin bahwa keadilan telah ditegakkan. Dlm konteks ini maka hukum itu sebetulnya tidak kaku dan meletakkan aspek kemanusiaan pada derajad yg semestinya. Hukum tdk hanya soal siapa yg benar dan salah, bukan cuma soal hukuman, namun juga menjadi jalan keluar terbaik baik bagi pelaku, korban dan keluarganya serta masyarakat.

Saya sendiri berharap negara mengadopsi konsep hukum Islam yg memberikan porsi yg cukup besar bagi keluarga korban untuk memiliki ruang keadilan yg lebih besar, khususnya terhadap kasus2 yg bersifat pribadi. Selama ini produk2 hukum di negara kita belum cukup memberikan kepuasan dan rasa keadilan, mengingat sangat jarang kasus2 pembunuhan diganjar dgn hukuman yg setimpal. Hanya kasus2 pembunuhan yg menggemparkan saja yg biasanya menjadi atensi masyarakat yg sanksinya berat, kebanyakan kasus2 pembunuhan pelakunya dihukum tak lebih dr 15 tahun penjara. Hukuman seperti ini sbetulnya tidak adil, bukan saja bagi keluarga korban tapi juga pelaku, karena hukuman yg tidak sejenis dengan perbuatan pidana lebih susah diukur tingkat kesetaraan keadilannya. Lah, klo begitu misalnya kayak Rasyid apa harus dihukum tabrak juga? Ya ngga begitu. Dlm hukum kan ada istilah motif,  ada unsur kesengajaan dan niat jahat. Faktor2 seperti ini akan sangat menentukan bobot hukuman, dan ketika seseorang dihukum ringan karena keluarga korban berdasarkan fakta persidangan tidak melihat adanya perencanaan, kesengajaan dan niat jahat, tentu saja mereka tidak keberatan. Sekali lagi hukum positif itu lahir karena adanya komunitas manusia dan karenanya segala proses hukum serta produk2 yg ditimbulkan harus berlandaskan nilai2 kemanusiaan.

Dlm kasus Rasyid Amrullah Radjasa, saya melihat prosesnya berjalan wajar, sekalipun sulit menepiskan kesan diskriminasi. Bila pelakunya masyarakat biasa, polisi umumnya tak akan mempedulikan aspek stres dan beban psikologis pelaku, tak perlu menunggu lama, dilihat tak ada luka fisik, begitu diamankan akan langsung ditahan. Seharusnya sih memang begitu, karena bukti dan saksinya sudah kuat. Cuma, memang apapun kejahatannya, hukum tidak sepatutnya tdk mengesampingkan aspek psikologis baik pelaku maupun korban. Dua2nya harus diobservasi dan menggunakan pula pendekatan psikologis dgn bekerja sama dgn pihak psikolog. Ketika seorang pelaku sudah menemukan kesadaran dan kesehatan psikis, maka ia akan lebih menyadari suatu konsekuensi hukum serta mampu menumbuhkan sikap bertanggungjawab. Selama ini, banyak pelaku kejahatan maupun kasus2 kecelakaan yg bersikap plin-plan dan banyak berbohong saat diperiksa, karena mereka tidak dipersiapkan secara psikologis. Saya sendiri tidak tahu sejauhmana keterlibatan psikolog dlm kasus2 hukum, yg jelas bagi saya peran psikolog amat penting dan semestinya hal ini diatur pula dlm konstruksi hukum positif di negara kita.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 4 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar