“MAAF IYA, LUPA TIDAK”


Hari ini segenap umat Islam diseluruh muka bumi merayakan Idul Fitri, hari kesucian, setelah satu bulan lamanya merasakan ujian dan anugerah dari Allah, berupa hadirnya bulan yg lebih baik dibandingkan 1000 bulan2 biasa. Disebut ujian, karena pada bulan Ramadhanlah kita sebagai umat Islam diuji seberapa bagus kualitas keislaman kita. Akankah kita cukup memiliki tekad, kemauan dan usaha yg nyata untuk menuju ujung tujuan puasa, yakni menjadi muslim yang bertakwa, muslim seutuhnya. Hanya keberhasilan menjadi pribadi yg takwa-lah yg menjadi syarat kita memasuki momen diwisuda sebagai individu manusia yg fitri (suci dr dosa). Kewajiban berpuasa pagi hingga sore hari sejatinya adalah media agar kita lebih mudah sadar bagaimana bertindak selama menjalani hari2 di bulan Ramadhan. Berpuasa bukanlah tujuan, bukan pula esensi paling utama di bulan Ramadhan, ia merupakan metode agar kita lebih mudah mengontrol hawa nafsu dan mengendalikan diri.

Mengapa kita mesti berpuasa di siang hari bulan Ramadhan? Sebagai jawaban, kita harus ingat kembali bahwa di zaman Rasul, potensi berdosa itu kebanyakan terjadi disaat matahari menampakkan diri hingga ia tenggelam di ufuk barat. Sementara bagi kita yg hidup dizaman modern, kehidupan berjalan lebih panjang, aktivitas terjadi lebih lama, tak hanya di siang hari, tp juga dimalam hari. Bahkan kini, terkadang potensi berdosa itu justru terjadi kebanyakan ada pada malam hari. Apakah klo begitu, semestinya kita juga berpuasa di malam hari? Tidak, karena berpuasa yg terlalu lama akan merusak tubuh, dan itu justru hukumnya menjadi haram. Caranya kembali pada bagaimana menyesuaikan pendekatan, metode, taktik, strategi dan media yg relevan agar tujuan menjadi manusia bertakwa tercapai, dgn tetap berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah.

Satu bulan bukanlah waktu yg terlalu singkat, tapi keliru dlm memperlakukan Ramadhan, maka efeknya adlah keliru pula cara kita melepas kepergian Ramadhan. Berbeda dgn muslim di Jazirah Arab dimana konon Idul Adha dirayakan lebih meriah drpada Idul Fitri, kita di Indonesia ‘terlanjur’ dgn menjadikan Idul Fitri sbagai hari yg paling dinantikan, sehingga terkadang persiapan menyambutnya mengurangi konsentrasi kita terhadap ramadhan. Kerepotan membenahi rumah, bikin kue2, pakaian baru hingga kerepotan menempuh perjalanan mudik, membuat 10 hari terakhir ramadhan tak lagi dinikmati dgn antusias. Gimana lagi, kata iklan biskuit, “udah tradisi..”.

Toh, tetap ada tradisi baik lain yg masih menjadi penghias utama perayaan Idul Fitri, yakni menjalin silaturahmi. Menjaga komunikasi dan kesempatan termudah saling meminta maaf. Sebuah budaya upaya menghapus kebencian. Bagaimanapun dlm hidup, dgn sifat alamiah manusia yg mudah terlibat konflik, kita tak bisa menghindari benturan2 kepentingan yg acapkali membuat kita saling berseteru. Almarhum Gus Dur dlm satu acara talk show Kick Andy di Metro TV pernah menyatakan, “Di Indonesia ini, sbenarnya ada satu org yg paling pantas menjadi musuh saya, dialah Pak Harto. Tapi, saya mengunjungi beliau pada hari lebaran. Artinya apa, artinya saya ngga punya musuh.” Gus Dur benar, seperti pepatah “punya satu musuh itu terlalu banyak, dan memiliki 1000 teman rasanya masih sedikit.” Ketika ditanyakan apakah Gus Dur masih marah dgn Amien Rais yg pernah ‘mengkhianati’ dirinya, ketika justru terbawa arus kepentingan politisi yg mendongkel Gus Dur dr tampuk jabatan kepresidenan. Apakah Gus Dur sudah memaafkan perbuatan Amien Rais?, “Maaf iya, tp lupa ngga..”

Sebuah komentar jujur yg amat manusiawi. Karena pikiran dan hati adlah pemimpin2 dlm diri kita yg adakalanya susah dikendalikan. Pikiran tidak seperti komputer dimana kita bisa menghapus file2 didalamnya dgn mudah. Kenangan baik dan kenangan buruk adlah memory yg tidak mudah terhapus, yg mampu kita lakukan hanyalah mengelolanya sebaik mungkin.

Baginda Rosulullah sendiri, sekalipun merupakan manusia terbaik dan termulia derajadnya, juga tak terlepas dr kenangan2 menyakitkan. Seperti bagaimana kita bisa membaca kisah Abu Dusamah alias Wahsyi, seorang budak Mut’im bin Adi, salah seorang tokoh suku Quraisy Makkah. Wahsyi adlah budak yg membeli kemerdekaannya dgn membunuh paman Nabi, Hamzah bin Abdil Mutholib. Maka pergilah Wahsyi ke medan tempur bukit Uhud, hanya dgn satu tujuan, membunuh Hamzah. Pada dasarnya, ia tak terlalu peduli dgn konflik agama, ia hanya ingin bebas dr status budak. Maka saat kesatria lain berhadapan, mempertaruhkan nyawa, Wahsyi hanya mengendap2, mencari dimana sosok Hamzah bin Abdul Mutholib berada. Ternyata tidak terlalu sulit, karena Hamzah memang tokoh yg terkenal kepahlawanannya dimedan tempur, konon pada perang uhud Hamzah sudah membunuh pasukan Quraisy lebih dr 30 orang. Dimedan tempur, sosoknya mudah dikenali karena Hamzah sering mengenakan aksesoris kepala dr burung unta untuk menunjukkan identitasnya sbagai ksatria. Sekalipun juga punya keterampilan bertempur, Wahsyi tak cukup nyali menghadapi Hamzah satu lawan satu. Ia memilih diam-diam melemparkan tombak saat Hamzah tak mengetahui kehadirannya, lemparan yg tepat menembus tubuh Hamzah.

Sekalipun telah tertembuh tombak, Hamzah awalnya masih cukup kuat melangkah ke arah Wahsyi, namun akibat luka yg demikian parah, sahabat Hamzah pun jatuh dan gugur sbagai syahid (Semoga Allah senantiasa menganugerahkan rahmat dan segenap kenikmatan atas kesyahidan beliau). Pasukan muslim mengalami kekalahan atas kecerobohan, sikap tamak terhadap harta perang, tindakan indisipliner dan ketidak patuhan sejumlah orang atas strategi yg sudah ditetapkan Rosulullah. Hamzah adlah salah satu korban, namun yg menyakitkan adlah perlakuan istri Abu Sufyan, Hindun terhadap jenazahnya (membelah jantung Hamzah, memakan dan memuntahkannya, sampai2 Hindun dijuluki “pemakan jantung”). Walaupun memotong2 bagian tubuh musuh yg tewas pada masa itu adlah kelaziman perang bagi org2 kafir di Jazirah Arab, namun tetap saja ini kenyataan menyakitkan bagi Rosulullah.

Hamzah adalah paman Nabi yg usianya sebaya dgn beliau, katakanlah teman sepermainan. Bahkan ketika Hamzah belum memeluk Islam, beliau adalah pembela yg sangat gigih, apalagi setelah masuk Islam. Kematian tragis Hamzah demikian membuat Rosulullah bersedih hati, sampai2 beliau bersabda, “..dan tidak ada suasana yg lebih menyakitkan ku yg melebihi suasana sekarang ini.” Para sahabat menggambarkan mereka tidak pernah melihat Rosulullah sesedih itu. Ingin rasanya beliau membalas perlakuan Kafir Quraisy dgn tindakan yg lebih menyakitkan, namun segera Allah menegur dan mengingatkan Rosulullah melalui ayat 126 QS. An-Nahl, yang memberikan pesan bahwa kalau ingin membalas, maka balasan harus sepadan, namun bersikap sabar itu lebih baik. Demikian besar penghargaan Rosulullah atas dedikasi yg diberikan Hamzah bin Abdil Mutholib, jenazah Hamzah dishalatkan hingga 70 kali dan dikalangan sahabat, beliau digelari Sayyidus Syuhada’ (pemimpin para syuhada’).

Selepas perang Uhud, Wahsyi mendapatkan ganjaran atas ‘prestasi’ membunuh Hamzah. Ia dimerdekakan. Bertahun2 setelah kebebasannya, Islam islam merengkuh kemenangan demi kemenangan, dan realitas ini menakutkan Wahsyi. Ia lari dr satu daerah ke daerah lain, dan tiba2 ia merasakan bumi ini begitu sempit. Ia ingin masuk Islam, tp cemas akan dihukum berat atas perbuatannya atas diri Hamzah, akhirnya Wahsyi pasrah. Ia menuju ke Madinah, menemui Rosulullah dgn segala resikonya. Dlm satu riwayat diceritakan bahwa Rosulullah menanyakan pd Wahsyi bagaimana ia membunuh Hamzah, Rosulullah memaafkan Wahsyi, namun Rosulullah meminta Wahsyi tidak menampakkan dirinya lg pd Nabi. Ini situasi perasaan yg manusiawi, bagaimanapun memory peristiwa tragis yg menimpa Hamzah tak mudah terlupakan. Sampai Rosulullah wafat, sekalipun tengah bersama sahabat2 lainnya, Wahsyi memilih posisi yg tidak terlihat Nabi Muhammad. Setelah masuk Islam, Wahsyi berjuang menunjukkan pertaubatannya dgn setulusnya, ia terlibat dlm perang2 membela Islam. Bahkan Wahsyi-lah org yg membunuh tokoh nabi Palsu, Musailamah al-Kadzab dgn tombak yg dulu pernah ia gunakan untuk membunuh Hamzah bin Abi Thalib.

Tak hanya terhadap Wahsyi, bahkan kepada salah satu dalang pembunuh Hamzah, Hindun bin Utbah, istri Abu Sufyan yg memakan jantung Hamzah, kata maaf itu dgn mudah diberikan tanpa keinginan balas dendam. Seperti halnya pula Wahsyi, setelah masuk Islam Hindun menjadi salah satu garda terdepan pembela Islam, ia wanita pemberani, yg tak takut terlibat dlm pertempuran, bahkan ia mempelopori ksatria wanita lain menyerang tentara Romawi dlm perang Yarmuk saat pasukan pria melemah semangatnya.

Begitulah kehidupan generasi muslim pertama, penuh dgn pribadi2 dgn karakter baja. Susah membayangkan kita mampu bersikap seperti mereka. Ketika Hindun bin Utbah merancang skenario membunuh Hamzah, dlm medan konflik sesungguhnya manusiawi, ayah, suami pertama dan saudara lelakinya tewas dlm perang Badar, diantaranya oleh Hamzah bin Abdul Mutholib. Walaupun sebenarnya dimedan pertempuran face to face, akan sulit memilih musuh, adalah takdir mereka saja harus tewas ditangan Hamzah. Bila Hindun dendam, itu rasional, walaupun dendam adlah perasaan yg amat buruk. Untungnya rasionalitas pula yg menyelamatkan hidup Hindun, di akhir hidupnya ia membela manusia dan agama yg tadinya begitu ia benci. Agama menghapus kebencian dan dendam masa lalu, dgn salah satu syariatnya agar kita senantiasa mudah meminta maaf atas segala khilaf dan murah membuka pintu hati kita memaafkan perbuatan org lain betapapun menyakitkan dan sulit terhapus dlm ingatan.

“Kenangan buruk biarlah jd kenangan, biarlah ia tinggal selama yg ia inginkan dlm pikiran, kita cukup mencegahnya agar jangan sampai menguasai hati dan perasaan, karena kata maaf lebih pantas ada disana. Pikiran sejahat apapun tidak punya kuasa untuk balas dendam, ia bergantung pada kehendak hati dan perasaan kita.”

oleh Ainul Huda Afandi pada 19 Agustus 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar