PERAN DAN FUNGSI DPR

G30M/DPR

Sekitar 40 tahun lalu, indonesia mengalami tragedi nasional yg dikemudian hari dikenang orang sebagai G30S/PKI (istilah yg dipopulerkan orde baru), atau Gestapu (Bung Karno lebih suka menyebutnya sebagai Gestok, merujuk pada kejadian pembunuhan para jenderal AD dini hari tgl 1 Oktober 1965). Tragedi yg berawal dr rumor tentang kesehatan Bung Karno, lalu menyulut pergerakan beberapa pihak untuk mengambil kesempatan atas aneksasi kekuasaan negara. Gerakan amatiran tersebut gagal total dan PKI pun mengalami nasib paling nahas dlm sejarahnya di Indonesia. G30S/PKI adalah tragedi politik dan kemanusiaan.

Selang sekian puluh tahun kemudian, gerakan pengkhianatan dalam bentuk berbeda kembali terulang. Kali ini, pelakunya adalah sederet anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yg secara sadar telah mengkhianati rakyat yg mereka wakili. Aspirasi rakyat jelas menolak kenaikan harga BBM (coba saja rakyat indonesia seluruhnya di voting, kira2 ada ngga mengacungkan tangan setuju kenaikan harga BBM..). Lantas buat apa ada wakil rakyat klo mereka ngga amanah...

Demontrasi kata org pinter sebuah keniscayaan di negara demokrasi. Tapi bagi saya demonstrasi, apalagi dalam eskalasi besar dan terus-menerus sesungguhnya tamparan keras buat anggota parlemen sekaligus menunjukkan melemahnya loyalitas rakyat pada pemimpinnya. Ketika banyak org berdemonstrasi, artinya mereka beranggapan kinerja wakilnya buruk sehingga mereka perlu turun langsung berurusan dgn pemerintah. Dalam konteks ini sistem perwakilan menjadi kehilangan esensi, karena wakil rakyat nyatanya tidak merasa bagian dr rakyat. Mereka merasa bagian dr kelompok pemimpin. Paradigma kenegaraan seperti ini jelas salah besar. Sebab sejatinya wakil rakyat adalah bagian dr rakyat.

Realitas yg kita lihat puluhan tahun, selama ini wakil rakyat lebih banyak merepresentasikan dr kepentingan sekelompok org yg kebetulan bergabung dlm wadah partai. Padahal partai itu cuma wahana, cuma media, cuma alat untuk mencetak para wakil rakyat yg punya kompetensi untuk menjadi penghubung aspirasi masyarakat pada pemerintahnya. Memang, di era modern, kita mau tak mau memang harus meniscayakan adanya partai, mengingat populasi warga negara yg besar jumlahnya. Cuma ketika pada prosesnya keberadaan wakil rakyat ini justru sering tidak menguntungkan posisi rakyat, rasanya kita harus mengakui ada yg salah dalam sistem berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Kesalahan terbesar adalah karena kita kadung menyerahkan mekanisme pertanggungjawaban wakil rakyat pada partai, bukan pada rakyat yg telah memilih mereka. Saya sendiri punya dua pandangan tentang konsep perwakilan rakyat ini agar tidak kehilangan esensi dan urgensi. Pertama, tetap mempertahankan sistem kepartaian, yang diantara fungsinya adalah melahirkan para wakil rakyat. Hanya saja, siapapun calon yg berhasil terpilih menjadi anggota legislatif maka harus mundur sementara, tidak saja sebagai pengurus, tapi juga keanggotaan partai tanpa kehilangan hak pilih dan dipilih. Aturan ini berlaku juga untuk pemerintah berikut jajaran dibawahnya. Demi kelancaran aturan seperti ini, saya mengusulkan agar prinsip kerahasiaan dalam pemilu dihapuskan dan setiap org yg memiliki hak pilih wajib memiliki kartu anggota partai tertentu. Warga masyarakat boleh saja berpindah partai dgn mengembalikan kartu anggota partai jika ingin berpindah ke partai lain. Aturan seperti mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus menyadarkan warga negara akan hak2nya terhadap tata kelola kehidupan bernegara.

Ketika seseorang menjadi bagian dari pemerintah atau wakil rakyat, maka otomatis ia merepresentasikan kepentingan negara atau sesuai daerah pemilihan. Ia bukan lagi milik satu kelompok atau satu partai. Bila seorang wakil rakyat misalnya melakukan penyimpangan atau berhalangan tetap, maka partai bertanggungjawab mencari pengganti dengan mekanisme tertentu sesuai asal daerah pemilihan. Melalui konsep ini, partai bukan lagi alat berebut kekuasaan tapi semata2 perjuangan dan pengorbanan demi negara.

Opsi kedua yg menjadi pandangan saya ialah menghapuskan sistem kepartaian, menjadi komite daerah (atau istilah lain yg lebih tepat). Jadi setiap propinsi memiliki komite daerah, dan pemilu dilangsungkan untuk memilih anggota komite masing2 daerah. Siapapun boleh secara independen dicalonkan atau mencalonkan diri. Setiap ada keperluan membahas perundang2an, maka tiap komite daerah akan mewakilkan anggota dimana jumlahnya disesuaikan dgn jumlah konstituen didaerah asal pemilihan. Konsekuensi dari konsep ini, maka setiap komite difasilitasi semacam kantor tempat mereka sehari2 menampung aspirasi dari masyarakat. Tidak seperti sekarang dimana anggota DPR karena mereka sehari2 memang ada dijakarta, sehingga semua gerak dan aktivitas ditempuh berdasarkan kebijakan partai. Kedua konsep yg saya sampaikan melalui catatan ini memang baru berupa ide atau gagasan mentah, tp bagi saya ide ini sangat rasional dibandingkan realita kehidupan politik yg selama ini kita saksikan.

Terus terang sebagai seseorang yg tumbuh besar melewati era orde baru dan berlanjut ke orde reformasi, semakin lama dalam diri saya sendiri tumbuh perasaan pesimis dan apatis tentang masa depan bernegara indonesia yg melenceng jauh dr semangat perjuangan mendirikan negara 60 tahun silam. Setiap hari kita dipertontonkan tayangan politik-kekuasaan yg memuakkan.

Kasus terbaru tentu saja rencana kenaikan BBM. Baru saja presiden SBY memberikan penjelasan yg seperti biasanya sangat sistematis, santun dan argumentatif. Tapi semua penjelasan presiden tidak cukup meyakinkan saya memperhatikan banyaknya kegagalan SBY mengelola negara secara jujur dan aplikatif. Bukan soal konsep dan gagasan, bahkan SBY punya banyak agenda yg brilyan, kayak sekitar satu tahun lalu ia mencetuskan ide tentang satgas mafia hukum yg hingga akhirnya dibubarkan nyaris tak punya prestasi yg pantas disebut membanggakan. Ia juga menghidupkan perbincangan soal konsep pemindahan ibukota propinsi ke Palangkaraya, tp hingga hari ini kita tidak melihat prosesnya.

Berulangkali pemimpin kita SBY menyatakan klo BBM tak dinaikkan maka berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional, APBN bakal jebol. Kita tidak mengerti semua argumentasi ini karena APBN memang tidak pernah cukup disosialisasikan. Intinya, kita sebagai masyarakat biasa ’buta’ berapa pemasukan keuangan negara, berapa utang kita, untuk kepentingan apa semua dana yg sudah terkumpul itu. Kita taunya, klo BBM naik maka beban ekonomi masyarakat akan berat, semua barang pokok naik. Bahkan saat pemerintah sudah mengumumkan BBM ngga bakal naik, didaerah saya hingga malam ini harga BBM eceran masih berkisar 9 – 10 ribu perliter (opo yo bakul bensin kae ra tau nonton tv yo..).

Lha wong APBN dah mau jebol kok pake menawarkan kompensasi bagi2 duit 17 trilyun BLT segala, ide instan macam apa ini. Uang segitu memang menyenangkan masyarakat miskin, tp bagaimana pemerintah memastikan penyalurannya dapat berlangsung adil dan merata. Saya tidak melihat esensinya apalagi jika waktunya hanya bersifat sementara, dan sesudah itu pemerintah melepaskan tanggungjawab. Saya bukan tidak setuju BLT, tp itu harus diberikan seumur hidup pada org2 yg sesuai kondisinya susah untuk hidup layak. Pertimbangannya murni kemanusiaan, contohnya warga miskin yg cacat, gelandangan, keterbelakangan mental, memiliki anggota keluarga banyak dan kriteria lain yg secara manusiawi memang mestinya hidupnya harus ditanggung negara. Jd, kesannya tidak sekedar bagi2 duit.

Mbok mendingan mulai sekarang diproses persiapan menyambut saat datangnya masa indonesia bukan lagi produsen minyak bumi karena cadangan yg tersedia sudah habis. Apa solusinya, sementara ketergantungan kita pada BBM terlalu tinggi. Okelah, solusinya konversi ke gas, karena cadangan gas dinegara kita luar biasa banyak. Lantas apa kebijakan nyata yg sudah ditetapkan sebagai langkah2 persiapan, terus dimulai dari mana. Klo misalnya dimulai dr alat transportasi, maka tugas pemerintah mempersiapkan perangkatnya, tp kualitasnya jangan asal2an. Masyarakat selama ini ogah memakai converter gas sebagai pengganti BBM karena trauma kasus meledaknya kompor gas diperumahan. Pikir masyarakat, yg ngga dimana kemana2 aja meledak, lah ini mau dipake di mobil dimana jalanannya masih jelek, apa ngga kayak bawa bom, tuh.

Akhirnya, selama hidup, berhubung saya masih tinggal di Indonesia, mau ngga mau kita mesti punya harapan, bahwa negara ini menuju ke jalan yg benar, pada cita2 awal founding fathers.

oleh Ainul Huda Afandi pada 1 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar