BERTANGGUNGJAWAB PD ILMU


Saya mungkin tak pernah bercita2 menjdkan guru sbagai profesi, sejak kecil. Bukan saja disebabkan karena aktifitas sbagai guru adlah pekerjaan turun temurun dlm keluarga kami, tp jg karena ada obsesi mendapatkan tanggungjawab dan peran sosial dlm skala yg lebih besar.

Tapi kemudian selepas lulus kuliah , datang tawaran untuk membantu mengajar disebuah sekolah [dan kebetulan aku memang lulusan jurusan pendidikan]. Butuh beberapa lama untuk mempertimbangkannya. Ketika tawaran itu datang untuk keduakalinya, akhirnya kuputuskan untuk menerima dgn menyesuaikan waktu luang yg tersedia. Dlm satu kesempatan berbasa-basi, sy pernah ditanyakan oleh pihak sekolah mengenai motivasi kok mau menjd guru. Secara jujur sy katakan bahwa sy berhasil lulus kuliah dijurusan pendidikan, dan karenanya secara kualifikasi pendidikan dianggap terdidik untuk menjd seorang guru. Sebagai seorang yg terdidik, sy telah melampaui proses transformasi ilmu dan sepenuhnya sy sadari bahwa siapapun dituntut bertanggungjawab atas tiap ilmu yg dimilikinya, termasuk pula ada keharusan moral untuk mengajarkannya pd orang lain.

Sekilas jawaban yg sy berikan memang terkesan normatif, tp sesungguhnya substansial. Apa adanya. Klo motifnya ekonomi, Ada aktifitas lain yg selama ini sudah sy lakoni dan lebih menjanjikan dr sisi hitung2an pendapatan. Tanggungjawab terhadap ilmu adlah motivasi terbesar. Setelah masuk kelas dan berhadapan dgn siswa ternyata jd guru itu benar2 melelahkan. Sekalipun durasi waktunya tak berapa lama, tp menyita energi dan konsentrasi. Sebab, kita dihadapkan dgn sekelompok anak muda yg tidak bs dididik dgn alakadarnya. Tidak setiap anak bs diberikan pendekatan belajar dgn cara yg sama.

Dlm mengajar, sy banyak belajar dr pengalaman belajar masa lalu bahwa esensi pendidikan sesungguhnya bukanlah tentang angka atau nilai prestasi belajar diatas kertas. Bagi sy esensi akhir dr pendidikan adalah harmonisasi antara peningkatan kuantitas ilmu dan kualitas karakter seorang siswa yg diwujudkan melalui sikap bertanggungjawab terhadap ilmu yg telah diserapnya. Sehingga, ketika ada sejumlah kecil siswa kedapatan sering membuat gaduh selama kegiatan belajar berlangsung, sy memilih beberapa cara, pertama akan memberi teguran maksimal 3 kali sbagaimana tercantum dlm kontrak belajar, bila tetap membandel ada 2 opsi, menyerahkan bentuk sanksi pd siswa lain atau memutuskan siswa bersangkutan belajar diberikan tugas mandiri diluar kelas. Sebelumnya jg sy sampaikan pd siswa bahwa akhlak itu memiliki tingkatan yg lebih tinggi dr ilmu. Karenanya sikap siswa slama belajar memiliki bobot nilai tertinggi dibanding kecakapan siswa menjawab soal2 evaluasi. Peluang siswa untuk memperoleh nilai minimal berupa angka 5 merah atau nilai maksimal dlm raport turut dipengaruhi sikap siswa selama belajar.

Apakah langkah seperti ini otomatis menyelesaikan masalah siswa dgn tipikal si "trouble maker" atau pembuat onar ? tentu saja tidak. Siswa dgn problem seperti memerlukan pendekatan individual yg disesuaikan dgn karakter dan akar masalah masing2. Adakalanya mereka hanya terbawa kebiasaan mengikuti kegiatan belajar yg penuh kelonggaran, atau sekedar menarik perhatian. Pemberian sanksi tdk selalu efektif digunakan pd tiap siswa bermasalah, terkadang justru membuat kondisi bertambah parah. Pendekatan psikologis seringkali hasilnya lebih manjur. Sehingga klo pun tetap memilih menerapkan sanksi, itu lebih untuk menyelamatkan dan tidak mengganggu proses belajar siswa lain.

Akhirnya, berbagi ilmu itu senantiasa membahagiakan. Menjd guru tentu tdk harus dilembaga sekolah atau pendidikan lainnya. Bisa dimana saja, sebab yg terpenting adalah bahwa kita sudah berusaha bertanggungjawab atas tiap ilmu yg telah kita dapat selama ini, agar ilmu kita berkah dan membawa kemanfaatan laksana pohon yg tumbuh subur nan lebat buahnya, sehingga dapat dinikmati oleh banyak org.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar