Sejarah merupakan salah satu cabang keilmuan yg paling sy sukai
sejak kecil. Maka bacaan tentang catatan sejarah di masa lalu adalah
bahan bacaan yg selalu menarik perhatian sy. Secara keilmuan minat
terhadap sejarah ini ternyata besar manfaatnya, terutama dr sisi
kemanusiaan dan cara kita menganalisa persoalan. Besarnya minat terhadap
sejarah itu pula yg dulu sempat mengantarkan sy mencicipi bangku kuliah
jurusan sejarah Islam, walau tak lama bertahan di sana, terkalahkan
oleh birokrasi sistem pendidikan ala perguruan tinggi yg kaku dan
menonjolkan sisi formalitas.
Sejarah itu pd dasarnya obyektif dan riil, namun mudah bergeser
menjadi subyektif kala sejarah ditulis berdasarkan nuansa dan dinamika
kehidupan saat sejarah itu ditulis dan dituturkan dari waktu ke waktu.
Karenanya dlm membaca sejarah kita harus mampu bersikap kritis,
realistis dan mengadaptasi cara berfikir pelaku sejarah di zamannya.
Dengan paradigma seperti ini, maka gambaran sejarah yg kita peroleh
walaupun tidak seratus persen merupakan kronologis, setidaknya hampir
mendekati realita yg paling obyektif.
Ketika membaca hadits yg oleh kalangan ulama hadits dikategorikan
sebagai hadits mutawatir sekalipun, sy sering mencoba menganalisanya
secara kritis, tentu dgn batas kemampuan intelektual yg sy miliki sbagai
org awam. Misalnya, hadits2 tentang turunnya Nabi Isa, Imam Mahdi dan
dajjal yg secara realistis, bentuk konkretnya lebih mirip dongeng.
Hadits2 tersebut sekalipun valid, beberapa diantaranya tidak
diriwayatkan secara lengkap, utuh dan jelas konteksnya, maka wajar jika
para pakar sejarah Keislaman ada yg berbeda pandangan dlm melakukan
penafsiran. Perbedaan penafsiran umumnya bergantung dr seberapa lengkap
data yg tersedia terkait sebab-musabab munculnya hadits Nabi, contoh
sederhananya ada hadits yg menyatakan najis dgn kategori berat maka cara
membersihkannya dgn membasuh 7 kali dan salah satunya menggunakan debu
suci, menyiram dan menabur bunga di pemakaman, teknis hukuman mati,
keharusan memelihara jenggot, larangan pakaian menutupi mata kaki dan
berbagai hadits lain yg dijadikan sumber hukum ajaran Islam. Haditsnya
betul valid, persoalannya lebih pd aspek penafsiran, relevansi, urgensi /
esensi dan opsi.
Setelah membaca beberapa literatur sejarah keislaman, sy melihat ada
sejumlah keganjilan yg barangkali condong pd dramatisasi sejarah. Arti
sederhananya, melebih2kan cerita untuk memberi kesan yg lebih menyentuh
perasaan atau bermaksud menonjolkan kehebatan. Dlm skala sejarah
Indonesia misalnya, terungkap pembunuhan para jenderal dlm tragedi
G30S/PKI ternyata tidaklah sedramatis film yg dulu sering kita tonton.
Bahkan ketika memesan pembuatan latar musik film pengkhianatan G30S/PKI,
sutradaranya aja ngomong kurang lebihnya begini, “kita ngga bikin film
sejarah, tp film horor). Maka, tak heran ada banyak penyimpangan bila
dikaitkan dgn fakta sbenarnya, Aidit itu pria flamboyan yg tidak
merokok, tp dlm film dikesankan seperti perokok berat. Hasil otopsi
dokter memuat para jenderal korban tewas karena luka tembak, luka2 yg
terlihat itu bukan penyiksaan tp karena terendam beberapa hari di sumur
dan tersayat2 saat jasadnya dilemparkan ke dalam sumur. Sementara dlm
film kita melihat adegan2 sadis, penyiletan, bahkan oleh media massa
waktu itu dirumorkan ada yg dicungkil mata dan dimutilasi kemaluannya.
Semua dramatisasi ini memang dibikin dgn tendensi tertentu, salah
satunya untuk membangkitkan amarah rakyat terhadap PKI.
Melalui buku2 sejarah keislaman jg kita akan menemukan suatu kesan,
bahwa tidak semua konflik dan peperangan didorong motif dan alasan
keagamaan semata, tidak hanya sekedar muslim dan kafir, tapi jug
berlatarbelakang politik, sektarian dan kesukuan, termasuk pula dendam
pribadi. Kehidupan pada masa Rosulullah dan masa setelahnya juga akan
mengantarkan kita pd kesimpulan bahwa era terbaik generasi Islam memang
generasi umat Islam di zaman Rosulullah, generasi tangguh, konsisten
terhadap nilai2 idealisme keagamaan dan prinsip2 tertentu yg terkadang
aneh buat kita yg hidup di zaman sekarang.
Misalnya, bagaimana mungkin secara logika ada muslim yg tega membunuh
khalifah saat sedang menunaikan shalat seperti yg dialami Khalifah Ali
bin Thalib, tatkala sedang shalat seperti yg menimpa Khalifah Umar bin
Khattab atau pun pembunuhan Utsman bin Affan saat sedang membaca
al-Qur’an. Bahkan beberapa pelaku tersangka pembunuh Khalifah Utsman
adalah anak2 tokoh besar dlm sejarah Keislaman. Kita juga takkan habis
pikir, bagaimana mungkin sekelompok muslim meracuni cucu tercinta
Baginda Nabi, Hasan bin Ali dan melakukan pembantaian sadis terhadap
saudara Hasan, yakni Hussein bin Ali dlm peristiwa tragedi Karbala di
Irak. Hasan dan Hussein adlah cucu kesayangan Rosulullah bahkan raut
wajahnya pun mirip dgn Baginda Nabi.
Peristiwa berdarah Karbala adlah tragedi kelam dlm sejarah
keislaman, sangat menyedihkan bila kita membaca ulang alur sejarahnya.
Mengapa Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash yg notabene anak salah seorang
sahabat terdekat Rosulullah rela diperalat Khalifah Bani Umayyah, Yazid
bin bin Umayyah bin Abi Sufyan untuk turut memimpin penumpasan rombongan
Hussein bin Ali Bin Abi Thalib yg saat hanya berjumlah 72 orang dan
mayoritas adalah keturunan Rosulullah. Kita jg mempertanyakan, apa yg
terpikir dlm benak Umayyah bin Abi Sufyan saat mencantumkan nama cucu
Nabi dlm kelompok org yg harus disingkirkan dlm wasiatnya pada Yazid,
sementara ayahnya, Abu Sufyan terkenal sbagai tokoh pejuang Islam dan
pengikut setia Rosulullah.
Peristiwa karbala hingga kini diperingati jutaan org setiap tahunnya,
memperingati tragedi peristiwa adanya sekelompok muslim yg nyaris
menghabiskan keturunan Hussein. Di hari2 terakhir kehidupan Hussein,
adlah hari2 yg berat, rombongan kecilnya terkepung oleh 4 ribu -10 ribu
pasukan Yazid. Bahkan sempat tiga hari jangankan makan, untuk minumpun
tak ada, maka opsi yg tersedia hanyalah syahid melawan pasukan durhaka.
Lalu tragedi itu pun mencapai klimaks, Hussein bin Ali bin Abi Thalib,
Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, Ja’far
bin Ali bin Ali Thalib, Utsman bin Ali bin Abi Thalib, Ibrahim bin Ali
bin Ali Thalib, Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib, Amru bin Ali bin Abi
Thalib, Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Hasan bin Ali,
Qasim bin Hasan bin Ali, Zaid bin Hasan bin Ali, Abu Bakar bin Hasan bin
Ali, Ali Akbar bin Husein bin Ali, Ali Asghar bin Hussein bin Ali,
Abdullah bin Hussein bin Ali, dan rombongan pria lainnya gugur sbagai
syahid. Ali Asgar bin Hussein masih balita yg kehausan, tp rupanya musuh
haus darah, kakaknya Qasim bin Hussein belum jg genap 15 tahun, tp
remaja ini gugur dgn gagah berani. Dari keturunan Hussein, hanya Ali
Zainal Abidin saja yg atas seizin Tuhan diselamatkan dan kebetulan
tengah sakit keras ditenda. Ia pun nyaris dibunuh pula kalau tidak
dicegah oleh keluarga rombongan wanita.
Pembunuhan Hussein bin Ali bin Abi Thalib entah mengapa tidak
menyisakan secuilpun rasa hormat pd ahlul bait. Bahkan kepala cucu Nabi
tersebut sempat di arak dan dipersembahkan pd Yazid bin Abi Sufyan.
Apapun peristiwa karbala adlah tragedi dan simbol kedurhakaan. Mereka
(para pembunuh) mengaku Muslim, menyebut nama Muhammad SAW dlm
syahadatnya tapi tanpa rasa kemanusiaan membunuh cucu2 tercinta nabinya.
Perang Shiffin dan Jamal adalah tragedi kelam lain, ketika beberapa
tokoh Islam berperang, saling berbunuhan melawan tokoh2 Islam yg lain.
Konflik dan peperangan yg sudah dicontohkan di atas kini banyak dimuat
dlm buku2 dan literatur sejarah, syang tidak seluruhnya obyektif dlm
menuturkan peristiwa yg terjadi. Ada beberapa fragmen yg mengarah pd
imajinasi, misalnya saat menuturkan kisah detik2 kematian Hussein. Ada
komunikasi yg logis tp ada juga penggambaran yg cenderung berlebihan yg
memunculkan pertanyaan, “darimana anda tahu ia berkata begitu”. Sejarah
berjalan menurut kehendak Tuhan, selalu ada makna yg bisa dipelajari.
Dlm kasus karbala, pesan terbesarnya adlah, di akhir zaman ancaman
terbesar eksistensi ajaran Islam justru berasal dr kalangan umat Islam
sendiri, maka solusi mengatasi ancaman itu berpulang pd kesadaran untuk
introspeksi dan membersihkan diri sendiri, ketimbang sibuk menuding
kesana-kemari dan membesar-besarkan benturan antar pemeluk agama.
Mungkin benar Yahudi dan Nasrani adlah musuh, tp musuh paling nyata dan
terberat sesungguhnya bersemayam pd diri kita masing2 yg selalu merasa
benar, yg tidak loyal pd agama, kurang cinta terhadap Rosulullah dan
gemar memperlakukan muslim lainnya seperti bukan saudara.
Sama halnya kisah seorang yg dipandang wali, Syeikh Abdul Qadir
Jaelani, ketika mengusir syetan yg mengaku tuhan dan memerintahkan
Syeikh Abdul Qadir berhenti menjalankan shalat. Pertanyaannya, benarkah
Syeikh Abdul Qadir memang menceritakan pengalaman spiritualnya ini?
Logikanya, pengalaman spiritual umumnya bersifat pribadi walau memang
bukan tidak mungkin akan diceritakan pd org lain dgn tujuan memberikan
pelajaran. Ini sekedar contoh, sikap kritis yg sama mestinya ditunjukkan
pd setiap informasi yg kita terima.
Cuma, sikap kritis terhadap informasi dlm konteks keagamaan sebaiknya
di dekati dgn ilmu yg memadai. Klo kita awam, sebaiknya mencegah diri
dr bersikap kritis, karena sikap kritis org awam adakalanya cenderung
ngawur. Bagi org awam, membaca sejarah atau ajaran keagamaan sebaiknya
sederhana saja, ukuran kepercayaan itu lebih sekedar bermanfaat atau
merugikan. “Klo sy baca sejarah itu begini, baiknya saya percaya atau
ngga percaya.” Itu saja. Sebab kepercayaan itu terkait erat dgn
keimanan, keliru dlm menaruh kepercayaan, malah melemahlah iman kita.
Contoh, kita shalat arahnya menuju Ka’bah, bangunan batu yg berada di
Masjidil Haram. Para misionaris sering juga mengejek, “Katanya menolak
berhala, kok menyembah batu..”, atau informasi yg bersifat sensitif bagi
org awam misalnya fakta Nabi beristri 9 bahkan Siti Aisyah dinikahi
saat usia belia, 7 tahun. Bagi org awam, terhadap informasi seperti ini
jangan larut untuk tergoda berfikir kritis, percayai saja apa adanya
sambil belajar mencari latarbelakang persoalan. Kalau kita sudah cukup
memiliki keilmuan yg memadai, maka bersikap kritis justru merupakan
keharusan karena sikap kritis adalah upaya mencari kebenaran, meneguhkan
kepercayaan dan membersihkan segala bentuk penyimpangan dan pemalsuan.
Akhirnya, sikap terbaik dlm menyikapi sejarah adlah sikap netral dan
obyektif. Boleh saja berpihak pd klaim kebenaran sejarah tertentu, tp
jangan terlalu mendramatisir sesuatu. Kita boleh tdk suka pada SBY atau
siapapun, tp ketidaksukaan kita tidak lantas boleh berarti segala
kelemahannya dibesar2kan, kebaikannya seolah tak ada, atau segala
tindakannya disikapi atas dasar sentimen. Sebab hampir setiap kita
adalah penutur sejarah, anak keturunan kita mendasarkan cerita sejarah
masa kini berdasarkan kisah yg kita sampaikan, keliru dlm menyampaikan
kisah, yg terjadi adlah pemalsuan sejarah. Ujung dr pemalsuan sejarah
biasanya bermuara pada fitnah.
oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 16 Oktober 2012
Infprmasi anda menbah wawasan tetapi pengetahuan anda perlu ditambah..salah satunya aja keturnan nabi muhammad SAW spt yg anda maksud. Coba pelan2 baca srt al ahzab tafsienya aja.
BalasHapus