MAKNA ULANG TAHUN

Saya baru bener2 sengaja membuka FB habis Isya’ tadi, ada beberapa temen yg menulis di kronologi saya, dan baru sadar klo ternyata hari ini adalah tanggal dimana sekian puluh tahun lalu saya dilahirkan (saya malu menyebutkan angka tepatnya). Maklum, terakhir kali merayakan ulang tahun adalah saat saya masih duduk di bangku SD, seperti anak2 lain, biasanya mengundang makan2 temen satu kelas. Setelah itu, saya seolah tak terlalu perduli dengan yg namanya ulang tahun dan tak terlalu ‘suka’ pula memaknainya (sejujurnya, karena mengingat pertambahan usia itu ngga bikin bahagia, hehe). 

Saya ucapkan terima kasih atas ucapan selamat dan do’a temen2 yg mengirimi kronologi FB saya, do’a itu membesarkan jiwa, dan saya menyambutnya dgn lafadz “Amin” (sepenuh hati). 

Hari ini sebenarnya berlangsung biasa saja, dengan sedikit kesibukan hingga sore hari. Tak ada yang terasa spesial, kecuali kejadian di penghujung sore tadi yg menimbulkan suasana tak mengenakkan. Sore tadi Tuhan menyindir kelalaian saya hari ini. 

Ceritanya, kebetulan saya sedang disibukkan dengan suatu kerjaan di depan komputer. Sore rasanya berlangsung terlalu cepat hingga tanpa terasa matahari di sudah mulai menepi di ufuk barat. Saya ingat belum mengerjakan shalat Ashar, tapi pikir saya “tanggung banget, sebentar lagi selesai”. Tapi saat memandang komputer, terkadang waktu cepat berlalu tanpa kita sadari, amat berbeda jika kita sengaja menghabiskan waktu dengan memandang jarum jam dinding. Kerjaan belum jua tuntas, tapi sy harus bergegas klo tidak ingin kehilangan waktu shalat Ashar. Apa yg terjadi kemudian, mungkin karena tdk fokus, error, lupa, alpa, lalai, apapun namanya, saya keliru mengarahkan sajadah, begitu hampir ruku’ saya baru ingat klo sedang shalat tdk menghadap kiblat, tapi menghadap ke arah TV alias menghadap ke arah selatan. Astaghfirullah.. 

Selesai shalat saya tetap berada di kamar tidur, pekerjaan sebelum shalat cukup melelahkan dan untuk melepaskan penat, saya menonton TV. Tapi channel yg saya pilih rasanya tidak tepat waktunya. Satu genre film yg cukup saya gemari, film tentang detektif. Filmnya biasa tapi tetap membuat saya penasaran untuk mengetahui ending ceritanya. Sialnya, stasiun tv HBO sejauh yg saya amati tak menyediakan iklan, kecuali setelah satu acara selesai diputar. Akibatnya, adzan maghrib telah bergema, tp panggilan menghadap Tuhan itu tampaknya tak cukup menggerakkan tubuh saya (dasar manusia ndableg!). Kesempatan shalat berjamaah lewat, dan itu belum cukup menggoyahkan posisi duduk saya. 

Akhirnya, saya beranjak juga mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat maghrib (kembali lagi secara munfaridan), tau apa yg terjadi kemudian? Untuk kedua kalinya dalam satu hari (entah kenapa), saya kembali lupa shalat menghadap kiblat. Ke arah tv lagi.., dalam sujud (dengan hati dan pikiran masygul), saya hanya bisa merasa bersalah atas sindiran Tuhan barusan, seolah Tuhan telah menyatakan, “Hai huda, engkau lebih mementingkan menghadap tv daripada kepada-Ku, maka sembahlah tv itu!”. Astaghfirullah wal hamdulillah..lho kok malah bersyukur, tentu saya harus bersyukur karena warning yg diberikan Tuhan amat halus (seperti yg sudah2). Saya kadang sampai berfikir, apakah taubatan nasuha itu harus menunggu warning yg keras? 

(keesokan hari, tgl 21/12 channel HBO tiba2 diblok sama indovision, tanpa permintaan dan pemberitahuan, sy tak ingin protes, mungkin memang lebih baik begitu...) 

Mungkin anda heran juga, kenapa kok menceritakan perilaku buruk diri sendiri pada kemungkinan banyak org. Apa manfaatnya, kan bisa membuat org lain berfikir, oo.., si inul masih seperti dulu ya, tetep ndableg aja. Saya punya alasan, Tuhan pernah menyebutkan nama beberapa manusia yg menjadi simbol kemungkaran dan kemaksiatan untuk menjadi pelajaran bagi manusia2 lainnya, kita dikenalkan nama Namrudz, Fir’aun, Abdul Lahab dan sejumlah nama lain. Dari dulu saya berfikir, barangkali memang saya termasuk bagian dari sekelompok manusia yg keberadaan dan sebagian besar perilakunya jadi contoh buruk bagi manusia2 lainnya (sekalipun dalam beberapa hal kecil saya harus berbesar hati telah menjadi contoh yg baik bagi segelintir org lain). 

Saya sengaja menceritakan melalui media fb, supaya siapapun yg membacanya dapat mengambil pelajaran dan memberikan kesadaran (walaupun yg menulis ternyata g sadar2 juga). Dengan kata lain, saya ingin menyatakan, “saya melakukan beberapa kesalahan mendasar sebagai manusia, dan setiap berbuat kesalahan itu mengganggu kenyamanan dan ketentraman batin saya, dan bila anda tidak begitu, maka bersyukurlah dgn hidup yg anda jalani selama ini”. Benar kata pepatah, “guru terbaik adalah pengalaman”. Ketika sedang mengajar pun saya sering bercerita ngalor ngidul (tentang pengalaman hidup pribadi dan beberapa org lain yg saya kenal) dan sebetulnya ngga relevan dgn materi pelajaran yg sedang dibahas. Tapi murid perlu tahu realita hidup lebih dari sekedar ilmu pengetahuan teoritis dan normatif. Supaya mereka dapat menarik pelajaran dan bermanfaat di masa depan. 

Rasanya tidak salah org tua saya memberi nama “Ainul Huda” (mata petunjuk), pengalaman hidup saya membuktikan selama ini saya telah menjadi “petunjuk” yang baik dan yg buruk sekaligus. Beruntungnya, saya terlahir dari org tua muslim, yg taat beragama dan memiliki ilmu keagamaan yg memadai pula. Sehingga, bakat ‘setaniyah’ yg selama ini betah dan seolah mendarah daging dalam diri ini sesekali dikalahkan dengan setitik bekal pengetahuan keagamaan yg telah sy pelajari, di masjid, di madrasah, di pesantren dan di bangku kuliah. Di masa lalu dan di masa sekarang, pondasi keagamaan dan mentalitas ‘setaniyah’ telah mengalami pertempuran klasik terus-menerus, saling menaklukkan dan satu hari nanti akan ada ujung serta pemenangnya. Saya tidak tahu siapa jawaranya, saya hanya bisa berharap ketika usia kelak mencapai batas yg telah ditentukan oleh Tuhan, khusnul khotimah-lah yg keluar sebagai pemenang. 

Akhirnya, catatan ini adlah refleksi tentang diri sendiri, tahun depan (bila masih saya temui tanggal 20 Desember 2013), catatan ini semoga dapat saya baca kembali untuk menimbang-nimbang dan mengevaluasi, apakah setahun ke depan kualitas hidup saya menjadi lebih baik atau kah belum jua membaik (harus optimis dan tetap semangat). Di ujung catatan ini, tak lupa saya ingin mengucapkan selamat untuk diri sendiri, “Selamat ulang tahun Ainul Huda Afandi, semoga Allah meridhoi kehidupanmu, Amin”.


oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 20 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar