MASIH ADAKAH PAHLAWAN HARI INI?


Kemarin malam sy menonton satu film di HBO yg cukup bagus, berangkat dr kisah nyata di Inggris sekitar tahun 1965. Klo tidak salah judulnya “longford”, berkisah tentang seorang politisi senior yg telah lanjut usia, namanya Sir Longford, mantan menteri yg memiliki komitmen advokasi dan kunjungan sosial pada masyarakat marginal, khususnya para narapidana di penjara. Satu hari, ia berjumpa dgn seorang napi perempuan, namanya Myra (klo ngga keliru). Napi ini bukan sembarang napi, ia psikopat yg dijatuhi hukuman seumur hidup akibat terlibat pembunuhan berantai sejumlah anak-anak bersama kekasihnya, Ian Brady. Myra, dlm film ini digambarkan sbagai seorang gadis yg cukup cantik, misterius dan punya karakter kuat. Setelah 12 tahun di penjara Myra tercatat berkelakuan baik, ia bahkan pindah dr agama Protestan ke agama Katolik yg merefleksikan pertaubatan dan kepeduliannya pd agama.

Setelah melewati beberapa pertemuan di penjara, semakin lama Sir Longford memiliki kesan baik dan ingin memperjuangkan pembebasan bersyarat Myra. Dgn argumentasi yg menyentuh, pilihan kata dan mimik wajah innossens, Myra meyakinkan bahwa ia sebenarnya tdk bersalah (atau setidaknya pantas untuk dimaafkan), ia terlibat hanya sekedar terpaksa dan dipengaruhi sang kekasih. Tindakan Sir Longford kontan saja mengundang reaksi negatif dan polemik. Walaupun masyarakat mengakui Sir Longford adalah tokoh yg penuh integritas, bersih dan ringkasnya seorang politisi tua yg baik, namun tindakan Longford sulit diterima. Bahkan anak dan istri Sir Longford turut memprotes langkah sang politisi, “apa tidak ada napi lain selain Myra yg lebih pantas dikunjungi?”, masyarakat tidak pernah memaafkan perbuatan Myra dan tidak menghendaki kebebasannya sekalipun biasanya dgn durasi penjara yg sama, banyak napi lain sudah dibebaskan.

Awalnya Sir Longford bergeming, ia tetap rutin mengunjungi Myra. Selain pd Myra, satu hari si politisi merasa perlu mengunjungi Ian Brady, yang dipenjara secara terpisah. Ian Brady digambarkan sebagai dgn sosok psikopat, dingin, keras dan terkesan kejam (agaknya penonton sengaja diarahkan untuk memiliki kesan seperti itu). Ian memperingatkan Sir Longford menjauhi Myra, supaya Myra tdk menghancurkan karir dan nama baik Sir Longford seperti Myra menghancurkan dirinya. Tapi Longford justru merasa yakin si Ian Brady-lah psikopat sebenarnya.

Sampai kemudian, ketika bertemu kedua kalinya dgn kekasih Myra ada kenyataan yg mengejutkan politisi, ketika si kekasih menunjukkan surat2 dr Myra, tentang semua pertemuannya dgn politisi, intinya surat itu menggambarkan bahwa Myra menulis Sir Longford sebagai pria bodoh yg mudah dikelabuhi. Ian Brady mengatakan bahwa Myra bersikap baik bukan karena ia menyesal, tp karena ia ingin bebas dan memanfaatkan perhatian, empati dan simpati Longford kepadanya. Sekali lg si kekasih memperingatkan Longford supaya menjauhi Myra. Begitu tiba di rumah, untuk kesekian kalinya istri Longford memprotes sikap keras kepala Longford, dan kali ini Sir Longford bersedia memenuhi permintaan istrinya. Ia tidak lg mengunjungi Myra, tidak lagi membalas surat2 Myra, ia disibukkan dgn kegiatan lain yg tidak kalah kontroversialnya, seputar keprihatinannya dgn merebaknya pornografi yg membuatnya dicap “penggiat porno”. Sementara sudut kehidupan lain dalam penjara, Myra merasa diabaikan, ia kesepian, depresi dan ujungnya Myra berupaya melarikan diri. Gagal, dan sbagai sanksinya Myra dipindahkan ke penjara lain dgn keamanan maksimum dan fasilitas yg benar2 buruk.

Satu hari istri Longford diam2 membaca surat2 Myra yg seketika mengubah cara berfikirnya pd napi tersebut. Ia mengajak Longford menemui Myra di penjara. Kondisi Myra di penjara benar2 menyentuh hati Longford dan istrinya. Myra terlihat berantakan, ia bahkan setengah sadar, karena dipenjara itu Napi baru biasanya disuntik terus2an dgn obat penenang supaya tdk depresi dgn kenyataan buruk dipenjara tersebut. Bahkan teman sesama Napi bercerita, Myra amat dibenci dipenjara itu karena kasus psikopatnya, selnya dilumuri kotoran, bahkan makanan dan minumannya.

Kenyataan ini menguatkan kembali tekad Sir Longford untuk membebaskan Myra, hampir berhasil. Termasuk pula istri Longford yg merasakan ketidakadilan atas sikap publik terhadap Myra, ia beranggapan masyarakat Inggris sangat membenci Myra hanya karena Myra seorang wanita. Semakin hari muncul banyak protes dan hujatan, terutama dr keluarga korban. Citra baik Sir Longford merosot drastis, situasi ini membuat Longford galau. Puncaknya adalah kenyataan mengejutkan saat untuk kedua kalinya, Longford mengunjungi Myra di penjara barunya. Dgn dingin dan ekspresi berbeda, Myra mengatakan upaya Longford merugikan dirinya, terlebih setelah Myra mengetahui Ian Brady telah membocorkan informasi bahwa ada sejumlah korban anak lain yg selama ini belum terungkap. Myra meminta Sir Longford tdk menemuinya lg karena ia sudah menyerahkan kasusnya pd pengacara lain. Longford pun pulang ke rumah dgn hati hancur, merasa dikhiananti, segala pengorbanan dan perjuangannya sia2. Namun Longford tetap politisi yg tangguh. Ia tetap mengunjungi tahanan2 lain sampai umur 95 tahun. Kasus Myra tdk mengubah komitmennya untuk rutin melakukan kunjungan sosial dari penjara ke penjara.

Setelah sepuluh tahun berlalu, suatu hari Myra berkirim surat dan meminta Sir Longford bersedia mengunjunginya, tanpa ada rasa dendam dan dgn tubuh renta Sir Longford datang. Myra mengatakan sedang sekarat dan digerogoti penyakit paru2. Myra menyatakan sbelum hidupnya berakhir, ia hanya ingin melakukan satu hal, meminta maaf pd Longford. Pada akhirnya, setelah 36 tahun dipenjara hingga meninggal Myra tdk pernah dibebaskan. Sementara Sir Longford tdk pernah jg kapok mengunjungi dan mengadvokasi para tahanan, ia beranggapan keputusannya untuk membela Myra adalah sesuatu yg harus dilakukan sekalipun boleh jd keliru bg banyak org, ia hanya memahami bahwa setiap pelaku kejahatan harus diberikan kesempatan untuk bertobat, merubah perilaku dan kembali ke masyarakat. Sir Longfor menulis, “Apa yg dilakukan Myra menyakitkan, tp Myra membuat kekayaan rohani saya lebih banyak karena sy menjadi memahami arti mengampuni, saya mencintai pendosa tetapi saya benci dosa”.

Film “Longford” bagi saya adlah salah satu gambaran sikap kepahlawanan dr sudut pandang yg memang complicated, melawan arus tp tidak keliru. Ia berjuang demi kepentingan nilai2 kemanusiaan, sekalipun disisi berbeda apa yg ia lakukan bertentangan boleh jd menyakiti keluarga para korban.

Setiap tahun kita memperingati tanggal 10 November (seperti hari ini, tanggal 10-11-2012) sbagai hari pahlawan, untuk mengingat jasa, perjuangan dan pengorbanan leluhur bangsa dlm merebut dan mempertahankan kemerdekaan dr tangan penjajah. Selama ini gelar pahlawan banyak merujuk pada kisah2 heroisme peperangan dimasa lampau, apalagi bila yg bersangkutan gugur dlm medan tempur. Berdasarkan pengalaman, negara kita memiliki mekanisme yg rumit untuk menentukan seseorang layak diangkat sbagai pahlawan (terutama gelar pahlawan nasional), bahkan Bung Karno dan Bung Hatta pun baru beberapa hari kemarin resmi dianugerahi gelar pahlawan nasional setelah puluhan tahun berlalu.

Beberapa tahun lalu, ketika Pak Harto meninggal muncul pula wacana menganugerahkan gelar pahlawan kepadanya, namun Pak Harto adalah figur complicated yg mudah memantik kontroversi, terutama bila didasarkan pada track record mantan presiden kedua RI ini yg punya banyak sisi yg cenderung kontradiktif. Disatu sisi, beliau adalah pejuang dgn kisah heroisme yg legendaris, serangan umum 1 maret di Jogja adalah realita sejarah yg tak dapat dipungkiri besarnya peran Overste (kini setara Letkol) Soeharto dlm memimpin operasi yg sangat mengejutkan kolonial Belanda itu. Memang ada sejumlah pihak yg bermaksud mengiliminir peran Soeharto dgn menyatakan ide serangan tidak berasal dr Soeharto, melainkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kalaupun iya, rasanya Soeharto tetap pantas jd tokoh utama dgn memperhitungkan sisi operasional serangan mengingat posisi beliau sebagai pemimpin militer RI di Jogja. Ketika muncul gejolak menyusul tragedi G30S tahun 1965 lg2 Soeharto menampilkan karakter kepemimpinan yg kuat, prinsipil dan pemberani. Karakter kepemimpinan yg amat dipengaruhi pengalaman medan tempur mungkin bg orng awam terkesan keras dan kejam, ia mengasingkan Soekarno, menyingkirkan lawan2 politik dan membiarkan terjadinya pembantaian org2 PKI, dr sudut pandang situasi damai seperti akan akan memuncul persepsi yg cenderung menyudutkan Soeharto. Mungkin persepsi kita akan lebih jernih klo kita sendiri pernah punya pengalaman tempur melawan penjajah, dimana membunuh atau terbunuh adalah pemandangan biasa. Resistensi paling utama atas usulan gelar pahlawan Soeharto adalah tuduhan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dua tuduhan pertama rasanya bagi sy meragukan, kecuali tuduhan ketiga, nepotisme.

Bila gelar pahlawan hanya ditujukan pada sosok ‘manusia berjiwa malaikat’, maka boleh jd memang Pak Harto tak memenuhi kualifikasi kepahlawanan. Semua bergantung perspektif negara dlm menilai sosok Soeharto, apakah beliau secara hukum pernah dinyatakan sah dan meyakinkan melakukan satu tindak kejahatan yg merugikan kepentingan publik atau baru sebatas tuduhan. Cara negara memperlakukan org2 yg berjasa akan punya banyak makna dan hikmah yg bisa dipelajari oleh generasi penerus bangsa ini.

Tokoh lain yg diwacanakan agar diberi gelar pahlawan adalah Gus Dur. Saya tak banyak mengenal sosok Gus Dur, tapi bila pahlawan kita maknai sbagai org yg punya banyak jasa, karya dan hidupnya memberikan kemanfaatan bagi banyak org, maka sy setuju beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional. Pada dasarnya, pahlawan memang erat kaitannya dgn kemanfaatan hidup dalam wujud nyata. Para pejuang kemerdekaan patut dihargai dgn gelar kepahlawanan karena usaha mereka berbuah kemerdekaan yg dinikmati banyak org dari generasi ke generasi. Di sekitar kita pun banyak juga org2 yg hidupnya punya banyak manfaat bagi org lain dan karenanya pantas pula dianugerahi pahlawan. Bahkan setiap kita pun bisa menjadi pahlawan2 informal yg diakui oleh masyarakat tanpa perlu diformalkan, karena buat kita itu tak penting. Sebab menjadi pahlawan bukanlah niat dan tujuan dr tindakan, pahlawan adalah pengakuan yg menunjukkan ketinggian peradaban kita, sebagai manusia yg beretika, yg menghargai setiap jasa, bantuan dan perjuangan.

Kepahlawanan adalah rasa kemanusiaan yg bersifat duniawi dan tidak ada kaitannya dgn urusan akhirat. Tidak ada jaminan seorang yg diklaim sebagai pahlawan terus memperoleh keistimewaan setelah ia mati, biarpun pemakamannya digelar penuh penghormatan. Tapi mengakui adanya pahlawan adalah salah satu bentuk konkrit upaya kita menjaga martabat dan peradaban manusia yg sangat dianjurkan oleh agama.

Bila kita menyaksikan kehidupan sosial-politik saat ini, harus diakui spirit kepahlawanan tampaknya mulai langka, luntur oleh kebingungan kita untuk membedakan batas jelas antara ketulusan dan kepalsuan. Media massa memiliki peran besar dlm menumbuhkan budaya menaruh kecurigaan berlebihan, memandang setiap tindakan pemimpin2 bangsa ini bertendensi pencitraan. Mungkin benar bahwa kekuasaan itu sangat lekat dgn manuver atau perilaku politis, dan modal besar politisi untuk tetap eksis adalah citra baik, tapi semestinya kita bisa dgn mudah membedakan mana perilaku politik yg didasarkan oleh keikhlasan dan ketulusan hati, dan mana pula perilaku politik yg instan dan sarat kepura-puraan.

Seorang pahlawan tidak butuh popularitas, bahkan seorang pahlawan cenderung tidak menyukai publisitas. Ia bekerja, berbuat, berkarya tanpa peduli resiko adanya hujan pujian, caci-maki dan segala macam kesan baik atau buruk. Seorang pahlawan tidak pernah suka menjadi ‘bangkai bernyawa’. Seorang pahlawan tidak hidup dr pendapat org lain, ia hidup secara alami, dgn segala potensi dan bakat yg dimilikinya, dgn segala orisinalitas karakter dan cara pandangnya dlm memahami eksistensinya di dunia ini. 

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 10 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar