ALLAH MAHA SABAR


Dalam catatan terdahulu (“Efek samping berhaji”), saya menyertakan kisah salah seorang tetangga kami yg belum lama pulang dr ‘naik’ haji dan mendadak mendapatkan cobaan berat, terserang stroke berat. Ironisnya, serangan penyakit tersebut ketika yg bersangkutan baru saja menyelesaikan kata sambutan sbagai tuan rumah pengajian syukuran haji di kediamannya. Sempat dirujuk ke palembang, namun mengingat kondisinya stagnan akhirnya dokter merekomendasikan yg bersangkutan dibawa pulang ke rumah, kini kondisinya tak bisa dibilang sembuh, tp setidaknya lebih baik dr pd waktu masih dirawat di rumah sakit. Seperti umumnya org yg terserang stroke, tetangga kami ini tak mampu bersuara seperti biasanya, melalui hari2 dgn banyak tidur, dan istrinya pun menjd kurus karena musibah ini. Sungguh tak terduga, karena suami istri ini masih terbilang muda, hanya selang beberapa tahun saja usianya dr saya, tp namanya penyakit tak mengenal usia. Sy hanya bisa berharap semoga Allah memberikan kesembuhan dan kesempatan berikutnya untuk menjalani hidup secara normal. Saya berharap jangan sampai ada penyesalan, lalu misalnya menyalahkan, “gara2 ikut haji jd begini”. Agaknya Allah sedang menguji kesabaran dan keikhlasan keduanya.

Kita berharap selalu ada berkali2 kesempatan yg diberikan Allah dlm kehidupan kita, seringkali kita mengabaikan, lalai atas kesempatan yg telah dianugerahkan sekalipun rasanya tak terhitung perilaku kita sungguh keterlaluan dan melewati batas. Nyatanya, Allah Maha Sabar, setidaknya hingga hari ini kita masih dikaruniai nikmat hidup.

Sampai sekarang sy masih berfikir2, apa sesungguhnya yg ‘dinantikan’ Allah sbelum mengakhiri alam semesta ini. Terlalu banyak dosa dan pelanggaran yg diperbuat umat manusia. Kita juga sampai detik ini belum menemukan sosok pemimpin pilihan yang mampu mewarnai dunia dgn warna dominan kebajikan dan jalan hidup yg lurus. Dalam hati ‘kecil’, saya merasa kelihatannya dunia menuju muaranya, indikator yg bisa kita lihat adalah perkembangan peradaban umat manusia yg sungguh menakjubkan dlm kurun waktu 50-100 tahun belakangan ini. Perkembangan peradaban ini boleh jd tak pernah terbayangkan manusia, perkembangan teknologi luar angkasa, gedung2 pencakar langit, kapal selam, robot, televisi, internet, HP, Ipad dan sederet karya cipta peradaban yg luar biasa.

Segala dinamika perkembangan peradaban ini jelas bukan tanpa tujuan dan makna. Semakin lama, semakin rumit dan sulit. Penuh kamuflase yg membingungkan kita, sampai2 kita tdk lg sederhana dlm memandang kebajikan dan kemungkaran. Lihatlah cara pandang terhadap org2 jaulak dan wahabi. Lihat cara pandang kita terhadap org2 sekuler dan liberal, lihat cara pandang kita terhadap ahmadiyah. Terkadang kita sering salah dlm meletakkan perasaan cinta dan benci.

Contohnya diri sy sendiri, pernah suatu waktu sy menaruh rasa cinta terhadap sesuatu yg besarnya kecintaan itu rasanya jauh melebihi rasa cinta sy terhadap Tuhan, melebihi rasa cinta sy terhadap Rosulnya, melebihi rasa cinta sy terhadap org tua. Hingga pd titik tertentu rasanya Tuhan memberikan sanksi yg teramat halus, seperti diabaikan. Sampai sekarang kecintaan sy terhadap Tuhan belum sepenuhnya pulih. Beruntungnya, Allah Maha Sabar.

Kalau sy menuturkan ini, tentu tidak sekedar ingin curhat (apalagi pamer), bukan pula supaya anda mencela sy karena mengakui kurangnya rasa cinta terhadap Tuhan, pdhal pada Tuhan-lah sejatinya rasa cinta itu pantas menjd jiwa atas kehidupan hati, pikiran dan gerak-gerik tubuh kita. Namun, saya cuma ingin memberikan contoh betapa hidup ini tak mudah dijalani. Toh apa yg saya alami bukan sesuatu yg tak lazim, banyak pula menimpa org lain (semoga bukan anda di antaranya), tapi rasanya klo mau jujur, kita bisa bertanya pd diri sendiri sudahkah rasa cinta kita pada Allah mengalahkan segala2nya?

Baru2 ini sy seperti biasa sy mengunjungi Gumawang, pusat kecamatan tetangga yg letaknya skitar 20 kilometer. Di pinggir irigasi komering yg dibelitang biasa disebut dgn BK, berdiri kokoh satu masjid yg dikenal sebagai masjidnya kelompok jamaah tablig alias jaulak. Bangunannya tak terlalu besar, namun dari luar cukup indah untuk disebut musholla. Singkat kata, pondasi finansial kelompok jaulak ini tampaknya tak sesederhana dr penampilan mereka. Sy waktu itu punya kepentingan untuk menuju ke suatu tempat yg berdekatan dgn bangunan masjid milik kelompok jaulak. Tp kebetulan ada acara yg cukup besar, jalan masuk ditutup dgn portal. Banyak pengendara lain memilih ‘jalan pintas melewati gang2’, tp berhubung jalan itu milik publik, sy merasa punya hak untuk lewat, tinggal angkat portal dan berlalu.

Ternyata perkembangan kelompok ini memang sudah luar biasa, ratusan motor dan belasan mobil2 mewah terparkir rapi, ada bazar juga tampaknya. Saya berfikir, biarpun secara penampilan masih terlihat aneh, tp kelompok ini pasti punya daya tarik besar, terutama bagi muslim2 awam. Apalagi mereka cukup rajin menjalan misi dari masjid ke masjid.  Sayangnya sejauh ini mereka belum berhasil melepaskan diri dari stigma ekslusif dan punya menampakkan kesan seakan2 mereka adlah org2 yg lebih paham soal agama.

Pernah pula kelompok ini minta izin untuk menggelar kegiatan di masjid di dekat rumah saya, beberapa tahun lalu. Etikanya sudah benar, tp topik yg dibicarakan kurang mengenakkan. Waktu itu masjid kami sedang di renovasi, namun salah satu pemimpinnya yg asal jakarta agaknya tdk paham situasinya. Ia bilang, masjid itu ngga perlu direhab segala, ngga perlu dibagus2in. Terus dijawab, “Pak, masjid yg lama itu peninggalan generasi tua, sudah lapuk dimakan usia, klo ngga direhab nanti malah ngga punya masjid.” Sebetulnya maksud perkataan tokoh jaulak ini bagus2 saja, masjid itu yg penting bukan kemegahan fisiknya, namun aktivitas penghuninya. Toh, Nabi Muhammad pun pernah menyatakan yg dlm kalimat sederhananya, di akhir zaman kelak umat Muslim getol membangun masjid2 megah, tp kehilangan ruhnya. Buktinya memang bisa kita lihat pd zaman sekarang. Banyak masjid dibangun megah dan indah (contohnya masjid Qubah emas yg banyak dikunjungi sbagai lokasi wisata).

Saya sendiri ogah memandang buruk kelompok2 wahabi, sama ogahnya dgn memandang serba baik paradigma berfikir org2 NU dan Muhammadiyah. Mengapa? Karena kebenaran itu semakin samar, saya takut salah menaruh rasa cinta dan rasa benci terhadap sesuatu yg samar2. Ada banyak hal positif yg dimiliki kelompok wahabi, sama juga ada banyak hal yg bisa dikritik dari budaya kaum sunni. Hingga hari ini sy ogah memproklamirkan dr sebagai bagian dr ormas atau aliran kepercayaan tertentu, karena sy tidak menyukai batas2. Sama juga sy tidak menyukai sekat2 bangsa dan negara, karena tdk sesuai dgn idealitas kehidupan dan hakekat kemanusiaan. Tp toh sy sadar, idealitas notabene bukanlah milik duniawi. Seperti sudah berulangkali sy tulis, dunia ini bukan tempat yg logis untuk meletakkan idealitas, yg ada hanyalah mewujudkan sesuatu yg terbaik dan rasional untuk diwujudkan. Idealnya semua manusia itu muslim, idealnya seluruh manusia itu baik, idealnya tak ada kejahatan, perang dan pembunuhan. Idealnya begitu, tp takdir menyatakan lain.

Gus Dur banyak dipuji2 karena sifat pluralistiknya yg kental, memang bagus tapi sifat itu sangat personal, sesuatu yg hanya muncul alami pd diri individu2 tertentu. Nyatanya banyak pengagum Gus Dur (termasuk sy sendiri) tak kuasa mengikuti jejak2 pluralisme yg dianutnya. Nyatanya, sy justru condong untuk berfikir hidup ini adalah pergulatan dan pertempuran panjang yg senantiasa harus diperjelas bentuk konkretnya.

Perdamaian adalah semangat dasar pluralisme yg selanjutnya memberikan sudut pandang pemikiran untuk tdk melihat perbedaan warna kulit, status sosial, agama dan keyakinan, bahwa manusia punya hak untuk mengerjakan apapun yg diyakininya benar. Saya tdk menafikan kebenaran cara pandang ini, bahkan bagi sy ayat2 tentang perdamaian itu patut dikedepankan dr pada ayat2 tentang permusuhan dan peperangan. Namun nyatanya, pesan sejarah keislaman sangat jelas, tidak kehilangan relevansi sepanjang dimaknai konteks sejarahnya.

Untuk kesekian kalinya, sy ingin menyatakan kita hidup di zaman yg membingungkan dimana tidak mudah lg menafsirkan antara hak dan batil, benar dan salah, putih dan hitam, dlm setiap aspek kehidupan kita. Kesulitan memberi tafsir dan memaknai realitas kehidupan, akhirnya membawa cara berkehidupan kita masuk ke area abu2. Yg terjd kemudian adlah inkonsistensi antara pikiran, hati dan perbuatan. Pikiran menyatakan itu dosa, hati sempat merasa bersalah, tapi perbuatan punya keputusan sendiri. Pikiran menyatakan itu kebenaran, hati menguatkan namun tak cukup menggerakkan anggota badan.

Apa cara terbaik menyikapi ini semua? Rajin2 melakukan koordinasi internal. Lebih rajin menilai diri sendiri drpada menilai org lain. Seperti biasa, secara teori, secara ilmu, solusinya gampang untuk diucapkan, mudah pula dipikirkan dan dirasakan, tapi sungguh sulit mengaplikasinya dlm perbuatan. Maka apalagi yg kita harapkan bila kita tak kunjung berhasil menata hidup kita sendiri, agar benar tidak saja menurut apa yg kita yakini, namun benar dlm kebenaran yg hakiki. Jawabannya ialah, waktu dan kesempatan. Allah Maha Sabar. Berkali2 kita salah, tak cuma ada kesempatan kedua yg diberikan kepda kita,  berkali2 sudah sampai kita alpa menghitung jumlahnya. Namun kita harus ingat, dunia ini fana’, kehidupan kita mudah rusak, pada akhirnya kesempatan itu akan mencapai batas tanpa peduli berapa banyak lg waktu dan kesempatan yg masih kita inginkan.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 28 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar