ARTI DAN HAKEKAT HUKUM MANUSIA

Adalah Profesor Mahfud MD, Ketua MK yang menyatakan ”narkoba itu lebih berbahaya ketimbang korupsi dan terorisme.” Beliau benar, sebab narkoba membunuh jutaan orang secara perlahan, terorisme membunuh korban dalam sekejab (yg umumnya tidak sampai jutaan nyawa), sementara korupsi tidak berakibat mematikan. Walau pun ketiganya memiliki persamaan dlm hal akibat, yaitu sama2 menimbulkan penderitaan. 



Pernyataan Pak Mahfud tersebut sebagai komentar atas pemberian grasi buat terpidana kasus narkoba asal australia, Corby. Saya sendiri ngga heran, karena SBY memang tipikal org yg peduli terhadap citra. Politik pencitraan dlm dunia politik kekuasaan modern sesungguhnya hal yg lumrah (bahkan perlu untuk kepentingan mempertahankan eksistensi). Tak hanya wilayah politik kekuasaan, termasuk pula artis, kiyai, pengusaha bahkan orang tua butuh ”menjaga citra baik” agar posisi dan pengaruhnya tetap diakui. 



Persoalannya, keputusan Presiden untuk memberikan grasi membawa efek pencitraan berbeda. Atas langkah kontroversialnya, Pak SBY memperoleh simpati, pujian dan reaksi positif dr pihak australia, tapi didalam negeri, masalah grasi ini merugikan citra SBY sendiri. Dari sisi kebijakan, kebijaksanaan grasi untuk Corby pertimbangan yg dominan sebenarnya bukan dilandasi aspek hukum, tp lebih didasarkan politik negosiasi. Dengan kalimat sederhana, bisa dikatakan, ”Ok, kita lepas saja Corby, ngga ada untungnya jg kita penjara disini, klo kita lepas, kan mesti ada imbal baliknya. Semisal kita dapat bantuan, atau org indonesia yg ditahan disana dilepas, nanti jg kita bakalan dpt pujian..” Saya tidak ingin membuat prasangka baik atau buruk, tp itulah yg saya pahami dr soal grasi untuk Corby. 



Bila politik penegakan hukum didorong menjd politik negosiasi, maka semua statement Presiden SBY soal supremasi hukum menjd bias. Hukum itu secara garis besar tentang tata cara menjaga tatanan masyarakat agar manusia berprilaku dan bertindak secara benar menurut moral dan nilai2 kemanusiaan serta menjatuhkan hukuman pd mereka yg berbuat kesalahan. Hukum berfungsi menegakkan rasa keadilan, keamanan dan efek jera bagi pelaku atau org lain yg punya potensi melakukan kesalahan yg sama. Fungsi2 hukum semacam ini dr sudut pandang kemanusiaan, sesungguhnya berlaku bagi seluruh bangsa dan negara didunia, tak terkecuali apapun agamanya. 



Maka saya termasuk org yg tidak setuju dgn upaya pemerintah membebaskan dan membela warga negara kita yg dijatuhi hukuman di negara lain. Melindungi warga negara sebgaimana tertera dlm undang2 dasar RI tidak lantas bermakna melindungi dlm pengertian tanpa batas dan membabi buta, bukan pula berarti melindungi warga negara apapun kesalahannya. Kalau ada WNI yg terkena kasus pembunuhan, maka tugas negara hanya sebatas menyediakan bantuan pengacara sehingga peradilan berjalan fair, kalau ternyata terbukti sah dan meyakinkan, maka apapun bentuk hukumannya harus dihargai. Tugas lainnya ialah memberikan informasi yg cukup pada pihak keluarga pelaku, bahwa yg bersangkutan sedang terkena proses hukum di negara lain. Karena memang kejahatan adlah kejahatan, ia ancaman bg umat manusia secara keseluruhan. 



Sy juga merasa aneh dgn tindakan beberapa org muslim yg terpengaruh paradigma cara berfikir sebagian org eropa agar hukuman mati dihapuskan saja dengan dalih kematian adalah hak Tuhan. Keliru bila menyebut kematian adlah hak Tuhan, kematian adlah kehendak Tuhan (sebab logikanya setiap hak disertai kewajiban). Kehendak yg terlaksana karena Tuhan menghendaki adanya perantara. Secara kasat mata melalui perantara malaikat Izrail dan secara nyata/wujud melalui perantara manusia. Kalau seseorang dinyatakan dihukum mati, maka bukan berarti hakim menentukan hidup-matinya org tersebut, tp memang kehendak Tuhanlah, yg menjdkan hakim dan tim eksekusi menjd perantara sebab kematian seseorang. Biarpun satu negara menghukum mati, menembak ribuan kali pd seorng terpidana klau Tuhan tidak menghendaki, ya ngga bakalan mati. 



Salah satu sebab mengapa korupsi di Indonesia susah diberantas, karena kita terlalu mempertimbangkan aspek manusiawi atau atas dasar kemanusiaan. Saya tidak setuju misalnya, keringanan hukuman atas pertimbangan misalnya ”pelaku memiliki anak2 yg masih kecil”. Idealnya, ngga ada urusan dgn org tua atau anak. Kepentingan banyak org harus diutamakan ketimbang kepentingan sedikit org. Hukum hanya mengurusi pelaku dan korban, dampak dr hukuman (misalnya ada anak menjd yatim karena ayahnya dihukum mati) adlah tanggungjawab negara sebagai penegak hukum. 



Aspek manusiawi dlm wilayah hukum adlah perlindungan pd kepentingan dan perilaku normal manusia. Ketika ada manusia membunuh, itu perilaku normal, dr zaman Nabi Adam juga ada, tp karena merugikan manusia lain tanpa hak dan alasan yg benar, ketika ia di jatuhi hukuman qishas, itu juga normal. 



Tadi pagi sy membaca berita online, ada seorang lelaki paruh baya mencegat serombongan guru2 wanita berusia muda, lalu ia mempertontonkan kelaminnya dan masturbasi didepan guru2 tersebut, apa yg dilakukan lelaki itu sebenarnya manusiawi, mengapa? karena ia mengidap exhibitionist alias dorongan nafsu biologis dan psikologis yg luar biasa kuat untuk memperoleh kenikmatan seksual dgn cara memamerkan alat kelamin. Saya dan anda juga akan melakukan hal yg sama jika mengidap kelainan ini. Sebab menurut para pakar kejiwaan, semua jenis kelainan memiliki tingkat dorongan pelampiasan yg berlipat2 ganda kuatnya dibandingkan kondisi normal. 



Kita dgn mudah mencela, mengecam dan menghujat para psikopat, para kleptoman, para pedofile sementara klo kita sendiri mengidap kelainan ini, kita akan melakukan hal yg sama, nyaris mirip kebutuhan primer manusia terhadap makan. Memang sudah takdir si pengidap kelainan, ujian berat hadir di dunia untuk dihukum akibat prilaku kelainan yg dideritanya. Sudah hukum alam, ada lelaki ada perempuan, ada siang ada juga malam, ada org berperilaku normal, ada pula yg perilakunya ngga normal. Manusiawi. 



Lho, apa klo sudah begitu mereka dimaafkan atau dimaklumi saja. Tentu tidak ! kita berkepentingan untuk menjaga kemurniaan harkat dan derajad manusia dgn melindungi perilaku normal manusia. Pada akhirnya, saya setuju bila pencuri 15 tandan pisang, pencuri sandal, coklat dan sebagainya yg sempat menjd kontroversi sebaiknya diajukan ke pengadilan, melalui proses peradilan yg dipersingkat. Bila terbukti ada dua alternatif putusan, dinyatakan bersalah dan dihukum atau dinyatakan bersalah tp dimaafkan (hukuman percobaan). Mengapa? ya itu klo kita ingin menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Yg saya tdk setuju adlah pilihan hukuman yg tersedia, saya ngga setuju dgn kerugian minimal seperti itu hukumannya adalah penjara. Harus ada alternatif bentuk hukuman lain, misalnya kerja sosial atau hukuman lain yg memberi efek jera namun tidak terlalu membawa kesan yg terlalu buruk. Jelas bedalah secara psikologis antara terpidana kerja sosial dengan terpidana hukuman penjara. 



Sebaliknya, terhadap kejahatan yang dampak kerugiaannya besar, maka tirulah Cina. Cina tidak mengenal belas kasihan dlm menegakkan hukum. Seharusnya memang begitu. Hukum yg bagus adlah aturan yg dapat diketahui dan dipastikan sanksinya oleh masyarakat. Sehingga siapapun yg melakukan pelanggaran hukum tanpa didampingi pengacara pun sudah tau resiko sanksinya. Klo sengaja membunuh tanpa sebab yg bisa dibenarkan secara akal sehat, ya sanksinya diqishas. Mestinya aturan hukum sudah menentukan misalnya, pidana korupsi dibawah 1 juta, korupsi 1-10 juta misalnya, 1 tahun penjara, 10 -100 juta 5 tahun penjara, korupsi 1 miliar 10 tahun penjara, korupsi 10 miliar 20 tahun penjara, korupsi diatas itu klo ngga hukuman seumur hidup ya hukuman mati. Buat para hakim jg akan enak klo hukum itu sangat detail, rinci dan tidak multitafsir. Tinggal tugas jaksa untuk membuktikan berapa duit yg sudah dikorupsi. Klo sudah begini, barulah kita boleh optimis suatu saat bangsa ini tidak lg terganggu oleh budaya korupsi (bosen nontn tv beritanya cuma itu2 aja).


oleh Ainul Huda Afandi pada 2 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar