ARTI UJIAN, TES DAN ULANGAN

UJIAN


Pagi itu sejumlah guru tengah duduk bersantai di ruang guru. Waktu menunjukkan pukul 10. Mereka tampak menikmati saat istirahat sebelum kembali melaksanakan kegiatan pembelajaran, sambil mengobrol. Di sela2 perbincangan, seorang wakil kepala sekolah bidang kurikulum nyeletuk, ”Bapak2..Ibu2..jangan lupa soal nilai ujian. Sesuai edaran dari dinas, jangan sampai ada nilai di bawah 7 ya..” Para guru cuma tersenyum kecut. Mungkin merasa miris karena jangankan ujian nasional yg item pertanyaannya lumayan sulit, ulangan harian atau semesteran saja banyak siswa yg nilainya tidak mampu menjangkau angka 5. Walau disisi lain sebenarnya mereka justru enak, karena ngga perlu repot2 mengoreksi hasil ujian sekolah, jd siswa yg guoblok banget tinggal dikasih nilai 7 (bahkan pada mata pelajaran tertentu harus diberikan minimal nilai 7,5), selebihnya tinggal menyesuaikan. Yg penting ’katrolan’ nilainya ngga ’luar biasa’ berlebihan. 

Bagaimanapun bapak-guru itu mesti terbayang juga, bagaimana raut wajah2 siswa yg tampak tegang, bahkan ada yg terlihat ngantuk, mungkin semalaman suntuk belajar, penuh kekhawatiran tak lulus sekolah, sementara tanpa mereka ketahui ujian yg mereka lalui semata2 cuma formalitas belaka. 

Kisah yg tengah saya tuturkan ini bukan karangan fiktif, malah mungkin justru cerita biasa. Saya yakin tidak terjadi di semua tempat, tapi saya percaya praktek semacam ini sudah jadi tradisi di banyak daerah. Semua jelas gara2 negara..negara-lah yg memaksa guru dan sekolah melunturkan idealisme dan jati diri sebagai pendidik dan lembaga pendidikan. Apa yg bisa kita bilang, ketika para guru seringkali menasehati siswa untuk berlaku jujur, tidak curang, tidak memanipulasi kenyataan, tapi justru mereka (dan kita) takluk dan bertekuk lutut atas kuasa atasan dan pejabat pemerintahan terkait yg bermental korup. 

Pada akhirnya, negara memang menguasai dan mungkin berkepentingan atas nilai2 di atas kertas yg tertuang melalui ijazah yg selama ini harus diakui telah menjadi tujuan utama sebagian pembelajar. Mulai dari tingkat SD sampai jenjang doktoral. Walau bagaimanapun guru dituntut berurusan dgn nilai2 formalistik, sy yakin banyak diantara mereka tidak kehilangan supremasi atas proses pendidikan. Merekalah org2 yg paling tahu kondisi dan situasi anak didiknya. Tidak sedikit yg memilih mengabaikan prosedur dan kurikulum yg disodorkan pemerintah yg ternyata acapkali terlalu melambung tinggi standarnya itu, dan bertahan dgn konsep pengajaran dan pembelajaran yg lebih realistis. Apalah artinya memberikan sesuatu yg banyak pada siswa, sementara kesanggupan siswa menerima hanya sedikit. Ibarat punya air satu timba disiramkan pada botol susu bayi. Malah sedikit aja yg ’nyantol’. 

Kenapa prestasi ’murni ’siswa di indonesia (rata2) terbilang rendah. Bagi saya kunci permasalahannya ada 3, kualitas pendidik yg rendah, kualitas pejabat pemerintah bidang pendidikan yg rendah dan fasilitas sekolah yg memprihatinkan. Untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru, pemerintah punya program sertifikasi, namun secara praktek itu cuma program bull shit, semata2 cuma tentang ekonomi dan kesejahteraan guru. Pada catatan terdahulu, saya pernah berpendapat ujian nasional (saat ini) cuma pantas buat guru dan calon guru, bukan siswa. Karena logikanya, kalau guru itu betul berkualitas maka bisa menggaransi kualitas siswa. Karena banyak guru tidak punya kualitas memadai, maka dampaknya menyentuh pula pada aspek manajerial sekolah. 

Kedua, kualitas pejabat pemerintah. Saya sungguh tdk percaya indikator kompetensi itu selalu diukur dr titel kesarjanaan. Kalau pejabatnya ngga berkualitas, maka kebijakan2nya juga sering tidak tepat dan sesuai dgn apa yg sesungguhnya dibutuhkan siswa, guru dan sekolah. Apalagi pejabat2 yg hobi cari duit lewat proyek. Baik proyek bangunan, perpustakaan, buku, lab, macam2 caranya. Tinggal memelihara mafia, cari sekolah yg mau dibangun, atau dikasih perpustakaan, asal ngasih fee sekian puluh persen. 

Ketiga, fasilitas sekolah yg alakadarnya. Bagaimanapun kita hidup di alam teknologi dan informasi, dimana tugas guru zaman sekarang jauh lebih berat dibanding tugas guru 20 tahun lalu. Dulu, namanya anak2, tahunya cuma sekolah, TVRI dan permainan tradisional. Sekarang godaan aktivitas diluar sekolah bagi siswa lebih banyak, dan guru semakin kehilangan daya tarik klo ngajar cuma mengandalkan metode ceramah dan tanya jawab. Pada situasi seperti itu, amat penting bagi guru menguasai teori pembelajaran, sekaligus pula teknologi pendidikan. Saya pernah punya pengalaman tidak mengenakkan mengajar di sebuah sekolah, kebetulan dipercayakan pelajaran Tikom. Sekolah ini secara fisik termasuk paling bagus (maklum dulu pernah dpt bantuan 1 M dr Australia), ada lab komputer, lab bahasa, cuma ironisnya ngga punya LCD proyektor. Saya tidak ingin menggugat keterbatasan sekolah, saya tidak mempermasalahkan mata pelajarannya, tp yg ingin saya kritik lha kok materi Tikom itu isinya dominan tentang komputer dan internet. Okelah, klo sekolahnya punya lab komputer atau setidaknya tersedia LCD proyektor, tp klo punya-nya cuma buku doang? Gimana guru mau menerangkan ms excel, powerpoint, lah memangnya bisa cukup ngomong, ”ayo..anak2, bayangkan...”, paling kegiatannya klo ngga dikte ya cerita ngalor-ngidul. 

Hingga hari ini, saya sepakat dgn Mahkamah Agung yg memutuskan peniadaan ujian nasional. Sayangnya pemerintahnya ndableg, ngomongnya selalu patuh aturan, supremasi hukum, tp begitu ada putusan yg tidak dikehendaki, tetep ngeyel. Bahwa siswa yg telah mengikuti satu jenjang pendidikan harus diukur dan dievaluasi kelayakan untuk lulus atau tidak, itu satu keniscayaan. Tapi konsepnya tidak boleh mengorbankan masa depan siapapun, baik masa depan siswa, masa depan guru maupun masa depan sekolah. Coba kita bayangkan, klo seandainya satu sekolah separuh siswanya ngga lulus ujian nasional, kira2 begitu tahun ajaran baru dibuka, masih ada ngga yg mo sekolah disitu. Tidak sesederhana yg dibayangkan. 

Itulah mengapa saya berpendapat, klopun ujian nasional tetap dipertahankan, maka itu sebaiknya ditujukan sebelum kelas akhir, artinya klo SD di penghujung kelas V, SMP kelas VIII dan SMA kelas XI. Lho, kok aneh? Ini erat kaitannya soal psikologis para siswa dan orang tua. Klo siswa kelas VI, IX dan IX, begitu ujian nasional ngga lulus, hampir bisa dipastikan mereka bakal ’mogol’ bin ’mutung’, ngga mau sekolah lagi. Situasi ini berbahaya dr aspek masa depan, terutama bagi siswa jenjang SD dan SMP yg secara fisik serta mental belum termasuk angkatan kerja. Klo anak2 usia Abg kok ngga mau sekolah lg, biasanya perilakunya menjurus ke kenakalan remaja dan kriminalitas. Intinya, siswa (juga orang tuanya) tidak pernah siap secara psikologis gagal lulus sekolah. Tapi mereka masih bisa memahami adanya tidak naik kelas. Ngga naik kelas itu kondisi yg lumrah terjadi, maka ujian nasional sebaiknya (menurut saya), bila konsepnya kebijakan pemerintah untuk menjaga standar pendidikan nasional sebagai alat ukur keberhasilan siswa menyerap materi pelajaran, maka itu bisa dilaksanakan diakhir kelas V, VII dan XI. Konsekuensi klo ngga lulus ujian nasional, ya ngga naik kelas. 

Lah, klo siswa dah ikut duluan ujian nasional, nanti begitu di kelas akhir (VI, IX dan XII), siswa bakal ogah2an dong belajar. Tidak juga, sebab mereka diakhir tahun ajaran harus mengikuti ujian sekolah, artinya hanya guru dan sekolahlah yg menentukan siapa yg lulus atau tidak. Klo misalnya tidak lulus, biarkan menjadi kebijakan sekolah masing2 seperti apa tindak lanjutnya. Klo berangkat dr pendapat ini, akan ada titik temu, ujian nasional di dikelas V, VIII dan XI adalah kepentingan pemerintah. Ujian sekolah di kelas VI, IX dan XII adalah kepentingan masing2 sekolah atas peserta didiknya. 
Akhirnya, ini cuma sekedar urun pendapat, walau saya tidak yakin akan jd kenyataan (kecuali saya yg jd menterinya, hehe...). wassalam.


oleh Ainul Huda Afandi pada 8 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar