ANTARA LIBERALIS DAN FUNDAMENTALIS


Dulu ketika bertahun2 menyandang status mahasiswa, saya terbilang jarang membeli buku yg sbetulnya merupakan tradisi intelektual khas kaum akademik. Jangankan yg pake mengeluarkan uang, yg gratisan saja sy ngga rajin baca. Bukan ngga hobi, tapi saat itu ada hal2 dlm kehidupan yg lebih menarik untuk dijalani ketimbang baca buku, apalagi klo tebelnya ratusan lembar, rasanya cuma bikin ngantuk aja. Selain malas baca buku, saya juga jarang masuk kuliah, sangat jarang mengikuti seminar atau komunitas2 diskusi yg klo diikuti bisa berpotensi menjadikan kita masuk dlm kelompok “wong pinter”. Maka, ilmu yg saya miliki sejauh ini baru sbatas dasar yg dikombinasikan dgn opini atau persepsi pribadi. Oleh karena itu, harap dimaklumi klo dlm beberapa catatan yg mungkin sempat anda baca, barangkali ada sejumlah mispersepsi atau kekeliruan yg disebabkan dangkalnya ilmu yg sy miliki.

Termasuk pula dlm hal memahami aliran kepercayaan dlm Islam. Betul sy adlah mahasiswa produk gagal jurusan Perbandingan Hukum dan Madzhab (PMH), benar bahwa nama sy pernah tercantum sbagai mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (SPI), namun selama nyangkut di sana, sy ngga ngapa2in dan ngga diapa2in. Sekedar ngabisin waktu dan tetap saja pah-poh klo diajak diskusi tema2 keislaman, terlebih bila topiknya rada berat. Tapi berhubung salah satu hobi sy adlah menjd komentator, maka tak ada ruginya jika sedikit sy ingin menulis tentang identitas kemusliman (istilah opo meneh iki, hehe...).

Jarak masa antara kita yg hidup pada milenium 2 ribuan dgn kehidupan Rosulullah, telah terentang selama lebih dr 1400 tahun. Dalam kurun waktu yg demikian ‘lama’ ini, muncul beragam penafsiran yg selanjutnya ‘terlembaga’ dlm kelompok2 aliran kepercayaan. Untuk menarik pengikut sebanyak2nya, kelompok2 ini lantas sibuk mencari alasan2 yg dinisbatkan pada Nabi dan para Sahabat supaya klaim kebenaran yg mereka percayai terlihat islami. Tak sedikit di antaranya berlaku ceroboh dgn merekayasa catatan yg dilabeli sbagai sejarah, memanipulasi fakta dan bahkan memalsukan hadits2, atau setidaknya melakukan mark up statement suatu hadits.

Maka seperti yg kita saksikan saat ini, ada beragam aliran kepercayaan dan madzhab yg masih eksis dijadikan jalan hidup bagi setiap muslim, setidaknya yg populer dlm ilmu Fiqih ada madzhab Maliki, madzhab Syafii, madzhab Hanafi dan madzhab Hambali. Bolehkah kita mengikuti empat madzhab itu seluruhnya atau istilahnya talfiq? Klo untuk satu rangkaian kegiatan ibadah (sy tdk ingin memakai istilah tdk boleh), tp bisa membuat rancu cara beribadah kita. Dlm bermadzhab, jangan membuat pilihan mengikuti pendapat tertentu karena pendapat itulah yg paling ringan atau mudah dikerjakan. Contoh, jangan memilih pendapat madzhab Syafi’i yg hanya memakruhkan rokok, klo akal sehat anda cenderung menyadari dan mempercayai bahwa rokok itu pantas diharamkan. Artinya, dlm satu perkara dimana ada beberapa pendapat, pilihlah yg paling sesuai secara logika dan rasio kebenaran argumentasinya. Supaya apa? supaya ada harmonisasi antara akal, hati dan gerak tubuh kita.

Oleh karena itu, bagi sy pribadi. Kita justru tidak selayaknya menjadikan madzhab2 tertentu sbagai sub agama, yg tidak memberikan peluang bagi kita mengadopsi kebenaran dr madzhab2 yg lain, dlm makna sederhana taklid buta. Klo anda tanya pd sy, mengikuti madzhab apa sy saat ini? Maka jawabannya, sy tidak menganut madzhab tertentu yg otomatis memberikan sy label identitas yg bersifat spesifik. Bila dalam suatu perkara yg sy lebih cocok dgn pendapat Imam Syafii, ya sy ikut dgn pendapat beliau, dan bila ada dlm perkara lain hati nurani dan akal sehat sy condong membenarkan pendapat Imam Hanafi, sy ikuti pendapatnya, bahkan bisa jg sy mengembangkan penafsiran tersendiri dgn berlandaskan pd interpretasi sy terhadap teks2 keagamaan. Klo ada yg berkomentar sinis, “emange kowe sopo??, kok wani2ne gawe2..”, akan sy jawab,”sy adlah Ainul Huda Afandi” (gampang to jawab e..). Hidup ini memang pertaruhan yg senantiasa menuntut kita bereaksi, bersikap dan berpihak, termasuk dlm hal ajaran agama.

Adanya madzhab sbetulnya untuk membantu kita yg org awam dlm memahami teks ajaran agama, membimbing kita menemukan kesejatian hidup dan kedekatan derajad kita sbagai manusia di sisi Allah. Karenanya, Hassan al-Banna pernah berpesan, “setiap muslim yg belum menguasai kompetensi mujtahid, hendaknya mengikuti imam (guru) sambil belajar”.. terus hingga mencapai kompetensi seorang mujtahid. Namun, bila tingkat intelektual dan loyalitas seseorang terhadap ajaran agama masih dangkal, maka akan lebih baik jika mengikuti pendapat tokoh2 tertentu. Mengapa? (sperti dlm catatan sebelumnya) kita harus ingat, padang mahsyar adlah tempat yg sangat asing, tempat dimana saat itu kita butuh para pembimbing supaya tidak tersesat. Lah, klo ngga jelas madzhabnya, nanti bisa2 ngga ada imam yg mau menerima kita dlm kelompoknya di akhirat. Pertanyaannya buat anda yg bermadzhab syafii, “apakah anda yakin Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali adlah org sesat dan menyesatkan??” (jawabnya dlm hati aja..).

Beberapa tahun belakangan ini muncul banyak perdebatan yg menghadapkan satu kelompok baru yg melabeli dirinya sbagai kelompok Islam liberal dgn kelompok lain yg berparadigma fundamental. Sy sbetulnya ngga paham2 amat apa saja sih yg dijadikan bahan polemik dan terkadang berujung pd keraguan tentang keislaman seseorang. Pd masa Rosulullah, kelompok2 yg mengaku Islam, namun keyakinan dan praktek keagamaannya menyimpang akan diperangi dan dipaksa untuk kembali pd ajaran Islam sesuai yg diajarkan oleh Rosulullah. Mengapa harus dgn kekerasan? Karena pd masa2 kelahiran Islam, eksistensi Islam sbagai agama belum stabil, harus benar2 dijaga kemurniannya, mengingat mayoritas umat Islam waktu itu berstatus mualaf atau bukan Muslim ‘turunan’ (alias menjd muslim karena lahir dr orang tua Muslim). Selain itu, perang adlah solusi yg paling realistis dlm konteks sejarah umat manusia di era tersebut. Anda boleh tdk suka berkelahi dan berperang, itu karena anda lahir dlm situasi damai dan nyaman seperti skarang. Klo anda lahir di zaman perang, opsinya hanya dua, pergilah berperang dan membunuh seseorang atau anda akan diperangi dan dibunuh org lain.

Pada masa sekarang, situasi sudah berubah. Islam sbagai agama telah berdiri kokoh dan sulit dipalsukan mengingat kecanggihan teknologi informasi yg kini dikuasai oleh umat manusia. Cara kita menyikapi persoalan2 ikhtilaf mestinya juga jauh lebih ‘toleran’ dan tidak terjebak pd pola pikir yg mudah menganggap sesat sesuatu atau mengkafirkan org lain. Sebab kebenaran itu tidak seluruhnya seragam, namun juga adakalanya berwarna warni. Boleh saja kita memilih satu warna tertentu, boleh warna lain, boleh memilih sekaligus warna2 yg agak mirip asal bukan memilih warna yg kontras dan bertolak belakang.

Sejauh pemahaman sy selama ini, apa yg dikembangkan kelompok aliran Islam liberal sbetulnya baru sebatas pergulatan wacana keilmuan yg sebenarnya sah2 saja. Penekanan cara berfikir mereka terhadap Islam adlah memahami Islam jngan sekedar teks, namun juga konteks sejarah dan perkembangan zaman. Sementara kelompok fundamental memiliki cara berfikir konservatif yg sering mengandaikan konteks zaman mereka seakan2 masih satu masa dgn kehidupan Rosulullah.

Terhadap perseteruan semacam ini, kita cuma bisa menyarankan, “agama bukanlah ritual tanpa makna, dunia bukanlah kehidupan yg monoton dan begitu2 saja”. Agama diturunkan karena ada konteks dinamika zaman, dan tujuan akhir beragama yg harus dijunjung tinggi adalah esensi dan simbolik. Ritual keagamaan yg bersifat simbolik tak boleh diubah, misalnya caranya shalat sudah begitu, maka jangan dimodif macem2. Ibadah puasa, zakat, haji dan ritual keagamaan lain yg bersifat simbolik adalah cara beragama yg berlaku permanen. Sementara hal2 lain yg bersifat konstruksi hukum maupun yg bersifat sospolhankam tentu saja membuka peluang pada pilihan2 berbeda sepanjang esensi dan tujuannya sama. Saya sering memberi contoh misalnya hukuman mati, benar bahwa menurut tradisi peradaban umat Islam sejak dulu yg berlaku dgn cara dipancung, apakah eksekusi dgn cara lain, misalnya ditembak apakah tdk bisa dipandang sbagai eksekusi yg Islami? Hal2 yg bersifat teknis tentu boleh2 saja, klo dipandang lebih efektif, simpel dan efisien, toh esensi dan tujuannya sama. Begitu pula dlm hal konstruksi hukum Islam lainnya. Contoh lain, apakah klo terkena najis mugholladzoh tak ada cara lain selain membasuh dgn air sbanyak 7 kali diantaranya dgn debu? Tentu saja bisa dgn jalan lain (misalnya pake sabun lifeboy), sepanjang esensi dan tujuannya sama.

Saya ingin memberikan contoh lain lg yg memiliki hikmah agar umat Islam cermat untuk memilah mana perbuatan atau tingkah laku Nabi yg harus dipertahankan sebagai cara menjalani kehidupan, dan mana pula perbuatan atau tingkah laku Nabi yg bersifat kontekstual atau sesuai dinamika peradaban zaman. Misalnya Rosulullah diperbolehkan beristri lebih dr empat, smentara tdk boleh bg umatnya, Rosulullah diharamkan menerima zakat, Rosulullah tdk diperbolehkan menikahi wanita ahlu kitab. Semua contoh2 ini bukanlah situasi serba kebetulan, namun pelajaran berharga agar umat Islam benar2 memahami apa yg dimaksud dgn sunnah2 Nabi, sehingga sbagai umat manusia kita tdk jd kelompok yg jumud dan menafikan dinamika zaman.

Kehati2an dlm memandang syariat dan ajaran Islam itu penting dan harus. Sy juga tdk setuju dgn cara berfikir yg terlalu liberal dan mendewakan akal pikir, namun yg harus kita pahami bahwa konstruksi hukum itu tersedia untuk kepentingan manusia, dan manusia diberikan peluang untuk memiliki keterlibatan membangun konstruksi hukum sesuai dgn konteks zaman dan berlandaskan pada norma dan teks2 keagamaan yg memang membuka peluang untuk ditafsirkan. Salah satu contoh yg tdk saya setujui misalnya isu2 emansipasi seperti kemungkinan wanita memperoleh pembagian warisan setara pria dgn argumen sekarang banyak wanita telah bekerja mencari nafkah, bahkan jd tulang punggung ekonomi keluarga. Untuk menjawab pendapat seperti ini kita harus kembali memahami apa yg dinamakan dgn kodrat kemanusiaan. Kodrat kemanusiaan tdk semestinya berubah dan seharusnya benar2 dijaga agar tdk berubah. Jenis manusia berdasarkan kelaminnya hanya dua, pria dan wanita, laki2 adlah pemimpin bagi wanita (dlm keluarga) dan sepanjang tdk dlm situasi darurat, posisinya tetap seperti itu sampai kapan pun.

Pria dan wanita memang tdk pernah setara dlm hal kepemimpinan dan derajad kemanusiaan (berbeda lg dgn derajad keislaman), harusnya tetap begitu. Bacalah sejarah diusirnya Nabi Adam dan Siti Hawa dari surga, bacalah sejarah penaklukan Nabi Sulaiman atas Ratu Saba’ (yg notabene seorang perempuan), bacalah sejarah kekalahan bala tentara siti Aisyah oleh pasukan Ali bin Abi Thalib, mengapa tak ada Nabi perempuan, mengapa wanita tdk boleh jd imam shalat bagi lelaki, dsb..yg semuanya mengajarkan kita untuk memahami apa yg maksud dgn kodrat kemanusiaan. Anda kaum wanita mungkin tdk suka dgn pemahaman sy ini, tapi memang begitulah (diciptakan sbagai wanita adlah ujian tersendiri).

Aliran Islam liberal pernah mengeluarkan 6 butir manifesto yg secara umum sbetulnya biasa2 saja untuk disikapi, yaitu membuka pintu ijtihad, mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks, mempercayai kebenaran relatif, terbuka dan plural, memihak pd minoritas dan tertindas, meyakini kebebasan beragama, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi. Secara umum sebagian sy setuju2 aja dgn butir manifesto tersebut, namun ada juga hal2 yg tdk sy setujui, terutama terkait dgn identitas keislaman dan kemusliman. Sbagai contoh nyata, sy tdk setuju dgn pembelaan terhadap ahmadiyah, walau bukan berarti sy sepakat dgn cara2 kekerasan dlm menyikapi eksistensi kelompok ini. Saya juga tdk menyetujui sekularisasi dlm artian memisahkan kekuasaan dan agama. Dua hal ini adlah bagian dr peradaban umat manusia, dan dlm perkembangannya harus diakui saling membutuhkan, keduanya memiliki hubungan simbiosis-mutualisme.

Negara memang tidak berhak dan tdk seharusnya mengintervensi ajaran keagamaan, namun negara semestinya dimanfaatkan untuk mengatur kehidupan umat beragama. Kekuasaan punya peran penting dlm menyebarkan agama Islam pd awal sejarahnya. Sebab agama bukan cuma soal urusan ibadah dan tanpa kekuasaan (bila hanya mengandalkan kesadaran pribadi), agama hanya akan berfungsi sebatas teori, keyakinan, inisiatif lokal dan hal2 yg bersifat individualistis. Demikian pula sbaliknya, agama memang tidak memerlukan formalisasi atau terlalu mencampuri urusan2 negara yg bersifat teknis, namun agama menjd norma dan payung moral bagi setiap kebijakan publik termasuk dlm membangun konstruksi hukum positif.

Kita tercipta dr segala perbedaan, namun orientasi hidup kita seyogyanya pd penyatuan. Kita memang harus menghormati dan menghargai perbedaan sekalipun saling bertolak belakang, namun tak boleh berlaku toleran terhadap pemalsuan dan penyesatan identitas keislaman. Jalan wajar dlm bereaksi adlah respon yg sepadan, halus dibalas halus, kasar dibalas kasar, aksi fisik dibalas fisik, perang kata dibalas kata, perang tulisan dibalas tulisan.

Kalau kita memahami setiap pandangan dgn kelompok liberal, katakanlah di Indonesia yg populer adlah JIL-nya Ulil Abshar, poin utamanya adlah gagasan2 dlm membangun wajah dunia yg ideal. Penuh perdamaian, toleransi, kebebasan, plurisme dan memahami Islam menurut esensi. Beberapa dari gagasan tersebut sy sepakat, tapi sebagian di antaranya cenderung menjadi pemikiran yg melampaui batas. Saya pribadi memahami, dunia ini bukan tempat yg tepat untuk mendapatkan wujud  paling ideal dr apa yg kita bayangkan atau cita2kan. Kita, pada batas2 tertentu hanya bisa mendekatinya. 

Bila anda berharap suatu saat akan berkumpul secara harmonis bersama org2 yahudi sbagai keluarga terdekat dr sisi keimanan, maka anda tengah bermimpi tentang idealitas. Bila anda mementingkan perdamaian ketimbang adanya kenyataan penyimpangan ajaran Islam, maka anda salah kaprah dlm bersikap. Bila anda tak suka perda2 syariat dgn berdasarkan prinsip2 sekularisme, maka anda harus meragukan kecintaan anda pada simbol2 dan identitas keislaman. Karenanya, marilah kita berhati2 dlm mengembangkan pemikiran dan potensi akal yg kita miliki. Bersikap hati2 jelas lebih baik dan lebih aman demi kepentingan akhirat kita. 

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 6 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar