JIWA-JIWA YANG SAKIT

Baru2 ini, saya mendengar guru-guru swasta Madrasah Ibtidaiyah (MI) banyak yang menggerutu karena dana BOS yang semestinya bisa mereka nikmati perbulan sbagai pendapatan ekonomi yg tidak seberapa jumlahnya namun besar maknanya tidak jua dikucurkan oleh Kanwil Kemenag Sum-Sel. Dan begitu dicairkan jumlahnya tidak pertiga bulan sebagaimana mestinya, namun cuma satu bulan, sisanyanya tak jelas kapan. Pejabat Kemenag tingkat kabupaten pun tak punya penjelasan yg memuaskan, bahkan sejak awal telah mewanti2 agar tidak tanya kenapa. Namun, dengar2 ternyata duit miliaran yg telah dianggarkan negara itu sebagian telah lenyap tanpa diketahui siapa yg memakai, untuk kepentingan apa dan mengapa tega sekali pelakunya menggunakan uang milik guru yang oleh negara kerap sekali didengung2kan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Apa tidak ada dana lain yg lebih ‘pantas’ untuk di ‘korupsi’, dana calon jamaah haji misalnya (kan org2 yg mendaftar haji itu biasanya berasal dari kalangan warga mampu). Kesimpulan saya singkat saja, pelakunya adalah org2 yg mencitrakan dirinya agamis namun sebenarnya org2 yg sakit jiwa. 

Beberapa hari lalu, seorang pemuda menyerang secara brutal sebuah sekolah setara SD di Connecticut, Amerika Serikat, menewaskan 21 anak-anak, 6 guru (termasuk kepala sekolah), bahkan belakangan di ketahui si pelaku telah membunuh ibunya sendiri. Peristiwa ini menggemparkan dunia, menyakitkan perasaan siapapun yg memiliki nurani kemanusiaan. Hingga catatan ini ditulis, polisi setempat belum mampu menguak motif Adam Lanza sampai melakukan tindakan abnormal seperti ini. Kesulitan polisi patut dipahami mengingat Adam Lanza merupakan sosok yg belum lama beranjak dari usia remaja, memiliki kepribadian yang pemalu, asosial, dan kerap berperilaku tidak wajar sekalipun ia secara intelektual diketahui sebagai anak yang cerdas. Adam Lanza tidak meninggalkan catatan yg dapat menjadi bahan penyelidikan, tidak punya akun jejaring sosial dan boleh dibilang tidak memiliki orang2 dekat selain keluarganya saja. Keputusannya membunuh ibu kandungnya menjadi persoalan lain yg membawa kita pada asumsi, ia juga mungkin tidak memiliki hubungan yg harmonis dengan orang tua. 

Bagi banyak org, apa yg telah dilakukan Adam Lanza dikecam sebagai perbuatan tidak berperikemanusiaan, namun bagi saya apa yg telah dilakukannya sekalipun kejam tetap saja ‘manusiawi’. Artinya, sebagai manusia ia ditakdirkan menempati tubuh dengan dinamika psikologis yg melekat dan tak dapat ditolak. Secara psikologis, Adam Lanza adalah manusia yg tidak puas dan nyaman menjadi bagian dari spesies manusia. Ia menginginkan perhatian, kedekatan hubungan emosional seperti anak2 yg lain, sayangnya ia tidak mampu memaksa dirinya sendiri, tidak ada pula orang lain yg sanggup membantu masalah yg ia hadapi. Pembunuhan ibu kandungnya sendiri adlah refleksi dari konflik dari kegalauan yg membuncah dan tak kunjung menemui solusi, ia menderita dan kemudian memutuskan mengakhiri dengan caranya sendiri. 

Apakah ia memerlukan perhatian banyak org dengan memilih tindakan pembantaian massal, mungkin saja. Ia tidak perlu menyerang sekolah, jika hanya perlu mengakhiri hidup. Adam Lanza butuh pengakuan dan balas dendam atas penderitaan hidup yg dialaminya. Ia mungkin tak cukup dipedulikan dan disayangi, akhirnya ia juga merasa tak punya kewajiban memiliki belas kasihan. Ia memilih menyerang sekolah dimana ibunya pernah menjadi guru, barangkali dengan dua alasan. Pertama, ia tak menyukai lembaga sekolah karena komunitas sosial ini justru sering menimbulkan tekanan batin dan menempatkan dirinya pada situasi2 tak mengenakkan. Kedua, sekolah setara SD hanya diisi kebanyakan manusia2 kecil nan lemah yg terlalu mudah untuk ditindas dan dilumpuhkan. Sebagai pemuda yg cerdas, Adam jelas memahami konsekuensi hukum menjadi pelaku pembunuhan, makanya ia tidak ingin dihakimi dan memutuskan menjadi hakim atas dirinya sendiri. Secara kejiwaan, anak seperti Adam termasuk manusia yang sakit jiwa. Adam jelas tidak sendirian, masih ada ribuan bahkan jutaan manusia2 lain yg senasib dengannya, beberapa di antara mereka sesekali akan mengejutkan kita. 

Sebagai guru, saya memiliki seorang siswi yang memiliki kecenderungan bermasalah secara psikologis. Ia tidak memiliki keunggulan fisik, wajahnya biasa saja. Prestasi belajarnya juga biasa2 saja, bahkan cenderung rendah untuk beberapa mata pelajaran. Ia siswa yg paling senang menggerutu dan meletupkan kekesalannya selama saya mengajar. Ia suka memprotes, sangat sering hingga terkadang terasa menjengkelkan. Namun berhubung saya tipikal org yg benci kemarahan, saya mencoba memahaminya sebijak mungkin. Anak ini butuh konseling, namun sejauh ini saya hanya memberinya nasehat, “jangan membiarkan dirimu terus-menerus jadi pemberontak, sebab org yg gemar memberontak dan protes biasanya jauh dari ketentraman batin”. Sekalipun sedang amat dongkol, saya tidak terbiasa mengungkapkan kejengkelan dengan pemakaian pilihan2 bahasa yg kasar, apalagi anak ini sejak kecil yatim, ayahnya tewas dibunuh orang. Ia memerlukan perhatian, dan sikapnya sedikit membaik setiap kali diberikan perhatian khusus. Karena itu, saya memahaminya sebagai kewajaran jika di kelas ia hanya memiliki seorang sahabat, duduknya selalu bersebelahan bahkan sejak SD. Orang lain mungkin akan melihatnya aneh, tp bila kita mengenali kondisi dengan sudut pandang psikologis dan pengalaman hidup seseorang maka hal ini wajar2 saja. 

Baru2 ini, para guru di tempat saya mengajar diresahkan dengan prilaku sejumlah siswa yang terlalu bebas dalam interaksi dan pergaulan siswa-siswi, beberapa tindakan bahkan menjurus pada pelecehan seksual. Sebagai bagian dari langkah pembinaan, saya lantas berinisiatif mendata kepemilikan hand phone dan meminta seluruh siswa menyerahkan memory card di hand phonenya. Reaksi siswa awalnya penasaran, biasanya kan pemeriksaan HP, kenapa kok cuma memory cardnya saja. Saya sudah punya rencana, tapi biar berjalan lancar saya tidak memberitahu siswa, saya cuma mengumumkan, “Apapun yg dilihat Bapak di memory card milik kalian, bahkan klo ternyata tersimpan content porno tidak diberi sanksi”. 

Ceritanya, saya ingin mengecek, menggali informasi dan meneliti sejauhmana intensitas dan pengalaman siswa melihat content2 porno (yg lazim disebut dengan bokep atau blue film). Hal yg paling membahayakan dari kebiasaan melihat content porno itu sejatinya tidak terletak pada aksi menontonnya (karena toh ngga ada yg dirugikan, kecuali dirinya sendiri), tapi pada dampak yg ditimbulkan. Praktek seks bebas yg melanda sebagian generasi muda bangsa kita sebagian besar didorong oleh keleluasaan mengakses content2 porno. Jadi klo kita punya i’tikad baik meredam perilaku ini, harus dimulai dari akar persoalannya. Seperti yg telah saya duga sebelumnya, dari sekian banyak memory card boleh dibilang bersih, kecuali gambar, lagu dan video yg masih terbilang wajar, kebanyakan berisi artis2 yg mereka idolakan. Kalaupun ada content porno, mereka jelas lebih dulu telah menghapus filenya. 

Tapi di zaman teknologi informasi canggih seperti sekarang, tidak sulit melakukan pengecekan isi memory card, termasuk yg telah dihapus atau bahkan telah berulangkali di format. Saya memang memilih merazia memory card ketimbang HP dengan beberapa pertimbangan, pertama dari sisi ukuran. Membawa puluhan bahkan ratusan hand phone tentu merepotkan, selain beresiko terjadi kerusakan atau hilang. Kedua, rata2 handphone yg dimiliki siswa memory internal Hpnya kecil, data2 berukuran besar umumnya akan masuk ke memory card. Jadi, memeriksa memory card lebih efektif. 

Untuk memeriksa memory card, saya menggunakan beberapa software gratisan yg telah saya uji coba, mulai dari zar, easeus data recovery, recuva, monosoft, pix recovery, pc tool recovery, memory card data recovery, r-studio, card recovery, EPR, f-recovery SD, file repair, i-care, media undelete, mmctool, photorecovery, pc inspector, pandora recovery, stellar phoenix, wondershare data recovery sampai digital media recovery. Uji coba ini perlu, karena semakin banyak data yg bertumpuk2, termasuk telah lama dihapus, sulit untuk ketahui dan dipastikan apa isi file tersebut. 

Hingga catatan ini saya tulis, proses pengecekan memory card belum selesai. Masih ada cukup banyak siswa yang enggan menyerahkan memory card yg dimiliki sekalipun saya memiliki data lengkap siapa saja siswa yg memiliki handphone berikut memory cardnya dan siapa saja siswa yg tidak punya, bahkan daftar berapa banyak memory card yg dimilikipun datanya sudah ada ditangan saya. Apa hasil yg didapatkan sementara ini? ternyata sekitar 50 persen memory card milik siswa positif menyimpan content2 porno, mayoritas berbentuk video dengan jumlah bervariasi. Beberapa siswa lain ditemukan semi porno, sejumlah memory card isinya tidak bisa dipastikan, karena nama file berubah default, ada juga nama filenya patut dicurigai, sekalipun isinya sudah berubah karena posisi data yg telah lama bertumpuk. Sisanya bisa dinyatakan bersih. Ternyata tidak hanya siswa putera saja yg memory cardnya mengandung content porno, tp juga siswa2 puteri (beberapa diantaranya adalah siswi cerdas dan alim). Tentu temuan ini layak diklarifikasi berhubung mayoritas siswa HPnya adalah pemberian org tua, sebagiannya merupakan beli second, sehingga bisa saja content porno itu berasal dari pemilik sebelumnya. 

Apakah saya kaget dengan hasilnya? tidak. Saya dulu pernah mengajukan pertanyaan penjajakan terhadap siswa putera satu kelas I, pernahkah melihat video porno, hampir seluruhnya mengaku jujur, pernah. Dalam situasi perkembangan teknologi informasi seperti saat ini, dengan kemudahan akses internet dan banyaknya fitur hand phone, peredaran video porno dikalangan pelajar sudah menjadi fenomena biasa. Setelah mengetahui hasilnya, tindakan apa yg akan saya lakukan sebagai guru, apakah mencak2 dan memarahi siswa yg ketahuan pernah menyimpan content2 porno. Ngga’, nama2 siswa saya rahasiakan dari siswa maupun guru lainnya. Kita harus mengedepankan sikap bijak dan memahami permasalahan secara utuh dalam menyikapinya. Bila pemeriksaan memory card ini selesai, saya akan memanggil secara pribadi siswa satu persatu secara acak, baik siswa yg memory cardnya bermasalah maupun yg bersih. Ini untuk mengaburkan hasil sehingga tidak menggelinding menjadi perbincangan yg merugikan citra sekolah. Intinya menggali informasi, misalnya sejak kapan pertama kali mengakses content porno, intensitasnya dalam seminggu, melalui media apa, didapat dari siapa dan sebagainya. Semakin banyak informasi yg bisa diperoleh, tentu akan mempermudah kita mengambil langkah2 solutif. 

Mungkin anda punya prasangka, dengan menghimpun sekian banyak file2 pornografi dan pornoaksi, apakah saya berarti turut menikmatinya. Jelas saya mengambil resiko melihat file2 porno, tapi saya berusaha menjaga niat dan i’tikad baik. Di setiap memory saya tidak melihat seluruh isinya (dan tidak semua file bisa direcovery secra sempurna), cukup melihat sampel saja. Begitu ketemu satu-dua, selesai, berarti positif ada. Untuk urusan pornografi sy sudah terbilang kebal, sungguh munafik bila mengaku sebelumnya belum pernah melihat, tp pornografi itu wujud fisiknya sebetulnya begitu2 saja, akan menjadi sesuatu yg negatif bila kita terlalu terobsesi terhadap itu. Lagi pula, kini sy termasuk org dgn kesibukan yg benar2 padat, maka adanya tanggungjawab moral melandasi upaya ini, padahal untuk memeriksa data memory card dalam jumlah banyak benar2 amat menyita waktu. 

Ketika memutuskan merazia memory card siswa, sejak awal saya sadar resikonya (turut melihat content porno), namun harus ada pihak di sekolah yg mengambil resiko satu madharat untuk memperoleh banyak kemanfaatan. Nyatanya, razia semacam ini akan sangat efektif bila sekolah ingin meredam peredaran content porno di kalangan siswa, minimal sebatas media hand phone. Akan jd persoalan berbeda, jika kebanyakan siswa memiliki perangkat multimedia lain, misalnya laptop. Saya justru berfikir akan lebih baik jika inisiatif dan program razia memory ini menjadi program nasional di lembaga pendidikan setingkat sekolah. Karena siswa umumnya mendapatkan content2 porno dari teman sebaya, baik siswa satu sekolah maupun berlainan sekolah, semoga usaha saya ini dapat menjadi inspirasi bagi guru2 yg peduli dengan persoalan pornografi yg fenomenanya sudah lintas usia. Kebiasaan menonton content porno dapat menimbulkan gangguan kejiwaan dan psikologis, terutama bila melibatkan faktor obsesi, bila seseorang sudah terobsesi maka yg terjadi adlah mmenirukan apa yg ditontonnya, terutama bila memang kesempatan untuk itu terbuka. Dampak2 negatif seperti inilah yg harus menjadi kesadaran kita bersama. 


oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 17 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar