ANTARA CURIGA DAN BURUK SANGKA


Ketika Rangga Nugraha, saksi kunci kecelakaan yg melibatkan putera menteri Hatta Radjasa menguraikan kronologis kejadian perkara sesuai apa yg ia saksikan melalui twitter dan tidak lama berselang cerita Rangga segera di ekspose wartawan, muncul banyak pergunjingan, macam2..tapi sebagian besar komentar klo kita ikuti beritanya via detik.com, cenderung memandang sinis apa yg diungkapkan Rangga. Saksi palsu!..rekayasa..pengen tenar, pengen duit dan segala macam prasangka buruk yg bernada melecehkan sekaligus meragukan kesaksian Rangga. Tapi begitu pemuda yg cukup intelek ini menyerahkan video yg merekam sedikit peristiwa saat kecelakaan belum lama terjadi ke salah satu stasiun TV, yg tadinya koar2 dgn segala macam tuduhan tiba2 mingkem. Tapi ada jg beberapa yg masih ngeyel, kali ini mempertanyakan motif Rangga, “udah nganterin korban ke rumah sakit, eh balik lg ke TKP, ngapain sih, emang td tujuannya mo kemana, kok ketoke turah2 waktu..”.

Komentar saya sih singkat aja, klo mau ngomong mbok yao dipikir dulu pake otak, jangan keseringan mikir make perasaan. Ada org yg berinisiatif menjd pahlawan, kok malah dapat hujatan. Klo waktu itu kita dlm posisi Rangga, menjd saksi kecelakaan, apa yg akan kita lakukan? Kebanyakan sih, liat2 sbentar buat bahan cerita ke org2, ngga usah pake turun mobil, “ngapian sih repot2..entar jg ada yg nolong”. Habis itu ngacir deh. Tpi Rangga beda, ia tidak hanya punya kecerdasan intelektual, tp juga punya kecerdasan sosial. Ia berhenti, bertindak dgn akal sehat, mengorbankan waktu pribadinya, mengorbankan mobilnya untuk ngangkut korban, bahkan punya rasa tanggungjawab besar untuk kembali ke TKP guna menyerahkan SIM milik Rasyid ke petugas yg berwenang. Lalu motifnya apa? begini ini klo terlalu hobi make batik, senangnya yg bermotif. Motivasi itu letaknya ada di dalam hati, bukan kewenangan manusia menilai apa yg tdk tampak oleh pandangan mata kita. Sejauh yg saya amati banyak diantara kita yg dulu waktu kecil cita2nya pengen jd hakim, jd klo melihat, membaca atau mendengar sesuatu yg sedang diperbincangkan banyak org senengnya lantas menghakimi. Akhirnya yg terjadi biasanya buruk sangka yg dikombinasikan dgn tuduhan yg mengarah pd fitnah.

Tadi pagi, tiba2 Presiden SBY melakukan kunjungan kerja diam2 (yg lantas sekrang mulai populer diistilahkan dgn sebutan “blusukan”), ke perkampungan nelayan di Tangerang. Seperti biasa, stasiun TV paling getol klo jd provokator. Peristiwa ini lantas dibesar2kan dgn topik perbincangan, Presiden SBY meniru gaya “blusukan” ala Jokowi. Lah, buat saya..”klo pun iya, emangnya kenapa? Emang salah ya klo meniru tindakan yg baik2?” Mereka yg sinis akan bilang, “kenapa baru sekarang, bro..kemarin2 kemana?”. Emang baru sekarang kok diprogramkan bahwa presiden SBY berencana akan lebih banyak turba (turun ke bawah) dlm rentang waktu dua tahun ke depan. “Oo..ceritanya SBY dah sadar sekarang, terinspirasi suksesnya pencitraan Jokowi, ya...pengen khusnul khotimah”. Klo dasarnya ngga suka, biasanya org akan cenderung bereaksi negatif, apapun bisa dijadikan bahan untuk berprasangka buruk.

Mungkin memang kalimat gampangnya, gaya blusukan Pak SBY meniru gayanya Pak Jokowi. Mungkin inisiatif pribadi beliau, mungkin pula masukan dr staf2 ahlinya. Apakah motifnya pencitraan? Lg2 sy kurang sreg membahas motif, apalagi untuk konotasi sesuatu yg negatif atas tindakan2 baik. Apalagi sbetulnya pencitraan itu fine2 aja, semua org butuh pencitraan. Org tua butuh melakukan pencitraan agar citranya baik dlm pandangan putera-puterinya. Para guru butuh pencitraan agar menimbulkan kesan baik bagi murid2nya. Jd, ngga penting bnget membahas pencitraan. Sy lebih suka menyebutnya, Pak SBY ingin khusnul khotimah di dua tahun terakhir jabatannya. Maka, ia perlu melakukan beberapa hal yg sbetulny diluar karakter / kepribadian asli SBY, terutama dlm menjln interaksi.

SBY jelas bukan pribadi yg sombong, angkuh atau tdk egaliter, Cuma memang sejauh yg sy amati dr tekstur wajah dan bahasa tubuh, ia bukanlah tipikal org yg luwes dan enjoy going. Ia jauh dr gaya dan pembawaan ala Gus Dur yg penampilannya sangat informal. SBY adlah pemimpin formalistik dlm artian ia menyukai formalitas, jalan hidup di kemiliteran jg mempengaruhi minatnya pd sesuatu yg bersifat protokoler dan aturan main. Klo pun melakukan kunjungan kerja, maka seperti halnya umumnya para pejabat, kunjungan kerja tersebut harus ada dlm agenda, direncanakan secara matang, dan berjalan pula sebagaimana mestinya. Ia bukan tipikal org yg punya karakter spontan seperti Jokowi atau Dahlan Iskan misalnya. Namanya juga karakter, maka selama ini gaya kepemimpinan SBY murni sesuai karakter aslinya. Tak dpt dipungkiri apa yg dilakukan Jokowi yg lantas digembor2kan oleh media, memang menjd inspirasi bagi pejabat dan calon pejabat lain, tak terkecuali barangkali termasuk Pak SBY.

Selama ini SBY bukan tdk punya kesadaran untuk turun langsung melakukan sidak2 tanpa direpotkan dgn protokoler, tp beliau adlh org yg sngat mengedepankan kehati2an, baik dlm pikiran, pembicaraan dan tindakan. Kendala terbesar soal kehati2an untuk melakukan sidak menurut sy pertimbangan keamanan. Terlalu sering sidak dr segi keamanan rentan memicu insiden2 penyerangan, apalagi negara kita belum sepenuhnya terbebas dr terorisme. Oleh karena itu, klo memang presiden SBY punya program akan lebih banyak lg terjun ke lapangan, maka aspek kerahasiaan menjd kunci utama, tak perlu bawa banyak pejabat, tak perlu jg kasih kabar ke media. Esensinya kan istilahnya “belanja masalah” atau menemukan masalah dr tngan pertama, maka buat apa harus rame2 diekspose. Nanti malah muncul reaksi dan tuduhan tentang pencitraan.

Sbagai bangsa kita harus merasa bersyukur, dari lima presiden yg pernah menjabat, seluruhnya adlah org2 baik dgn segala keunggulan dan kelemahan masing2. Saya mungkin sering mengkritik Bung Karno, tapi sy tetap mengakui beliau adlah org baik dgn jasa2 yg sangat besar bagi negeri ini. Saya tumbuh dewasa di era Pak Harto, ini pemimpin Indonesia yg sy idolakan, sekalipun tak bisa dipungkiri beliau punya catatan kesalahan yg mungkin relatif besar. Lalu Pak Habibie, kita tak bisa menyangsikan integritas dan loyalitasnya pada negara ini, Bu Mega juga demikian. Sebagian publik mungkin menilai Bu Mega tdk cukup kapabel dan cerdas untuk jd presiden, tapi untuk jd presiden tdk harus yg jenius, yg terpenting ia punya jiwa kepemimpinan dan niat baik. Bu Mega memiliki dua aspek tersebut. Gus Dur jg begitu, ia tokoh ulama yg kharismatik, sekalipun sering nyeleneh. Tp kita harus angkat jempol untuk komitmen dan cara pandang Gus Dur dlm mengelola negara, sekalipun ada sejumlah kebijakan yg jd kontroversi. Satu dekade ini kita dipimpin oleh SBY, beliau jg merupakan pribadi yg baik, barangkali ada beberapa hal yg tidak kita setujui dr kepemimpinannya, namun itu tak bisa menjd alasan untuk meragukan karya dan jasanya bagi negara kita.

Salah satu tema sejarah keislaman yg menyebut akhir zaman salah satunya tentang Dajjal. Diantara ciri khas dajjal adlah ia dikatakan simbol penyebar fitnah2 besar. Klo kita saksikan bagaimana realita dan fenomena sosial-kemasyarakatan di zaman kita, maka sadar atau tidak, kita sering sekali menyaksikan pergunjingan yg mengarah pd prasangka buruk, lalu berujung pd tudingan bernuansa fitnah dan informasi2 yg menyesatkan. Artinya siapapun dr kita mudah sekali terjebak untuk mengfitnah org lain (baik yg kita kenal maupun tdk) atau menjd korban fitnah. Karena itu, cara hidup yg tepat di era seperti ini adlah hati2 dlm berkomentar, hati2 dlm memberikan informasi negatif yg menyangkut pribadi org lain, dan berusaha melaksanakan pesan Rosulullah, dlm bahasa sederhananya: “Berbicaralah dengan sesuatu yg baik dan bermanfaat saja atau klo tidak, maka diamlah”.

 Masak sih ngga boleh menaruh curiga..tentu boleh curiga dan waspada, tp kecurigaan itu harus berlandaskan fakta. Boleh sj mengembangkan analisa pd perkiraan2 tertentu, namun sbaiknya tidak menyebarkan perkiraan negatif yg berangkat dr asumsi dan kesan. Klo ada org tajir yg menyumbang masjid, maka mending lihat sj tindakan menyumbangnya, jangan bergeser pd pencarian motif, “jangan2 dia mau jd ini..kayaknya dia mau jd itu..”. Bahkan klo pun benar ada org yg bikin aksi sosial gara2 ini pengen jd bupati, lantas pada saat acara ia berkampanye, lengkap dgn baliho besar bergambar dirinya, pikiran kita sebaiknya sederhana saja, lihat saja aksi sosial itu sebatas cara pikir tentang kemanusiaan, dan abaikan saja sisi politisnya. Klo ada caleg yg bagi2 duit, biarin aja..ngga usah digrundelin macam2, klo memang melanggar aturan, tinggal dilaporkan aja, waktu pemilihan ngga usah dipilih, kan gampang itu..(teori memang gampang, prakteknya yg susah hehe..).

Akhir dr catatan ini, guru terbaik adlah sejarah dan pengalaman hidup. Segala macam tabiat baik dan tabiat buruk adlah pengalaman berharga buat kita. Pengalaman jngan cuma jd bahan cerita, pengalaman adlah pelajaran agar kita berbuat atau tidak berbuat sesuatu berdasarkan dampak2 (negatif atau positif) yg diperoleh oleh pengalaman hidup tersebut. Di sekitar kita ada banyak manusia2 yg telah lebih tua, yg telah kenyang dgn pengalaman pahit-manis kehidupan, pada merekalah kita menarik pelajaran. Dlm hal pemimpin negara, kita pernah dipimpin Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega dan Pak SBY, kita dgn jernih dpt membaca sejarah dan pengalaman hidup mereka, untuk menjd bahan pertimbangan agar kita bisa memilih pemimpin2 bangsa yg lebih baik. Tanggungjawab negara ini bukan hanya dipikul oleh org2 yg terpilih, segala dampak dan kelangsungan negara ini juga menjadi tanggungjawab semua org yg diberikan hak untuk memilih pemimpin. Pada saatnya setiap penanggungjawab harus bersedia dimintai pertanggungjawaban.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 4 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar