KUALITAS


Suatu hari ada seorang guru muda yg tengah bimbang, saat ia harus memberi nilai mid semester satu mata pelajaran dimana ia adalah pengajarnya. Ia galau sebab dari sekian puluh siswa rata2 nilainya dibawah 5, bahkan ada siswa yg hanya benar 1 dari 10 pertanyaan essai, itu pun soal paling mudah dimana siswa tinggal menyalin saja. Nilai terbaik yg dicapai siswa hanya angka 6, satu org. Seandainya KKM pelajaran mensyaratkan siswa minimal mencapai nilai 6, 5 maka seluruh siswa ngga ada yg tuntas. Terpaksa, demi menjaga nama baik sekolah si guru muda tersebut mengadakan ‘remedial’. Padahal ketika menyusun soal, pertanyaan yg diajukan relatif mudah, bahkan sudah diajarkan sejak SD.

Guru ini bingung, ini yg ngga kompeten gurunya atau emang murid2nya yg dasar masuk kategori ‘geblek’. Jelas ada yg ngga beres, begitu pikirnya. Si guru tadi punya pemikiran benar ketika ia menyadari pasti ada sesuatu yg ngga beres, beliau jg sudah punya reaksi psikis yg benar ketika merasa resah atas buruknya prestasi belajar murid2nya. Klo tetep nyantai aja, brarti dia ngga punya jiwa guru, lebih jelas lagi dia ngga layak jadi guru.

Prestasi belajar memang hanyalah indikator normatif untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan sebuah proses belajar mengajar. Sekaligus pula menjadi alat ukur yg relevan untuk menilai tingkat kualitas yg telah dicapai. Bagi guru dan sekolah, apa yg dicapai siswa akan merefleksikan dan merepresentasikan seperti apa kompetensi para guru, begitu pula dgn kualitas sekolah. Klo siswa rata2 nilainya bagus, dapat dipersepsikan gurunya juga bagus (walau sebenarnya ngga selalu begitu).

Belum lama ini, saya mendengar pertanyaan bernada keluhan dr seorang guru tentang gimana caranya agar sekolah ditempatnya mengajar bisa banyak muridnya..sehingga setiap tahun tak perlu cemas dan sibuk menjaring siswa baru. Sebuah pertanyaan normal dan sebenarnya menjadi permasalahan mendasar bagi banyak sekolah lain di indonesia,  terutama sekolah2 swasta. Saya paham, keinginan punya banyak siswa memiliki beberapa makna, bisa karena siswa banyak tentu akan lebih menjamin masa depan dan eksistensi sekolah, bisa pula bermakna semakin banyak siswa berarti semakin besar punya perolehan dana BOS, dampaknya ada efek kesejahteraan yg lebih baik buat para guru.

Namun, menciptakan sekolah dgn siswa berlimpah jelas bukan perkara gampang.  Butuh proses dan perjuangan tanpa bosan. Tidak cukup sekedar menyediakan guru yg seluruhnya sarjana atau fasilitas gedung sudah layak. Ada sejumlah faktor yg mesti dilihat sebagai faktor pendukung atau faktor penghambat.

Pertama, lokasi sekolah. Klo kita mendirikan sekolah yg jauh dr pemukiman warga, atau potensi siswanya tak banyak maka kita akan kesulitan mencapai target siswa yg diharapkan. Potensi siswa ini secara sederhana bisa dilihat dr jumlah siswa dan jumlah sekolah ditingkatan yg lebih rendah yg ada disekitar sekolah.

Kedua, faktor kompetisi. Klo kita membangun sekolah dgn label SMA tak jauh dr SMA lainnya, maka berarti kita sengaja menempatkan diri pd situasi rumit. Kecuali mereka punya corak berbeda, misalnya SMK atau MA.

Ketiga, ketersediaan fasilitas memadai, bagaimanapun sarana tempat belajar adalah salah satu daya tarik utama bagi calon siswa.  Sayangnya masih banyak Yayasan atau lembaga penyelenggara pendidikan yg dananya cekak, mendirikan sekolah hanya bermodal semangat doang. Lalu menggantungkan hidup pd bantuan dana dr pemerintah berupa bantuan BOS atau bentuk bantuan lainnya.

Keempat, menyediakan guru dengan kualifikasi pendidikan yg relevan. Relevan maksudnya klo ngajar bahasa inggris ya idealnya si guru lulusan program studi penddkan bhs inggris, jngan lulusan PAI suruh ngajar Bahasa inggris. Sebab ini terkait dgn kompetensi dan pemahaman teoritis pembelajaran. Sayangnya masih banyak sekolah yg cenderung sembarangan, katanya susah cari guru klo linear dgn kualifikasi penddkan. Memang benar, contohnya gak mudah buat sekolah mencari guru lulusan pendidikan olahraga, karena perguruan tinggi yg membuka prodi ini masih terbilang langka.

Kelima, mempersiapkan sistem atau tata kelola. Bagaimana dgn pembagian tugas dan kewenangan, alur pertanggungjawaban yg jelas dan sistematis. Masih mudah ditemui ada sekolah yg antar personal guru terlibat konflik dan disharmonisasi yg diakibatkan kelemahan sistem. Hanya saja, memang tata kelola sekolah berbeda dgn gaya leadership yg berlaku di perusahaan atau instansi pemerintah yg didominasi pola kerja top-down, atasan dan bawahan. Hubungan kerja disekolah tak bisa se-kaku itu, pola kepemimpinannya harus banyak bersifat kemitraan dan koordinatif. Ini disebabkan ‘nilai tawar’ yg disodorkan sekolah pd guru tidak sebesar perusahaan, kecuali sekolah2 bonafid yg sanggup memberi gaji tinggi pd guru2nya. Penguatan sistem jg berlaku buat siswa, jd sekolah harus punya prosedur tetap yg jelas bagi siswa, bagaimana sistem penerimaan, penanganan siswa bermasalah, termasuk bila terpaksa harus mengeluarkan siswa dr sekolah.

Keenam, penataan kurikulum. Sekolah memang sewajarnya mengikuti kurikulum baku yg ditetapkan pemerintah. Namun, sebenarnya sekolah punya keleluasaan menentukan mata pelajaran sekunder (diluar yg ada UN-nya) dgn menyesuaikan pd kebutuhan siswa, termasuk kesiapan sekolah mengajarkan mata pelajaran tersebut. Misalnya saja pelajaran TIK. Ini mata pelajaran yg terhitung berat, sebab selain gurunya harus memiliki pengetahuan mendasar tentang Teknologi Informasi dan Komunikasi, juga mensyaratkan ketersediaan sarana penunjang, berupa lab komputer atau setidaknya laptop dan LCD proyektor. Sebab ini memang mata pelajaran yg bersifat teknis, sebab kajiannya tidak terfokus seputar informasi dan komunikasi, tp pd teknologi atau media perantara. Pembelajaran tdk akan efektif klo siswa cuma mencatat materi dan metode guru hanya ceramah.

Ketujuh, pencitraan. Klo sistem dan tata kelola berjalan dgn baik, guru2 disiplin dan punya komitmen untuk aktif mengajar, siswa bermasalah selalu ditangani secara tepat serta sekolah memiliki sejumlah program andalan, maka citra baik akan terbangun dgn sendirinya. Dan ‘humas’ yg paling efektif untuk mempromosikan sekolah sejatinya berasal dr siswa sendiri. Klo siswa cinta dan bangga dgn sekolahnya, dgn sendirinya dr mulut ke mulut mereka akan bergerak mempopulerkan nama sekolah.

Kedelapan, kreatifitas dan inisiatif guru. Sekolah yg berkualitas akan punya dinamika dan semangat berprestasi. Guru2nya akan selalu bergerak keluar dr zona nyaman dan rutinitas, bisa melalui aktifitas di mgmp, membuat karya tulis atau bentuk prestasi pribadi lainnya. Sederet guru yg berprestasi niscaya akan memancing gairah dan memberi inspirasi untuk berprestasi pd diri siswa.

Kesembilan, sekolah harus rajin membuat evaluasi, refleksi dan studi perbandingan. Secara berkala harus ada agenda kunjungan ke sekolah2 yg dianggap sekolah model, untuk belajar banyak hal, sekaligus membuat perbandingan sejauh mana perbedaan level kualitas antara sekolahnya dgn sekolah model td. Pasti banyak manfaat yg bisa didapat, karena model studi banding biasanya mampu menggugah semangat untuk melihat apa saja yg memungkinkan dlm jangka waktu dekat untuk ditiru dan dijadikan acuan.

Kesepuluh, secara normatif  umumnya sekolah sudah punya visi dan misi. Namun, untuk menjamin terciptanya kualitas, sekolah harus punya satu-dua org yg punya visi dan pemahaman bagus tentang hakekat lembaga pendidikan. Org2 yg punya visi biasanya tidak gemar membahas soal nominal gaji, insentif dan semacamnya (sekalipun itu jg penting), ia lebih suka bicara soal gagasan, konsep dan permasalahan substansial sekolah. Org2 yg punya visi biasanya memiliki idealisme dan prinsip2 yg akan teguh dipertahankan.
Akhirnya, persoalan kualitas adalah tema penting bagi dunia pendidkan di indonesia yg selama ini baru sebatas konsep normatif yg terlihat sempurna di atas kertas, sementra realitasnya masih carut marut. Kita patut kecewa pendidikan nasional kita sejauh ini dipimpin oleh menteri2 bertitel profesor, akademisi dan intelektual berprestasi secara pribadi, sayang tdk punya cukup keberanian, minim gagasan brilyan yg mampu membangun rasa optimisme kita.

oleh Ainul Huda Afandi pada 19 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar